Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ibu Sahabatku (Karya Hidar Amaruddin)

Puisi “Ibu Sahabatku” karya Hidar Amaruddin bercerita tentang perenungan seorang anak terhadap peran dan cinta seorang ibu, sejak ia lahir hingga ...

Ibu Sahabatku


Ketika aku terlahir menjerit kesepian,
pada dunia yang baru aku kenal,
kau alirkan air putih yang mampu,
menghangatkan. Saat tubuhku mungil menggigil.

Tanpa telinga kau mendengar kubercerita,
Tanpa tubuh kau usap peluh,
Tanpa mata kau melihatku tertawa,
Tersisa hati, yang tak henti mengasihi.

Kau datang bersama kata,
Kata-kata berubah menjadi doa.
Hangat dirimu memelukku, meski doa tak sempat kuucap.
Ibu di surga,
masih inginkah kau, menjadi sahabatku di dunia?

Semarang, Februari 2018

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Ibu Sahabatku” karya Hidar Amaruddin merupakan ungkapan cinta dan kerinduan mendalam seorang anak kepada sosok ibu yang telah tiada. Melalui bahasa yang sederhana namun penuh makna, penyair membangun suasana haru, reflektif, dan spiritual. Puisi ini memperlihatkan bagaimana kasih seorang ibu melampaui batas fisik dan waktu, menjelma menjadi doa dan kehadiran abadi dalam hati anaknya.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kasih sayang dan kerinduan seorang anak kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Kasih ibu yang tulus dan tak bersyarat menjadi pusat makna puisi ini, dihadirkan melalui kenangan dan rasa kehilangan yang mendalam.

Puisi ini bercerita tentang perenungan seorang anak terhadap peran dan cinta seorang ibu, sejak ia lahir hingga sang ibu telah tiada. Dalam ingatannya, ibu bukan hanya sosok yang memberi kehidupan secara biologis, tetapi juga sahabat sejati yang selalu hadir meskipun kini hanya dalam kenangan.

Baris “Tanpa telinga kau mendengar kubercerita, tanpa tubuh kau usap peluh” menunjukkan bahwa meskipun ibu telah pergi, kasih sayangnya tetap terasa. Di akhir puisi, penyair bertanya dengan lirih: “Ibu di surga, masih inginkah kau menjadi sahabatku di dunia?” — sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa dalamnya rasa rindu dan ikatan batin yang tak terputus oleh kematian.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah keabadian cinta antara anak dan ibu, bahkan setelah kematian memisahkan keduanya. Kasih ibu tidak berhenti ketika raganya tiada; ia tetap hadir sebagai doa, kenangan, dan sumber kekuatan batin.

Selain itu, penyair juga ingin menyampaikan gambaran spiritual tentang hubungan manusia dengan sosok ibu sebagai simbol kasih Tuhan di bumi. Dalam setiap kebaikan dan cinta yang diberikan ibu, terdapat pantulan kasih ilahi yang abadi.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah sendu, hening, dan penuh keharuan. Ada kesunyian batin yang terasa ketika penyair berbicara kepada ibunya seolah kepada arwah yang tak lagi bisa dijangkau. Namun, di balik kesedihan itu juga tersimpan rasa hangat, lembut, dan penuh cinta. Nada puisi ini lebih seperti doa dan bisikan hati yang tulus, bukan sekadar ratapan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah pentingnya mengenang dan menghargai kasih seorang ibu, bahkan setelah ia tiada. Penyair seolah mengingatkan bahwa cinta seorang ibu adalah anugerah paling murni yang dimiliki manusia.

Selain itu, puisi ini juga mengandung pesan spiritual — bahwa kasih sayang tidak mengenal batas waktu, tempat, ataupun dimensi. Ia hidup dalam hati, dalam doa, dan dalam setiap perbuatan baik anak yang mengenang ibunya.

Imaji

Hidar Amaruddin menggunakan imaji lembut dan emosional untuk menghidupkan suasana:
  • “Ketika aku terlahir menjerit kesepian” menghadirkan imaji pendengaran dan perasaan — tangisan bayi yang baru lahir, simbol awal kehidupan.
  • “Kau alirkan air putih yang mampu menghangatkan” menciptakan imaji visual dan sentuhan — air susu ibu yang menjadi lambang kasih dan pengorbanan.
  • “Tanpa telinga kau mendengar kubercerita” adalah imaji spiritual — ibu yang telah tiada, namun masih hadir mendengarkan dari alam lain.
Imaji-imaji ini membuat puisi terasa hidup dan menyentuh hati pembaca.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “Kata-kata berubah menjadi doa” — menggambarkan kata sebagai sesuatu yang hidup dan memiliki kekuatan spiritual.
  • Metafora: “Air putih yang mampu menghangatkan” sebagai lambang kasih dan ASI ibu yang menenangkan jiwa dan raga.
  • Hiperbola: “Tanpa mata kau melihatku tertawa” — melebih-lebihkan untuk menunjukkan kehadiran batin ibu meskipun ia telah tiada.
  • Apostrof (sapaan langsung): “Ibu di surga, masih inginkah kau menjadi sahabatku di dunia?” — penyair berbicara langsung kepada ibunya yang sudah meninggal, menegaskan kedekatan spiritual di antara mereka.
Puisi “Ibu Sahabatku” karya Hidar Amaruddin adalah karya yang menggugah rasa kemanusiaan dan kerinduan terdalam. Melalui pilihan diksi sederhana namun penuh simbol, penyair berhasil menghadirkan sosok ibu sebagai sumber kasih, sahabat abadi, sekaligus cerminan cinta Tuhan.

Puisi ini mengajarkan kita bahwa cinta seorang ibu tidak berhenti di batas kehidupan, dan bahwa doa anak yang tulus dapat menjembatani dunia dan akhirat. Dalam kesenyapan, kasih itu tetap hidup — menjadi cahaya hangat yang memeluk jiwa setiap kali kita mengenangnya.

Hidar Amaruddin
Puisi: Ibu Sahabatku
Karya: Hidar Amaruddin

Biodata Hidar Amaruddin:
  • Hidar Amaruddin lahir pada tanggal 16 Desember 1995 di Kudus.
© Sepenuhnya. All rights reserved.