Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Dunia Semata Wayang (Karya Iman Budhi Santosa)

Puisi “Dunia Semata Wayang” karya Iman Budhi Santosa menyoroti perubahan manusia dari masa kecil yang polos hingga dewasa yang penuh keinginan dan ...
Dunia Semata Wayang

Memburu anak semata wayang
rindu berganti ibu
bertarung sungguh demi selendang
sampai tua minta ditunggu
bahu kekar, senyum mawar, selimut beledu

Dulu bocah sekarang bocah
tak sanggup menerima kalah
sebentar berani, sebentar sembunyi
mudah mendekat sukar didekati
karena ia tak beralamat
karena ia tak merasa jahat
meninggalkan kerabat tanpa permisi
segan bersurat di mana berdiri saat ini

Selebar apapun dunia
anak semata wayang, kembali juga
ke kamarnya. Lengang dan laba-laba
lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti
mengatakan sepotong lidi
atau bintang yang nekat masuk atmosfer bumi

1987

Sumber: Dunia Semata Wayang (2005)

Analisis Puisi:

Puisi “Dunia Semata Wayang” karya Iman Budhi Santosa memiliki tema tentang perjalanan hidup manusia dan kesia-siaan ambisi duniawi. Judulnya sendiri — “Dunia Semata Wayang” — sudah mengandung filosofi Jawa yang dalam: dunia hanyalah panggung sandiwara, tempat manusia memainkan perannya masing-masing sebelum akhirnya kembali pada kehampaan dan kematian.

Penyair menyoroti perubahan manusia dari masa kecil yang polos hingga dewasa yang penuh keinginan dan kehilangan arah. Dalam pandangan penyair, hidup di dunia hanyalah permainan yang sementara, dan manusia — sebagaimana wayang — dikendalikan oleh kekuatan yang lebih tinggi, mungkin takdir, mungkin kehendak Tuhan.

Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang terus mengejar sesuatu yang fana — cinta, kekuasaan, atau kebanggaan — tanpa menyadari bahwa semua itu hanyalah bagian dari sandiwara dunia.

Bagian awal menggambarkan seseorang yang “memburu anak semata wayang”, sebuah metafora untuk mengejar sesuatu yang dianggap paling berharga, mungkin cinta atau harapan hidup. Namun, perburuan itu membuatnya “bertarung sungguh demi selendang”, sebuah simbol perjuangan yang penuh hasrat dan kesia-siaan.

Lalu menyoroti perubahan karakter manusia: dari “bocah” yang polos menjadi “bocah” yang tak sanggup menerima kalah, penuh ambisi, dan kehilangan arah moral.

Dan pada bagian akhir, penyair menutup dengan refleksi eksistensial — bahwa pada akhirnya setiap manusia akan kembali ke kesunyian dan kefanaan:

“Selebar apapun dunia, anak semata wayang, kembali juga ke kamarnya.”

Ungkapan itu memperlihatkan siklus kehidupan manusia: keluar dari kesunyian untuk mengejar dunia, lalu akhirnya kembali pada kesepian, pada kubur, pada keheningan abadi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik halus terhadap manusia yang terjebak dalam ambisi dan kepalsuan dunia.

Iman Budhi Santosa mengingatkan bahwa dunia hanyalah “semata wayang” — tidak sejati, tidak abadi, dan hanya tampak indah karena kita sedang memainkannya. Setiap tokoh yang hidup di dalamnya hanyalah peran sementara; setelah lakon selesai, semuanya akan kembali sunyi.

Selain itu, makna tersirat lainnya adalah tentang keterasingan modern. Sosok “anak semata wayang” bisa dimaknai sebagai manusia modern yang merasa unik, egois, dan hidup dalam kesendirian spiritual. Ia “tak beralamat” dan “tak merasa jahat” ketika meninggalkan kerabat — sebuah potret manusia yang kehilangan akar sosial dan moral di tengah dunia yang semakin luas tapi semakin asing.

