Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hikayat Orang Gunung (Karya Irma Agryanti)

Puisi “Hikayat Orang Gunung” karya Irma Agryanti bercerita tentang lanskap gunung dan pedalaman yang menjadi ruang pertemuan antara bencana alam ...

Hikayat Orang Gunung

tebing licin
seperti krewang dengan glasir terang
adalah benteng semenanjung

di selasar
nyala biji jarak
menerakan lajur
ke bekas istana
yang dulu terbakar

tempat said idrus melihat
dari balik bukit, seekor anjing
berjalan ke depan langgar
sebelum tiga rentang api
menghanguskan lereng

semisal aliran memencar
ke lahar
pendar sinar
jadi batu, jadi situs
membuat jagat
jadi tua, jadi hikayat
dalam syair lukman

arkeologi untuk pelancong
kampung di pedalaman
seluas padang sabana

tapi tanah bukan dataran
melainkan singkapan
batu pasir
sebagaimana abu
bau nitrat terbawa
udara panjang
dari kapal Bonaparte

berlayar dalam jalur dagang
bersama kain dan kapas
hutan tropis dan matahari
debu-debu beterbangan
harum biji kopi di perkebunan

ke mana arah sulawesi?
nelayan datang untuk membebaskan
kemenangan yang fiktif

siapa kelak menguasai pulau?
sejarah itu sisa letusan
tanda hitam pada selat mati

barangkali di sori sumba
abdul gafur yang mengejar maut
menyulap nasib jadi takdir

hidup hanya menunggu ajal
juga kekalahan

rasi bintang keruh
retakan ceruk

apa yang dirawikan
pada akhir yang tak lazim

sesuatu yang dituliskan
dalam kitab orang gunung
setebal 400 tahun
mencari kata yang tepat
untuk melafalkan kehancuran

2017

Sumber: Anjing Gunung (2018)

Analisis Puisi:

Puisi-puisi karya Irma Agryanti kerap menghadirkan lanskap alam, sejarah, dan ingatan kolektif yang diolah menjadi ruang puitis penuh simbol. Salah satu puisinya, “Hikayat Orang Gunung”, adalah contoh bagaimana penyair memadukan alam, sejarah kolonial, tragedi, dan narasi budaya ke dalam satu jalinan teks yang pekat dan penuh lapisan makna.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah hubungan antara alam, sejarah, dan nasib manusia. Gunung, tebing, dan lahar hadir sebagai saksi bisu dari sejarah panjang, termasuk tragedi kolonial, perdagangan, dan peperangan. Ada pula tema tentang kehancuran dan ketakberdayaan manusia di hadapan alam dan sejarah, yang menjelma sebagai hikayat orang-orang gunung.

Puisi ini bercerita tentang lanskap gunung dan pedalaman yang menjadi ruang pertemuan antara bencana alam (letusan, lahar, batu, abu), sejarah kolonial (perdagangan kapal Bonaparte, kain, kopi, kapas), dan jejak budaya (syair Lukman, kitab orang gunung). Penyair menghadirkan fragmen-fragmen: istana terbakar, nelayan yang datang, kemenangan fiktif, hingga pencarian makna kehancuran. Semuanya dirangkai seperti hikayat panjang yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah bahwa sejarah manusia, terutama di wilayah kepulauan Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari alam dan kolonialisme. Gunung yang meletus dan tanah yang retak adalah metafora bagi luka sejarah, sementara perdagangan kain, kapas, dan kopi adalah simbol jejak kolonial yang membentuk peradaban.

Selain itu, puisi ini menyiratkan bahwa hidup manusia pada akhirnya adalah menunggu ajal dan menghadapi kekalahan, sebagaimana baris: “hidup hanya menunggu ajal / juga kekalahan.” Kehancuran bukan hanya akibat bencana alam, tetapi juga akibat perang, kolonialisme, dan pergulatan nasib yang tak terbendung.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini adalah muram, getir, dan reflektif. Ada kesan monumental ketika gunung, lahar, dan situs arkeologi disebut; tetapi juga ada kesedihan mendalam saat penyair menyinggung kehancuran, kekalahan, dan ajal. Puisi ini menghadirkan atmosfer yang historis sekaligus melankolis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa sejarah dan alam adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kekuatan alam dan tragedi sejarah harus dipahami bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi juga sebagai peringatan bagi generasi berikutnya. Puisi ini juga memberi pesan tentang kerendahan hati manusia: bahwa sehebat apa pun, manusia tetap rapuh di hadapan alam dan sejarah yang terus menorehkan tanda-tanda kehancuran.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat dan berlapis:
  • Imaji visual: “tebing licin seperti krewang dengan glasir terang”, “pendar sinar jadi batu, jadi situs”, “rasi bintang keruh, retakan ceruk.”
  • Imaji historis: kapal Bonaparte, perdagangan kopi, kain, dan kapas yang membawa nuansa kolonial.
  • Imaji perasaan: suasana getir dan putus asa dalam “hidup hanya menunggu ajal / juga kekalahan.”
  • Imaji arkeologis: “arkeologi untuk pelancong” dan “kitab orang gunung setebal 400 tahun” yang memberi kesan bahwa sejarah adalah situs yang terus dibaca ulang.

Majas

Irma Agryanti banyak menggunakan majas dalam puisi ini, di antaranya:
  • Metafora – gunung, lahar, dan situs arkeologi menjadi metafora sejarah dan kehancuran manusia.
  • Personifikasi – sinar yang “jadi batu, jadi situs” memberi kesan bahwa cahaya bisa berubah menjadi benda bersejarah.
  • Simbolisme – kapal Bonaparte, kain, kapas, dan kopi melambangkan kolonialisme serta jejak perdagangan global.
  • Hiperbola – “kitab orang gunung setebal 400 tahun” menjadi simbol monumental dari sejarah panjang manusia di hadapan alam.
Puisi “Hikayat Orang Gunung” karya Irma Agryanti adalah teks yang menggabungkan lanskap alam, jejak kolonial, dan renungan eksistensial dalam satu narasi puitis. Dengan tema sejarah dan kehancuran, suasana getir, imaji yang tajam, serta penggunaan majas yang padat, puisi ini memperlihatkan bahwa hikayat orang gunung bukan sekadar cerita, melainkan cermin kehidupan manusia yang rapuh di hadapan waktu, alam, dan sejarah.

Irma Agryanti
Puisi: Hikayat Orang Gunung
Karya: Irma Agryanti

Biodata Irma Agryanti:
  • Irma Agryanti lahir pada tanggal 28 Agustus 1986 di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.