Jarak Ibu dan Rantau
Angin malam menerpa jendela
Terbaring demam, sedih hati
Tak ada tangan ibu di dahi
Tak ada suara ayah menenangkan diri
Panggilan video singkat serta doa-doa lekas sembuh
Rantau mengajarkan cara menangis tanpa bersuara
Menggigil di antara tumpukan tugas dan kerja
Menyembunyikan rindu di bawah selimut basah
Kalau saja rumah tak sejauh ini
Rantau tak akan pernah mengeluh akan kepedihan ini
Seandainya ibu tahu: Rantau tak pernah baik-baik saja
Padang, 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Jarak Ibu dan Rantau” karya Afny Dwi Sahira merupakan potret lirih tentang kerinduan seorang anak yang hidup jauh dari rumah dan keluarganya. Dalam kesederhanaan bahasanya, puisi ini memuat kepedihan emosional yang dalam, menggambarkan perjuangan di perantauan yang sering kali identik dengan kesepian, kelelahan, dan rasa kehilangan kasih sayang orang tua.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan seorang anak terhadap ibu dan rumah di tengah kehidupan perantauan. Selain itu, tersirat pula tema kesepian dan perjuangan dalam menghadapi hidup jauh dari keluarga.
Afny Dwi Sahira menyoroti sisi emosional dari pengalaman merantau — bukan sekadar soal bekerja atau belajar di tempat jauh, tetapi tentang beban batin yang tak terlihat oleh orang lain.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang sedang sakit dan merasa kesepian di tanah rantau. Malam hari menjadi saksi bisu kegelisahannya. Tak ada tangan ibu yang membelai dahi, tak ada suara ayah yang menenangkan. Hanya panggilan video singkat dan doa-doa lekas sembuh yang menjadi pengganti kasih sayang yang nyata.
Larik “Rantau mengajarkan cara menangis tanpa bersuara” menegaskan betapa kerasnya kehidupan jauh dari rumah. Anak itu harus kuat, meski hatinya lemah; harus tersenyum, meski hatinya menangis. Ia menggigil di antara tumpukan tugas, menyembunyikan rindu di bawah selimut — simbol bahwa kehidupan rantau memaksanya untuk menahan segala keluh kesah sendirian.
Pada bagian akhir, penyair menulis dengan nada getir:
“Seandainya ibu tahu: Rantau tak pernah baik-baik saja.”
Kalimat ini menutup puisi dengan kesadaran pahit bahwa di balik setiap “aku baik-baik saja” yang diucapkan perantau kepada orang tuanya, tersimpan keletihan dan rindu yang tak terucapkan.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah gambaran tentang perjuangan batin seorang perantau yang berusaha kuat, namun selalu merindukan rumah dan kasih sayang ibu. Rantau bukan hanya tempat mencari pengalaman atau rezeki, tetapi juga ruang ujian bagi perasaan dan keteguhan hati.
Puisi ini juga menyiratkan pesan universal tentang kasih orang tua yang tak tergantikan oleh jarak atau teknologi. Meski ada panggilan video dan pesan digital, tak ada yang bisa menggantikan sentuhan dan pelukan nyata.
Selain itu, terdapat pula makna eksistensial — bahwa manusia modern sering kali hidup dalam kesepian meski dikelilingi koneksi. Kehidupan di perantauan seolah menjadi metafora bagi jarak emosional yang semakin luas antara anak dan orang tua di zaman sekarang.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini sunyi, dingin, dan penuh kerinduan. Kata-kata seperti “angin malam menerpa jendela”, “terbaring demam”, dan “menyembunyikan rindu di bawah selimut basah” menciptakan atmosfer melankolis yang kental. Pembaca bisa merasakan kesepian yang menggigit, seolah-olah ikut terbaring bersama tokoh lirik di kamar sempit perantauan.
Namun di balik kesedihan itu, terdapat juga suasana ketabahan dan keikhlasan. Sang “aku” tetap bertahan, tetap belajar, tetap bekerja, meski dalam kesepian yang berat.
Imaji
Puisi ini kuat dalam imaji perasaan dan suasana ruang. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
- “Angin malam menerpa jendela” – imaji visual dan kinestetik yang menggambarkan kesendirian di malam hari.
- “Tak ada tangan ibu di dahi” – imaji sentuhan yang melambangkan kehilangan kehangatan dan kasih sayang.
- “Menyembunyikan rindu di bawah selimut basah” – imaji emosional dan metaforis yang menunjukkan air mata dan kesedihan yang dipendam.
Imaji-imaji ini berhasil menghidupkan suasana emosional puisi tanpa harus banyak menjelaskan. Pembaca seolah bisa “melihat” dan “merasakan” sendiri kesepian sang perantau.
Majas
Afny Dwi Sahira menggunakan beberapa majas sederhana namun efektif, seperti:
- Personifikasi: “Rantau mengajarkan cara menangis tanpa bersuara” — rantau digambarkan seperti guru yang memberikan pelajaran hidup.
- Metafora: “Menyembunyikan rindu di bawah selimut basah” — menggambarkan kesedihan mendalam tanpa harus menyebut kata “menangis”.
- Hiperbola: “Kalau saja rumah tak sejauh ini” — bukan hanya jarak geografis, tetapi juga jarak emosional yang terasa begitu jauh.
- Repetisi: pengulangan kata “rantau” mempertegas beban kata itu sendiri — sebagai tempat, pengalaman, dan luka.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat utama puisi ini adalah pentingnya menghargai kasih sayang orang tua dan memahami perjuangan di perantauan sebagai proses kedewasaan. Penyair seolah ingin mengatakan bahwa di balik kerasnya hidup di rantau, tersimpan pelajaran besar tentang keteguhan, kemandirian, dan cinta keluarga.
Selain itu, puisi ini juga menjadi pengingat bagi orang tua bahwa anak-anak yang jauh tidak selalu baik-baik saja, meski mereka selalu berusaha tampak kuat. Dan bagi para perantau, puisi ini menjadi cermin untuk menerima kesepian sebagai bagian dari perjuangan hidup — bahwa rindu, meski menyakitkan, adalah bukti cinta yang masih hidup.
Puisi “Jarak Ibu dan Rantau” karya Afny Dwi Sahira merupakan karya yang sederhana namun menyentuh, dengan kekuatan pada emosi dan pengalaman universal: kerinduan pada ibu. Melalui diksi lembut dan jujur, penyair menggambarkan realitas psikologis kaum muda yang merantau — berjuang antara tanggung jawab dan perasaan kehilangan.
Tema rindu dan kesepian di rantau berpadu dengan makna tersirat tentang nilai kasih keluarga dan keteguhan hati, menjadikan puisi ini bukan sekadar curahan pribadi, tetapi juga refleksi sosial tentang manusia modern yang sering terjebak dalam jarak dan waktu.
Puisi ini mengingatkan kita bahwa, sejauh apa pun seseorang pergi, rumah dan kasih ibu akan selalu menjadi tempat paling hangat untuk pulang.
Karya: Afny Dwi Sahira
Biodata Afny Dwi Sahira:
- Afny Dwi Sahira, lahir pada tanggal 25 Maret 2006 di Ponorogo, saat ini aktif sebagai mahasiswi, jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Afny rutin menulis dan sangat mencintai dunia seni, hal itu dapat dilihat dari keterlibatannya dalam Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @afnydwishra_