Analisis Puisi:
Puisi “Golgotha, Sebuah Pesan” karya Hartojo Andangdjaja merupakan salah satu karya religius sekaligus reflektif yang sarat dengan makna kemanusiaan dan moral. Melalui latar peristiwa penyaliban Yesus di bukit Golgota, penyair tidak hanya mengisahkan tragedi religius, tetapi juga menyimbolkan perjuangan abadi antara kebenaran dan kezaliman. Puisi ini menjadi semacam renungan moral bahwa walau kebenaran kerap disalibkan, ia tidak pernah benar-benar mati.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah perjuangan abadi antara kebenaran dan kejahatan, serta kemenangan moral di atas penderitaan. Hartojo Andangdjaja menyoroti bagaimana manusia sering kali memilih yang salah karena kepentingan sesaat — sebagaimana orang-orang pada zaman Yesus memilih Barabbas, seorang pembunuh, dibandingkan Yesus yang tidak bersalah. Namun, tema ini meluas melampaui konteks religius: ia menjadi refleksi universal tentang bagaimana kebenaran selalu diperjuangkan dan sering kali disakiti oleh manusia sendiri.
Puisi ini bercerita tentang peristiwa penyaliban Yesus Kristus di Bukit Golgota, sebagaimana diceritakan dalam kitab suci. Namun, penyair tidak hanya mengisahkan peristiwa sejarah itu secara deskriptif, melainkan menempatkan dirinya — dan pembaca — sebagai saksi moral dari tragedi itu, seolah peristiwa tersebut terjadi di hadapan manusia modern.
Baris “telah mereka pilih Barabbas, si pembunuh lebih dari engkau” menandakan pilihan moral manusia yang keliru, sementara seruan “Salibkan, salibkan!” menggambarkan keganasan massa yang buta nurani.
Namun, bagian akhir puisi mengandung pernyataan reflektif dan penuh pengharapan: bahwa kebenaran tidak akan mati, sebagaimana Yesus yang bangkit kembali. Ia akan terus “mengetuk pintu demi pintu hati kami”, menyapa manusia agar tetap berjuang melawan kelaliman.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam dan melampaui konteks agama. Hartojo Andangdjaja ingin menyampaikan bahwa kebenaran dan keadilan akan selalu menghadapi penindasan, tetapi tidak pernah bisa dimusnahkan.
Ketika penyair menulis “Kebenaran pun tak bisa dimatikan”, ia sedang menegaskan bahwa nilai-nilai moral sejati — seperti kejujuran, keberanian, dan kasih — akan selalu bangkit, bahkan setelah dihancurkan oleh kekuasaan atau kekerasan.
Selain itu, ada makna introspektif dan kontemporer: “Kami yang berdiam di abad ini” menegaskan bahwa kejahatan masa lalu tidak hanya terjadi pada zaman Yesus, tetapi juga terus berulang di masa kini. Manusia modern masih sering “memilih Barabbas” — dalam arti mendukung kezaliman, kebohongan, dan ketidakadilan — dengan membungkam kebenaran dan nurani mereka sendiri.
Dengan demikian, makna tersirat puisi ini adalah panggilan moral agar manusia senantiasa berpihak pada kebenaran, walau harus berhadapan dengan penderitaan dan risiko besar.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh duka, reflektif, dan sekaligus menggetarkan hati. Pada bagian awal, pembaca merasakan kesedihan dan kegetiran akibat pilihan manusia yang salah dan brutal — suasana penuh amarah massa, ketidakadilan, dan kehilangan. Namun, di bagian akhir, suasana itu berubah menjadi pengharapan dan spiritualitas yang lembut, ketika penyair menegaskan bahwa kebenaran tidak akan pernah mati.
Perubahan suasana dari kelam menuju terang ini menciptakan efek emosional yang kuat, memperlihatkan perjalanan batin manusia dari keputusasaan menuju kesadaran moral.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama dari puisi “Golgotha, Sebuah Pesan” adalah bahwa kebenaran tidak akan pernah mati, meskipun dunia berulang kali berusaha membungkamnya. Hartojo Andangdjaja menyampaikan pesan agar manusia tidak menjadi bagian dari mereka yang menyalibkan kebenaran, tetapi menjadi pejuang yang menegakkannya, meskipun harus menghadapi risiko dan penderitaan.
Selain itu, penyair juga mengajak pembaca untuk merenungkan kembali posisi moral mereka di dunia modern: apakah kita benar-benar berpihak pada kebenaran, ataukah kita justru diam melihat ketidakadilan terjadi?
Amanat lainnya adalah ajakan untuk menjaga nurani dan keyakinan moral di tengah zaman yang sering kali memilih yang salah demi kenyamanan atau kepentingan.
Imaji
Hartojo Andangdjaja menggunakan imaji visual dan spiritual yang kuat untuk menggambarkan peristiwa Golgota dan perenungannya:
- “Telah mereka pilih Barabbas, si pembunuh” menampilkan citraan moral — sebuah adegan memilukan di mana kebaikan dikalahkan oleh kejahatan.
- “Suara-suara liar berteriakan: Salibkan, salibkan!” menghadirkan imaji auditori yang menggema di telinga pembaca, membuat kita seolah hadir di tengah kerumunan massa yang beringas.
- “Kebenaran akan tetap ber-Jalan mendatangi kami, mengetuk pintu demi pintu hati kami” merupakan citraan spiritual yang menggambarkan kehadiran abadi kebenaran yang hidup dalam hati manusia.
Dengan kekuatan imaji ini, puisi menjadi bukan hanya bacaan, melainkan pengalaman emosional dan batiniah yang menyentuh kesadaran pembaca.
Majas
Puisi ini kaya dengan penggunaan majas yang memperkuat pesan moral dan emosionalnya:
Majas Metafora
- “Kebenaran yang disalibkan” adalah metafora yang menggambarkan penderitaan nilai-nilai moral di tangan manusia yang lalim.
- “Kebenaran akan tetap ber-Jalan” juga merupakan metafora bagi daya hidup nilai kebenaran yang tidak pernah padam.
Personifikasi
- “Kebenaran mengetuk pintu demi pintu hati kami” memberi sifat hidup kepada konsep abstrak, menggambarkan bahwa kebenaran seolah-olah makhluk yang datang untuk menyadarkan manusia.
Apostrof (penyapaan langsung)
- Puisi dibuka dengan “Demikianlah, Jesus”, menunjukkan gaya dialog spiritual antara penyair dan Yesus, menjadikan puisi ini sangat personal dan penuh kesungguhan batin.
Simbolisme
- Golgota menjadi simbol penderitaan universal bagi kebenaran, bukan hanya milik satu agama, tetapi seluruh umat manusia.
Puisi “Golgotha, Sebuah Pesan” karya Hartojo Andangdjaja merupakan renungan spiritual dan moral yang melampaui batas agama dan waktu. Melalui kisah penyaliban Yesus, penyair menyuarakan peringatan abadi tentang kecenderungan manusia memilih yang salah, namun juga menyampaikan harapan bahwa kebenaran tidak pernah mati.
Tema puisi ini tidak hanya relevan bagi umat beriman, tetapi juga bagi siapa pun yang memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Hartojo Andangdjaja dengan lembut namun tegas mengingatkan kita bahwa kebenaran, meski disalibkan berkali-kali, akan selalu bangkit dan berjalan — mengetuk pintu hati mereka yang berani menentang kelaliman.
Biodata Hartojo Andangdjaja:
- Edjaan Tempo Doeloe: Hartojo Andangdjaja.
- Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya.
- Hartojo Andangdjaja lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
- Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
- Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.