Di Kaki Gunung
Hawa meresap ke urat sarap
membawa wangi bunga-bungaan
diiring kabut tipis melayap
enggan ke gunung merayu hutan.
Angin lembut membuai daun
serentak cemara menggamit awan
sedang langit rona kilauan
setiap garis lukisan kudus.
Di sini sunyi alam selalu
tempat burung terbang berkibar
tempat dunia tabah menunggu
menanti hidup kan romok mekar.
Di sini sunyi alam selalu
di sini rindu menampung sinar ....
Sumber: Poedjangga Baroe (Th. IV, No. 10, April 1937)
Analisis Puisi:
Puisi “Di Kaki Gunung” karya Mozasa adalah karya yang menggambarkan keindahan dan ketenangan alam pegunungan. Melalui diksi yang lembut dan ritmis, penyair membawa pembaca menyelami suasana alam yang damai, penuh kesyahduan, serta menyiratkan makna kehidupan dan kerinduan terhadap kesucian alam semesta.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keindahan dan ketenangan alam pegunungan yang menjadi simbol kedamaian dan perenungan hidup.
Puisi ini bercerita tentang suasana di kaki gunung—suatu tempat yang sejuk, sunyi, dan penuh keindahan. Penyair menggambarkan kesejukan hawa pegunungan, semerbak wangi bunga-bungaan, kabut yang melayang, dan pepohonan yang berinteraksi dengan angin serta awan. Semua gambaran itu seolah menjadi lambang keharmonisan antara manusia dan alam.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kerinduan manusia terhadap kedamaian dan kesucian yang hanya bisa ditemukan dalam keheningan alam. Alam dalam puisi ini bukan hanya latar, tetapi juga cerminan jiwa yang mendambakan ketenangan setelah hiruk-pikuk kehidupan dunia. Gunung menjadi simbol keteguhan, kesabaran, dan kebesaran Sang Pencipta.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini tenang, damai, dan kontemplatif. Dari bait pertama hingga terakhir, nuansa keteduhan dan kesejukan begitu terasa, seolah pembaca ikut duduk di kaki gunung sambil menikmati kabut, wangi bunga, dan desir angin.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan penciuman, antara lain:
- “Hawa meresap ke urat sarap / membawa wangi bunga-bungaan” — imaji penciuman yang menggambarkan kesegaran alam.
- “Kabut tipis melayap” dan “cemara menggamit awan” — imaji visual yang memperlihatkan gerak dan keindahan panorama pegunungan.
- “Langit rona kilauan / setiap garis lukisan kudus” — imaji spiritual, seolah alam menjadi kanvas ciptaan Tuhan yang suci dan agung.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperindah maknanya:
- Personifikasi: “cemara menggamit awan” dan “kabut melayap enggan ke gunung merayu hutan”, memberi kesan bahwa alam hidup dan berperasaan.
- Metafora: “tempat dunia tabah menunggu” menggambarkan kesabaran dan ketenangan alam sebagai lambang keteguhan hidup.
- Repetisi: pengulangan frasa “Di sini sunyi alam selalu” menegaskan keabadian ketenangan di kaki gunung.
Amanat / pesan yang disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya menghargai alam dan menjadikannya sumber ketenangan batin. Alam adalah ruang perenungan yang mengajarkan kesabaran, ketabahan, dan kebersahajaan. Melalui ketenangan di kaki gunung, manusia dapat kembali menyatu dengan makna kehidupan yang sejati.
Puisi “Di Kaki Gunung” karya Mozasa adalah puisi yang lembut namun mendalam, menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Ia mengajarkan bahwa di balik kesunyian, terdapat kedamaian dan kebijaksanaan yang abadi.
Karya: Mozasa
Biodata Mozasa:
- Mozasa (singkatan dari Mohammad Zain Saidi) lahir pada tanggal 10 Oktober 1914 di desa Bogak, Asahan.
- Mozasa meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 1988 (usia 74 tahun) di Medan.