Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: In Memoriam Qarun (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “In Memoriam Qarun” karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang kebangkitan figur-figur seperti Qarun di zaman modern—orang-orang yang hidup ...
In Memoriam Qarun

Qarun seorang konglomerat di masa Mesir purba
Qarun celaka karena riya bergelimang harta
Tetapi tidak terjadi di zaman kita!

Qarun-Qarun terlindung apa saja
Tertidur lelap di sangkar emasnya
Di zaman jenaka dan cerdik sekarang ini
Oh, Qarun-Qarun dimanjakan Fir'aun-Fir'aun
Yang memaksa rakyatnya
Meneriakkan pekik bersama:
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Hidup Qarun! Hidup Qarun! Hidup Qarun!
Sampai basah mulut menganga

Jakarta, 1993

Sumber: Gergaji (2001)

Analisis Puisi:

Puisi “In Memoriam Qarun” karya Slamet Sukirnanto adalah sebuah kritik sosial dan politik yang tajam, ditulis dengan nada satir dan ironi. Melalui tokoh Qarun—sosok kaya raya dari kisah Mesir kuno yang tenggelam karena keserakahannya—penyair menyindir realitas modern yang masih melahirkan “Qarun-Qarun baru” dalam bentuk konglomerat, pejabat, dan penguasa yang hidup berlimpah di tengah penderitaan rakyat.

Puisi ini bukan sekadar refleksi sejarah, tetapi juga potret zaman yang menyedihkan: ketika harta dan kekuasaan menjadi berhala baru, dan rakyat dijadikan penonton sekaligus penyembah dalam drama kemunafikan sosial.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keserakahan dan kemunafikan sosial di era modern. Slamet Sukirnanto menggambarkan bagaimana sifat rakus dan angkuh Qarun tidak hilang bersama sejarah Mesir kuno, tetapi justru hidup dalam bentuk yang lebih canggih dan licik di masa kini.

Tema ini membawa pembaca untuk menelusuri ironi dunia modern, di mana orang kaya yang semestinya dikritik justru dielu-elukan, dan rakyat kecil malah ikut berteriak “hidup Qarun!”—suatu bentuk manipulasi sosial dan politik yang pahit.

Puisi ini bercerita tentang kebangkitan figur-figur seperti Qarun di zaman modern—orang-orang yang hidup berlimpah harta namun kehilangan moral.

Pada bait pertama, penyair menyebut Qarun sebagai “seorang konglomerat di masa Mesir purba” yang celaka karena “riya bergelimang harta.” Namun di bait berikutnya, ia menyindir bahwa hal serupa “tidak terjadi di zaman kita.” Pernyataan itu tentu bukan pujian, melainkan ironi: di zaman modern, para Qarun justru tidak celaka; mereka hidup nyaman dan “terlindung apa saja.”

Penyair kemudian menggambarkan bahwa Qarun-qarun masa kini bahkan “dimanjakan Fir’aun-Fir’aun,” simbol dari para penguasa yang melindungi koruptor dan penjahat ekonomi. Lebih getir lagi, rakyat justru ikut “meneriakkan pekik bersama: Merdeka! Hidup Qarun!”—sebuah sindiran pahit terhadap bangsa yang dibutakan oleh propaganda dan kekuasaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kondisi sosial-politik yang penuh kepalsuan dan ketidakadilan. Slamet Sukirnanto hendak menunjukkan bahwa masyarakat modern sebenarnya tidak lebih baik dari masa Qarun dan Fir’aun di Mesir purba.

Dalam dunia modern, kerakusan tidak lagi dianggap dosa, melainkan prestasi. Orang-orang kaya disanjung tanpa memperhatikan dari mana asal kekayaannya. Pemerintah yang seharusnya berpihak pada rakyat malah menjadi pelindung bagi para penumpuk harta.

Larik “Oh, Qarun-Qarun dimanjakan Fir’aun-Fir’aun” adalah inti sindiran paling tajam dalam puisi ini. Ia menyiratkan adanya simbiosis antara koruptor dan penguasa—sebuah kolusi moral yang menjerumuskan rakyat dalam kebodohan sistemik.