Puisi ini dengan halus menggambarkan kontradiksi antara kemajuan dunia dan kehampaan batin manusia — selebar apapun dunia, manusia tetap saja kembali pada ruang kosong miliknya sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, reflektif, dan penuh ironi.
  • Di satu sisi, penyair menghadirkan nada yang tenang, bahkan sedikit jenaka dalam gaya khas Iman Budhi Santosa yang sering bermain dengan filosofi Jawa. Namun di balik ketenangan itu ada suasana getir dan kesepian eksistensial.
  • Setiap bait membawa rasa lelah terhadap kehidupan yang berputar-putar di antara ambisi, penyesalan, dan kesadaran bahwa semua itu hanya wayang belaka.
  • Suasana lengang di akhir puisi — dengan kata “laba-laba” dan “lidi” — menegaskan keheningan akhir yang menanti setiap manusia.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama puisi ini adalah manusia seharusnya tidak terlalu terikat pada kesemuan dunia, karena kehidupan hanyalah sandiwara sementara.

Iman Budhi Santosa mengajak pembaca untuk merenungi kembali arti hidup, hubungan dengan sesama, dan kedekatan dengan Tuhan.

Dalam dunia yang luas, manusia sering merasa berkuasa dan bebas, padahal sejatinya ia hanya memainkan peran kecil yang telah ditetapkan.

Akhirnya, penyair menyiratkan bahwa kebijaksanaan hidup adalah menerima kenyataan dengan kesadaran dan kerendahan hati, bukan dengan kesombongan dan keserakahan.

Kembali ke “kamarnya” adalah simbol penerimaan terhadap batas hidup — ruang batin yang hening, tempat manusia menutup lakonnya dengan tenang.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji batin (emosional):
  • “Bahu kekar, senyum mawar, selimut beledu” membentuk imaji visual yang menggambarkan keindahan fisik dan kenyamanan hidup, namun juga menyiratkan kehangatan yang palsu dan sementara.
  • “Selebar apapun dunia, anak semata wayang, kembali juga ke kamarnya” menimbulkan imaji emosional yang kuat — gambaran seseorang yang akhirnya kembali pada kesepian setelah semua perjuangan dan perburuan duniawi.
  • “Laba-laba lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti” menciptakan imaji simbolik tentang kematian yang tenang, tak lagi diurus manusia, melainkan oleh alam yang sunyi.
Imaji dalam puisi ini sederhana namun penuh filosofi, menciptakan suasana batin yang dalam dan mendorong pembaca untuk merenung.

Majas

Iman Budhi Santosa menggunakan berbagai majas untuk memperkuat pesan puisinya:
  • Metafora: terlihat pada judul dan frasa “Dunia Semata Wayang”, yang memetaforakan dunia sebagai panggung boneka (wayang). Begitu pula “anak semata wayang” digunakan untuk menggambarkan manusia yang merasa pusat segalanya.
  • Personifikasi: tampak pada “laba-laba lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti”, seolah laba-laba memiliki kuasa dan keputusan seperti manusia.
  • Ironi: muncul dalam pernyataan “dulu bocah sekarang bocah”, menunjukkan bahwa meski usia bertambah, kedewasaan tidak selalu mengikuti.
  • Repetisi halus: pengulangan bunyi dan ritme “sebentar berani, sebentar sembunyi” menciptakan efek musikal sekaligus menegaskan sifat labil manusia.
Dengan permainan majas tersebut, puisi ini menjadi padat makna tanpa kehilangan kesederhanaan bahasanya.

Puisi “Dunia Semata Wayang” karya Iman Budhi Santosa adalah renungan filosofis tentang kehidupan, kesia-siaan ambisi, dan kepastian kembalinya manusia pada kesunyian. Dengan gaya bahasa yang liris, ironi halus, dan simbolisme yang dalam, Iman Budhi Santosa berhasil menciptakan puisi yang tak hanya indah secara estetis, tetapi juga mengandung pesan spiritual dan eksistensial yang abadi.

Iman Budhi Santosa
Puisi: Dunia Semata Wayang
Karya: Iman Budhi Santosa

Biodata Iman Budhi Santosa:
  • Iman Budhi Santosa pada tanggal 28 Maret 1948 di Kauman, Magetan, Jawa Timur, Indonesia.
  • Iman Budhi Santosa meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2020 (pada usia 72 tahun) di Dipowinatan, Yogyakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.