Analisis Puisi:
Puisi "Jalan Purwanggan 47, Yogyakarta" karya Gunoto Saparie adalah karya yang menggambarkan kenangan masa kuliah yang puitis sekaligus melankolis. Melalui diksi yang sederhana namun kaya makna, penyair menghadirkan nostalgia tentang interaksi, pengalaman, dan perasaan yang melekat pada ruang, waktu, dan suasana kota Yogyakarta. Puisi ini menekankan hubungan antara pengalaman pribadi dengan kenangan kolektif, menjadikan setiap detail kecil di jalan Purwanggan hidup dalam ingatan pembaca.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kenangan masa muda dan nostalgia pendidikan. Puisi ini mengangkat pengalaman sehari-hari di lingkungan kampus, mulai dari percakapan di kantin, interaksi dengan teman dan dosen, hingga momen gugup menghadapi ketertarikan pribadi. Tema ini juga menyinggung perasaan kehilangan waktu dan ketidakmampuan untuk kembali ke masa lalu, yang menimbulkan kesan melankolis.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman pribadi penyair di jalan Purwanggan 47, Yogyakarta, yang merupakan latar kehidupan kampusnya. Ia mengingat momen-momen sederhana seperti percakapan tentang diktat kuliah, ujian, cinta, dan film, hingga interaksi gugup dengan seseorang yang menarik perhatiannya. Latar Yogyakarta digambarkan dengan detail, mulai dari langit biru atau berawan, hingga sosok dosen yang menakutkan. Semua kenangan ini dirangkai dalam bentuk puisi, menciptakan suasana yang personal namun universal bagi siapa pun yang pernah merasakan masa kuliah.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah keterbatasan waktu dan ketidakmampuan untuk mengulang masa lalu, sekaligus pengingat akan pentingnya setiap momen kecil yang membentuk pengalaman hidup. Interaksi yang tampak sederhana—seperti menyebut nama orang, gugup di depan lawan bicara, atau menghadapi dosen killer—mengandung makna mendalam tentang perasaan, pertumbuhan, dan pembentukan identitas selama masa kuliah. Selain itu, puisi ini menekankan keindahan nostalgia yang tetap hidup dalam ingatan meskipun waktu telah berlalu.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini terasa melankolis, hening, dan reflektif. Penggunaan diksi seperti “siang pun redup”, “kenangan lewat begitu saja”, dan “tak ada yang dapat kembali” menciptakan atmosfer nostalgia yang hangat sekaligus pahit. Meskipun suasana kampus digambarkan sehari-hari dan akrab, ada perasaan kehilangan yang lembut mengiringi setiap kenangan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya menghargai setiap momen dalam hidup, terutama masa muda dan pengalaman belajar. Puisi ini juga mengingatkan bahwa kenangan, meski sederhana, membentuk siapa kita saat ini. Kenangan-kenangan itu mungkin tidak dapat kembali, tetapi tetap memiliki nilai emosional yang mendalam dan menginspirasi refleksi pribadi.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional:
- Imaji visual: “langit di atas Yogya masih seperti dulu, kadang biru lazuardi, kadang berawan” menghadirkan gambaran nyata suasana kota.
- Imaji pengalaman: “di depanmu mendadak gugup, aku menyebut akuntansi padahal bukan” menghidupkan pengalaman emosional pembaca.
- Imaji pendidikan: “dosen killer itu, ingat nilaiku mati harus mengulang setahun” menghadirkan pengalaman universal mahasiswa menghadapi tantangan akademik.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi – “siang pun redup” memberi kesan suasana siang yang seolah memiliki perasaan, mencerminkan kesan melankolis.
- Metafora – Jalan Purwanggan 47 bukan sekadar alamat, tetapi simbol kenangan, nostalgia, dan perjalanan hidup.
- Hiperbola – “ada yang terasa pedih benar, di dada ini” memperkuat intensitas perasaan yang tersimpan dari masa lalu.
Puisi "Jalan Purwanggan 47, Yogyakarta" karya Gunoto Saparie menghadirkan nostalgia masa kuliah yang penuh kenangan manis dan pahit. Dengan tema kenangan dan pengalaman pribadi, puisi ini memikat pembaca melalui suasana melankolis, imaji yang hidup, dan majas yang memperkuat kedalaman emosi. Setiap barisnya mengingatkan kita bahwa masa lalu, meski tak bisa kembali, tetap hidup dalam kenangan dan membentuk siapa kita sekarang.
Karya: Gunoto Saparie
BIODATA GUNOTO SAPARIE
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Selain di bidang pers, ia pernah bekerja di bidang pendidikan, yaitu guru di SMP Yasbumi Cepiring, SMP PGRI Patebon, SMP Muhammadiyah Kendal, dan SMA Al-Farabi Pegandon. Ia pernah pula bekerja di CV Sido Luhur Kendal dan PT Aryacipta Adibrata Semarang.
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
Gunoto Saparie juga sering diundang sebagai pembicara dalam kongres, simposium, dan seminar kesastraan. Ia pun sering membaca puisi di berbagai tempat dan juri lomba literasi yang diadakan lembaga pemerintah maupun swasta.