Sementara itu, pekik “Merdeka!” yang diulang bersamaan dengan “Hidup Qarun!” menunjukkan makna ironi sosial: rakyat berteriak merdeka, tetapi secara sadar memuja penindasnya sendiri. Ini menggambarkan hilangnya kesadaran kolektif dalam masyarakat yang terjebak propaganda dan manipulasi ideologis.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sinis, getir, dan penuh ironi. Penyair tidak menulis dengan nada marah atau tragis, melainkan dengan nada satir yang menohok. Pembaca seolah diajak tertawa getir menyaksikan absurditas sosial di mana kejahatan dan kemewahan dipuja, sementara kejujuran dan kemiskinan dicemooh.

Nada sinis itu terasa jelas dalam kontras antara “Qarun celaka karena riya bergelimang harta” dengan pernyataan “tetapi tidak terjadi di zaman kita!” Larik itu menyiratkan bahwa zaman modern sudah kehilangan rasa malu terhadap keserakahan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini sangat kuat dan relevan hingga hari ini. Slamet Sukirnanto ingin mengingatkan bahwa masyarakat yang memuja harta dan kekuasaan tanpa moral akan jatuh pada kebodohan kolektif.

Penyair mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kemunafikan sistem sosial dan politik: bahwa tidak semua yang tampak merdeka benar-benar bebas, dan tidak semua yang kaya berarti mulia.

Amanat lainnya adalah seruan moral agar manusia belajar dari sejarah. Kisah Qarun bukan sekadar legenda, tetapi cermin tentang bagaimana keserakahan selalu membawa kehancuran—baik bagi individu maupun bangsa.

Imaji

Puisi ini memunculkan imaji simbolik yang kuat, meskipun tidak bersifat deskriptif seperti puisi liris. Imaji yang paling menonjol adalah imaji historis dan politis, yang menggambarkan “Qarun” sebagai simbol kekayaan tanpa moral dan “Fir’aun” sebagai simbol kekuasaan yang menindas.

Imaji “Qarun-Qarun terlindung apa saja / Tertidur lelap di sangkar emasnya” menghadirkan gambaran visual yang jelas tentang para pejabat dan konglomerat yang hidup mewah dan aman, sementara rakyat tertindas. “Sangkar emas” di sini menjadi metafora bagi kekuasaan dan kekayaan yang membatasi, tetapi juga melindungi dari hukuman sosial.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas penting, antara lain:
  • Majas ironi – Terlihat dalam larik “Tetapi tidak terjadi di zaman kita!” yang justru bermakna kebalikannya.
  • Majas metafora – Tokoh “Qarun” dan “Fir’aun” dipakai sebagai metafora bagi kaum kaya dan penguasa masa kini.
  • Majas hiperbola – Pada seruan “Sampai basah mulut menganga”, penyair melebih-lebihkan untuk menunjukkan betapa berlebihan rakyat dalam menyembah simbol kekuasaan.
  • Majas repetisi – Kata “Merdeka!” dan “Hidup Qarun!” yang diulang-ulang menegaskan nada satir dan menirukan gaya orasi politik yang kosong makna.
Majas-majas ini memperkuat daya sindir dan ironi dalam puisi, menjadikannya bukan sekadar karya estetis, tetapi juga senjata kritik sosial yang tajam.

Puisi “In Memoriam Qarun” karya Slamet Sukirnanto adalah sebuah kritik sosial yang menohok terhadap zaman yang penuh kemunafikan. Dengan tema keserakahan dan kebutaan moral, penyair berhasil memadukan simbol-simbol religius dan politik untuk menciptakan potret dunia yang ironis.

Makna tersiratnya menyentuh akar persoalan kemanusiaan: bagaimana masyarakat modern justru melindungi dan memuja kejahatan ekonomi. Imaji simbolik “Qarun” dan “Fir’aun” menggambarkan struktur kekuasaan yang timpang, sementara majas ironi dan repetisi menambah kekuatan pesan moral puisi ini.

Amanat yang ingin disampaikan sederhana namun tajam: janganlah rakyat menjadi penonton yang memuja penindasnya sendiri. Sebab, ketika kebenaran dipinggirkan dan kekayaan dijadikan tuhan, maka “In Memoriam Qarun” tidak lagi sekadar elegi untuk masa lalu—tetapi epitaf bagi nurani manusia masa kini.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: In Memoriam Qarun
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.