Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Doa Pertobatan (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Doa Pertobatan" karya Diah Hadaning bercerita tentang perjalanan batin seorang pendosa yang menyesali segala perbuatannya dan memohon ampun ...
Doa Pertobatan (1)

Orang-orang pendosa bergerombol
di halaman bangunan tua bersejarah
yang siap dirobohkan parak siang.

Kami telah lakukan
yang tak mungkin dilakukan

Kami telah mengubah
yang tak mungkin diubah

Kami telah melangkah
melewati langkah-Mu

Kami telah bermaha
melewati kemahaan-Mu

Maka ampuni kami
atau hancurkan kami
Amien!

Bogor, April 1994

Doa Pertobatan (2)

Dhuh Gusti Sang Maha Asih
mohon ampun dan belas kasih
hamba telah jadi Durna
lupa arah dan segala.

Dhuh Gusti Sang Pemberi Hidup
mohon cahaya hati redup
hamba ini insan pendosa
ciptakan derita bagi sesama.

Dhuh Gusti Sang Maha Murah
mohon petuah jiwa serakah
hamba hanya ngejar nilai dunia
bikin poranda bagi Muria.

Dhuh Gusti Sang Maha Agung
mohon hamba tak terkutuk
di Muria hamba pusing duri
di Muria hamba merasa punya taji.

Bogor, April 1995

Analisis Puisi:

Puisi "Doa Pertobatan" karya Diah Hadaning terdiri dari dua bagian yang sama-sama menggambarkan kesadaran manusia atas dosa dan kesalahannya di hadapan Tuhan. Melalui ungkapan lirih dan penuh penyesalan, penyair menghadirkan suasana religius yang kuat, seolah sebuah pengakuan terbuka tentang betapa jauh manusia telah tersesat dari jalan ilahi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pertobatan dan kesadaran spiritual manusia atas dosa. Diah Hadaning menyoroti bagaimana manusia sering kali melampaui batas sebagai makhluk ciptaan, merasa seolah mampu “melewati langkah Tuhan”, dan akhirnya tenggelam dalam kesombongan serta kerakusan duniawi. Namun pada akhirnya, penyair juga menekankan pentingnya kembali kepada Tuhan dengan penuh penyesalan dan doa.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seorang pendosa yang menyesali segala perbuatannya dan memohon ampun kepada Tuhan. Pada bagian pertama, gambaran orang-orang pendosa yang “bergerombol di halaman bangunan tua bersejarah” melambangkan manusia yang datang beramai-ramai untuk memohon ampun sebelum terlambat — sebelum “bangunan tua” kehidupan dirobohkan oleh waktu atau kematian.

Sementara itu, bagian kedua lebih personal dan langsung mengarah kepada Sang Pencipta. Di sini, penyair menampilkan tokoh “hamba” yang berdoa dengan kerendahan hati, mengakui bahwa dirinya telah menjadi “Durna” — tokoh pewayangan yang cerdik tapi sesat arah. Ia menyadari bahwa keserakahan dan cinta dunia telah membuatnya menciptakan derita bagi sesama.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah peringatan moral dan spiritual: bahwa manusia tidak akan pernah bisa menyamai Tuhan dalam hal kekuasaan, kebijaksanaan, maupun kemahakuasaan. Diah Hadaning menegur manusia modern yang sering kali lupa pada dimensi spiritual dan terbuai oleh kebanggaan semu — baik berupa jabatan, ilmu, atau materi.

