Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ibu Tua (Karya Maman S. Tawie)

Puisi "Ibu Tua" karya Maman S. Tawie bercerita tentang seorang ibu tua yang hidup dalam kemiskinan dan kesepian, berjuang di tengah malam yang ...

Ibu Tua


Di sudut kota malam-malam bergetar
seorang ibu tua
memijat urat dan tulang
rebah lunglai
betapa remuk isi dada
mendekam tajam

Nyeri di tilam dan tambal bantal
datang anak menyeret erangan lapar
bermohon pada Tuhan agar suami kembali
kering air mata ibu tua

Malam makin tua kukuh mengintai
batuk kering mengerikan
di balik dinding retak lapuk
lubang atap mengiris hati
masih terdengar batuk berkepanjangan
sangat lelah
malam terisak
sunyi menjerit

1975

Sumber: Kebun di Belakang Rumah (1995)

Analisis Puisi:

Puisi "Ibu Tua" karya Maman S. Tawie menghadirkan potret getir kehidupan rakyat kecil dengan bahasa yang lirih, jujur, dan penuh empati. Melalui sosok seorang ibu yang digambarkan dalam penderitaan malam hari, penyair mengajak pembaca untuk menyelami makna kemiskinan, kesepian, dan keteguhan cinta seorang ibu dalam menghadapi hidup yang keras.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penderitaan dan keteguhan seorang ibu dalam menghadapi kesulitan hidup. Maman S. Tawie menyorot realitas sosial dengan nada yang pilu namun juga sarat kekuatan batin. Tema ini memperlihatkan kepedulian penyair terhadap kehidupan kaum kecil yang terlupakan.

Puisi ini bercerita tentang seorang ibu tua yang hidup dalam kemiskinan dan kesepian, berjuang di tengah malam yang dingin dan penuh derita. Ia digambarkan memijat urat dan tulangnya yang lelah, menahan nyeri, sementara anaknya datang dalam keadaan lapar. Dengan hati yang pasrah, ibu itu hanya bisa berdoa agar suaminya kembali, meski air matanya telah kering karena terlalu sering menangis. Di akhir puisi, malam menjadi saksi penderitaannya — batuk yang tak kunjung reda, dinding rumah yang lapuk, dan kesunyian yang menjerit.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap ketimpangan dan kemiskinan yang menimpa masyarakat bawah, sekaligus pujian terhadap ketabahan seorang ibu. Penyair tidak hanya menggambarkan penderitaan fisik, tetapi juga luka batin yang dalam — kesepian, kehilangan, dan harapan yang mulai pudar. Di balik kepedihan itu, tersirat pula makna kasih sayang dan keteguhan hati seorang ibu, yang tetap berdoa dan bertahan meski dalam keterbatasan.

Puisi ini juga bisa dibaca sebagai refleksi moral, bahwa di tengah modernitas kota yang berkilau, masih ada sisi gelap kehidupan — manusia yang hidup dalam kesunyian dan kemiskinan tanpa banyak yang peduli.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah suram, pilu, dan penuh kesepian. Kata-kata seperti “malam-malam bergetar”, “batuk kering mengerikan”, dan “lubang atap mengiris hati” membangun atmosfer yang kelam. Namun di balik suasana muram itu, pembaca juga dapat merasakan kelembutan cinta seorang ibu, yang tetap tabah meski dunia seolah meninggalkannya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah pentingnya empati terhadap penderitaan orang lain, terutama kaum tua dan miskin yang sering dilupakan. Penyair ingin mengingatkan pembaca bahwa di balik kemegahan kota, masih banyak “ibu tua” yang menanggung derita dalam kesunyian. Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan tentang kekuatan doa, kasih, dan ketabahan seorang ibu sebagai lambang cinta tanpa batas.

Imaji

Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual dan auditif (pendengaran). Imaji visual tampak dalam deskripsi: “di sudut kota malam-malam bergetar”, “dinding retak lapuk”, dan “lubang atap mengiris hati” — yang membangun gambaran fisik kemiskinan dan penderitaan. Imaji auditif muncul lewat bunyi “batuk kering mengerikan” dan “malam terisak, sunyi menjerit”, menciptakan efek bunyi yang memperkuat rasa getir. Imaji inilah yang membuat pembaca seolah bisa “melihat dan mendengar” suasana penderitaan sang ibu tua.

Majas

Beberapa majas yang digunakan penyair dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi, pada larik “malam terisak, sunyi menjerit” yang memberikan sifat manusia pada suasana malam dan kesunyian.
  • Metafora, ketika “malam-malam bergetar” menggambarkan ketegangan batin atau penderitaan yang terasa mencekam.
  • Hiperbola, tampak pada ungkapan “kering air mata ibu tua” yang menegaskan betapa lama dan dalam penderitaannya hingga tak ada lagi air mata tersisa.
  • Simbolisme, di mana “malam” menjadi lambang penderitaan, “batuk kering” melambangkan kelemahan tubuh, dan “lubang atap” melambangkan rapuhnya kehidupan.
Puisi "Ibu Tua" karya Maman S. Tawie adalah karya yang menyayat hati namun penuh nilai kemanusiaan. Dengan bahasa sederhana dan penuh kekuatan imaji, penyair berhasil menggambarkan penderitaan seorang ibu yang mewakili jutaan manusia kecil di sudut-sudut kota. Di balik kesunyian dan kemiskinan yang digambarkan, tersimpan pesan tentang keteguhan hati, kasih sayang tanpa pamrih, dan pentingnya kepekaan sosial terhadap sesama.

Puisi ini bukan sekadar kisah seorang “ibu tua”, tetapi potret universal tentang cinta, penderitaan, dan kekuatan manusia dalam bertahan hidup.
Maman S. Tawie
Puisi: Ibu Tua
Karya: Maman S. Tawie

Biodata Maman S. Tawie:
  • Maman S. Tawie adalah salah satu sastrawan asal Kalimantan Selatan.
  • Maman S. Tawie lahir pada tanggal 25 September 1957 di dusun Sei Tirik, desa Lokpaikat, kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
  • Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa seperti Horison, Pelita, Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Angkatan Bersenjata, Merdeka, Kompas, Suara Karya, Zaman, Eksponen, dan Berita Buana.
  • Maman S. Tawie  meninggal dunia pada tanggal 7 April 2014 (pada usia 56 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.