Sumber: Luka Bunga (1991)
Analisis Puisi:
Puisi “Jalan Setapak” karya Slamet Sukirnanto adalah karya yang kaya akan imaji alam, refleksi batin, dan simbol perjalanan spiritual. Dalam larik-lariknya, penyair menghadirkan suasana malam, kesunyian, dan perjalanan penuh renungan. Melalui bahasa yang puitis dan penuh majas, Slamet Sukirnanto tidak hanya menampilkan keindahan alam, tetapi juga menggambarkan pergulatan batin manusia dalam menghadapi kehidupan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjalanan batin manusia dalam menapaki kehidupan yang penuh ketidakpastian. Jalan setapak menjadi simbol perjalanan hidup yang sunyi, sempit, dan berliku. Penyair seperti ingin menggambarkan betapa manusia berjalan di antara harapan dan kecemasan, antara terang dan gelap, antara hidup dan kematian. Tema ini juga menyinggung aspek spiritual, yakni pencarian ketenangan dan makna di tengah luka dan kelelahan hidup.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menapaki jalan sunyi di malam hari—sebuah perjalanan fisik sekaligus batiniah. Dalam kesunyian, ia berbicara pada bulan, cahaya, dan alam sekitar seolah semuanya menjadi saksi perjalanan jiwanya. Ia berjalan di jalan setapak yang dikelilingi jurang, batu, dan kabut. Masing-masing elemen alam itu menghadirkan simbol ketakutan, tantangan, dan keterasingan yang dialami manusia.
Namun, di balik kegelapan dan bahaya itu, ada lentera kecil, gemercik air, dan sinar bulan—semuanya menjadi lambang harapan dan kekuatan untuk terus melangkah. Penyair menggambarkan perjalanan ini bukan hanya fisik, tetapi juga perjalanan menuju penerimaan diri dan ketenangan batin.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah pencarian kedamaian dan makna hidup setelah melalui penderitaan atau luka batin. Jalan setapak menggambarkan proses hidup yang tidak mudah, penuh ketakutan dan kesepian, namun tetap dijalani dengan keberanian.
Ketika penyair menulis “Limpahkan keheninganmu! Panjangkan waktu, tempat aku berteduh”, tersirat kerinduan akan ketenangan jiwa, seolah sang tokoh lirik ingin berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan menyatu dengan alam.
Ada pula pesan eksistensial: bahwa hidup adalah perjalanan panjang, di mana manusia harus menerima luka, belajar dari kegelapan, dan menemukan cahayanya sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa hening, sunyi, sekaligus mencekam dan reflektif. Gambaran jurang menganga, kabut, dan tebing batu menciptakan suasana tegang dan penuh kehati-hatian. Namun, di balik itu, muncul pula suasana damai dan kontemplatif saat penyair berbicara tentang keheningan malam dan gemercik air.
Perpaduan dua suasana ini—cemas dan tenang—menjadi kekuatan utama puisi ini, karena menggambarkan dengan jujur dinamika batin manusia dalam perjalanan spiritualnya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa dalam perjalanan hidup yang penuh rintangan dan kegelapan, manusia tidak boleh kehilangan harapan dan cahaya di hatinya.
Penyair mengingatkan bahwa setiap luka dan kesepian dapat menjadi bagian dari proses pendewasaan batin. Alam digambarkan bukan hanya sebagai latar, tetapi juga sebagai guru yang menuntun manusia untuk memahami dirinya sendiri.
Pesan lain yang terasa adalah bahwa keheningan dan kesunyian kadang dibutuhkan untuk menyembuhkan jiwa yang lelah, seperti larik:
“Menghirup dingin malam, membasuh luka yang kubawa dari jauh.”
Imaji
Puisi ini sangat kuat dalam imaji visual dan imaji perasaan.
- Imaji visual tampak pada penggambaran alam seperti “bulan di ujung daun semak”, “jurang bagai kubur menganga”, dan “gemercik kali di lembah”. Pembaca seolah dapat melihat suasana malam yang sunyi, dingin, dan misterius.
- Imaji perasaan muncul dari kata-kata seperti “membasuh luka”, “batin yang gaduh”, dan “baju lusuh”, yang menggambarkan kelelahan emosional dan pencarian ketenangan batin.
Kekuatan imaji inilah yang membuat pembaca larut dalam perjalanan yang dialami tokoh lirik.
Majas
Slamet Sukirnanto menggunakan beragam majas untuk memperkaya makna puisinya:
- Majas personifikasi – “Bulan di ujung daun semak tidur di atas bukit” memberi kehidupan pada bulan seolah makhluk yang beristirahat.
- Majas metafora – “Jalan setapak” menjadi metafora kehidupan yang penuh tantangan.
- Majas hiperbola – “Jurang bagai kubur menganga” memperkuat suasana bahaya dan ketakutan.
- Majas repetisi – Pengulangan kata seperti “Limpahkan” menciptakan efek doa dan penekanan makna spiritual.
Semua majas itu menjadikan puisi ini tidak hanya indah dibaca, tetapi juga menggugah secara emosional.
Puisi “Jalan Setapak” karya Slamet Sukirnanto merupakan refleksi mendalam tentang perjalanan hidup manusia yang sunyi dan penuh renungan. Melalui simbol alam dan suasana malam, penyair menyingkap pergulatan batin, ketakutan, dan kerinduan akan ketenangan. Tema yang kuat tentang perjalanan hidup, dikombinasikan dengan imaji alam yang hidup serta majas yang kaya, menjadikan puisi ini sebagai perenungan spiritual yang menyentuh. Di ujung jalan setapak itu, manusia belajar bahwa cahaya dan keheningan adalah anugerah yang dapat menuntun keluar dari kegelapan batin.
Karya: Slamet Sukirnanto
Biodata Slamet Sukirnanto:
- Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
- Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
- Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.