Puisi ini juga mengandung refleksi sosial: “kami telah mengubah yang tak mungkin diubah” dapat diartikan sebagai kritik terhadap perilaku manusia yang merusak alam, mengubah tatanan sosial, dan menantang nilai-nilai moral. Penyair menempatkan dosa tidak hanya pada level individu, tapi juga kolektif — sebagai dosa peradaban.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa muram, penuh penyesalan, dan religius. Kata-kata seperti ampuni kami, hamba pendosa, belas kasih, dan cahaya hati redup membangun atmosfer spiritual yang intens. Pembaca diajak merasakan beban batin seorang manusia yang sadar betapa jauh ia telah melenceng dari jalan kebenaran. Ada juga suasana getir ketika penyair menyadari bahwa dosa itu bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga berdampak bagi sesama dan alam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah ajakan untuk bertobat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Diah Hadaning menegaskan bahwa kesombongan dan keserakahan hanya akan membawa manusia pada kehancuran. Namun, selama masih ada kesadaran untuk memohon ampun dan memperbaiki diri, rahmat Tuhan tetap terbuka lebar.

Selain itu, penyair juga memberi pesan sosial: bahwa dosa tidak selalu berbentuk pelanggaran pribadi, tapi juga dapat berupa ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain dan perusakan lingkungan. Dengan kata lain, pertobatan sejati bukan hanya ucapan, melainkan tindakan nyata untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji religius dan simbolik. Beberapa contoh imaji yang kuat antara lain:
  • “Orang-orang pendosa bergerombol di halaman bangunan tua bersejarah” → menghadirkan visual tentang kerumunan manusia yang menunggu pengampunan di tempat sakral, mungkin gereja, masjid, atau simbol tempat suci.
  • “Tangis bayi di kebun kelapa” (jika dibandingkan dengan puisi Eka Budianta sebelumnya, Diah juga menggunakan simbol yang serupa — sesuatu yang hidup di tengah kematian). Dalam konteks ini, “bangunan tua” bisa pula menjadi metafora bagi dunia yang rusak karena ulah manusia.
  • “Hamba telah jadi Durna” → imaji moral yang kuat, menggambarkan transformasi manusia menjadi sosok yang sesat akibat kebanggaan diri.
  • “Cahaya hati redup” → imaji visual dan emosional tentang batin yang kehilangan arah spiritual.
Imaji-imaji ini bekerja bukan hanya untuk memperindah bahasa, tetapi juga untuk menegaskan rasa bersalah dan kesadaran religius dalam diri manusia.

Majas

Diah Hadaning menggunakan beberapa majas yang memperkuat makna dan suasana puisinya:

Personifikasi
  • “Kami telah melangkah melewati langkah-Mu” → menggambarkan seolah manusia bisa melangkah lebih jauh dari Tuhan, menandakan kesombongan manusia.
Repetisi
  • Pengulangan kata “Kami telah” menekankan akumulasi dosa dan kesalahan yang dilakukan berulang kali.
Metafora
  • “Cahaya hati redup” → menggambarkan kondisi batin yang kehilangan iman.
  • “Hamba telah jadi Durna” → metafora moral bagi manusia yang cerdas tapi menyesatkan, seperti tokoh pewayangan Durna.
Hiperbola
  • “Kami telah bermaha melewati kemahaan-Mu” → pernyataan hiperbolis yang menggambarkan kesombongan ekstrem manusia terhadap Tuhan.
Puisi "Doa Pertobatan" karya Diah Hadaning merupakan cermin reflektif atas perilaku manusia yang penuh kesalahan dan kesombongan. Melalui dua bagian puisi, penyair menghadirkan perjalanan batin dari kesadaran kolektif menuju pertobatan individual.

Tema utamanya adalah pertobatan dan kesadaran spiritual manusia atas dosa, dengan makna tersirat bahwa manusia harus kembali rendah hati dan menyadari keterbatasannya. Imaji religius, suasana muram, dan penggunaan majas yang kuat membuat puisi ini terasa hidup dan menggugah.

Melalui karya ini, Diah Hadaning mengingatkan kita bahwa pertobatan bukan sekadar doa, melainkan sebuah tindakan nyata untuk kembali kepada kebenaran dan kasih Tuhan.

"Puisi: Doa Pertobatan (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Doa Pertobatan
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.