Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hijrah (Karya Emha Ainun Nadjib)

Puisi "Hijrah" karya Emha Ainun Nadjib bercerita tentang perjalanan batin penyair yang dibayangi mimpi, ide, dan pengaruh berbagai tokoh serta ...

Hijrah

mimpiku pawai burung
tanpa sayap terbang ke surga
mimpiku mata rabun
nyangkut di langit hampa

insyaallah angan-angan ini
disetujui oleh para nabi
tapi jarang kuteliti
teori mereka mengolah bumi

kemudian tiba ke khomeiny
marx, fraire, dan ali syari’ati
madrasah frankfurt, ngo pinggir kali
berperang brubuh di rumah sini

di wajah beberapa kawan
nama-nama itu menjelma siluman
ketika tangan mereka acungkan
terciptalah mesin percetakan

aku jatuh terjengkang
tolol di pojok jalan
hanya sanggup berpamitan
hijrah ke semesta pengembaraan

1985

Sumber: Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba (1993)

Analisis Puisi:

Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun adalah penyair yang dikenal dengan karya-karyanya yang reflektif, kritis, sekaligus religius. Puisinya banyak menyinggung persoalan spiritual, sosial, politik, dan intelektual. Salah satu puisinya berjudul "Hijrah" merupakan refleksi tentang perjalanan batin, pencarian makna, sekaligus kritik terhadap realitas sosial dan pemikiran yang mengitarinya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian spiritual dan intelektual dalam konteks sosial yang penuh pergolakan. Kata hijrah tidak hanya merujuk pada perpindahan fisik, tetapi juga perpindahan makna: dari kerumitan dunia menuju ruang pengembaraan batin.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin penyair yang dibayangi mimpi, ide, dan pengaruh berbagai tokoh serta pemikiran. Pada awalnya digambarkan mimpi sederhana yang penuh spiritualitas, seperti “pawai burung tanpa sayap terbang ke surga”. Namun kemudian perjalanan itu bersinggungan dengan teori-teori besar dan tokoh-tokoh seperti Khomeini, Marx, Freire, hingga Ali Syari’ati. Dalam pusaran itu, penyair menyaksikan bagaimana ide-ide besar menjelma dalam realitas sosial, bahkan menciptakan alat perjuangan seperti “mesin percetakan”. Namun pada akhirnya, ia merasa jatuh dan hanya bisa memilih hijrah ke semesta pengembaraan, meninggalkan hiruk pikuk dunia.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah pergulatan manusia antara cita-cita spiritual dan realitas dunia yang penuh dengan ideologi dan konflik. Penyair tampak ingin menunjukkan bahwa meskipun ada berbagai pemikiran besar dan tokoh berpengaruh, tidak semuanya mampu memberi ketenangan batin. Justru dalam kebisingan itu, ada rasa lelah dan kegagalan pribadi yang membuatnya memilih jalan hijrah — bukan sekadar meninggalkan, tetapi mencari makna baru dalam pengembaraan spiritual.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kritik: bahwa teori besar dan perjuangan sosial sering kali melupakan inti kemanusiaan yang sederhana, hingga justru menimbulkan beban bagi orang-orang kecil yang “terjengkang tolol di pojok jalan.”

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah kontemplatif sekaligus getir. Di satu sisi, ada keindahan mimpi dan harapan akan surga. Namun di sisi lain, ada kekecewaan, kebingungan, bahkan rasa kalah ketika berhadapan dengan kerasnya realitas sosial dan pertarungan ideologi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah perlunya menemukan keseimbangan antara spiritualitas dan realitas sosial. Penyair seolah ingin menyampaikan bahwa dalam menghadapi kompleksitas dunia dan ide-ide besar, manusia tetap perlu menjaga kesederhanaan jiwa, serta berani mencari jalan hijrah menuju ketenangan dan kebebasan batin.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang kuat dan simbolik:
  • “pawai burung tanpa sayap terbang ke surga” menciptakan imaji spiritual dan penuh harapan.
  • “mata rabun nyangkut di langit hampa” menggambarkan keterbatasan manusia dalam memahami realitas.
  • “nama-nama itu menjelma siluman” menghadirkan imaji menakutkan dari ide-ide besar yang berubah menjadi beban sosial.
  • “mesin percetakan” menjadi simbol perubahan sosial sekaligus propaganda.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “hijrah ke semesta pengembaraan” sebagai simbol perjalanan batin dan pencarian makna hidup.
  • Hiperbola – gambaran “pawai burung tanpa sayap” sebagai sesuatu yang mustahil namun penuh daya imajinasi.
  • Personifikasi – “nama-nama itu menjelma siluman” memberi sifat hidup pada tokoh dan pemikiran.
  • Ironi – penyair menertawakan dirinya sendiri dengan ungkapan “tolol di pojok jalan”, menunjukkan keterasingan dalam hiruk pikuk dunia.
Puisi "Hijrah" karya Emha Ainun Nadjib adalah refleksi tentang pergulatan antara spiritualitas, intelektualitas, dan realitas sosial. Dengan bahasa simbolik, imaji yang kuat, dan majas yang tajam, Cak Nun menegaskan bahwa hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan perjalanan batin untuk menemukan makna sejati. Puisi ini memberi kesadaran bahwa di tengah derasnya arus ideologi, manusia tetap membutuhkan ruang hening untuk memahami diri dan Tuhan.

Emha Ainun Nadjib
Puisi: Hijrah
Karya: Emha Ainun Nadjib

Biodata Emha Ainun Nadjib:
  • Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.