Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kalianget (Karya Abdul Hadi WM)

Puisi “Kalianget” karya Abdul Hadi W.M. bercerita tentang seorang kelasi (pelaut) yang berada di pelabuhan Kalianget, tempat ia menunggu saat ...
Kalianget

Bulan gerimis kembali
Seorang kelasi berbisik dalam nyanyi
Tinggal ngungun ngangap ombak
Tinggal kapal-kapal. Kapan bertolak.

1967

Sumber: Horison (Mei, 1970)

Analisis Puisi:

Puisi “Kalianget” karya Abdul Hadi W.M. merupakan salah satu karya pendek namun padat makna yang menampilkan kekuatan imaji dan kesederhanaan diksi. Meski hanya terdiri dari beberapa larik, puisi ini mampu menghadirkan suasana batin yang dalam serta refleksi eksistensial tentang waktu, penantian, dan perjalanan hidup manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan penantian dalam kesunyian. Penyair menggambarkan suasana alam yang sendu—bulan dan gerimis—sebagai latar bagi kegelisahan seorang kelasi yang tengah menunggu saat untuk berlayar. Tema ini juga dapat dimaknai sebagai simbol kehidupan manusia yang selalu menunggu momentum untuk bergerak, untuk meninggalkan masa lalu, atau untuk memulai kembali perjalanan baru.

Puisi ini bercerita tentang seorang kelasi (pelaut) yang berada di pelabuhan Kalianget, tempat ia menunggu saat keberangkatan kapalnya. Dalam suasana malam gerimis, sang kelasi berbisik dalam nyanyi, menandakan keheningan yang bercampur dengan rasa sepi. Ia menatap laut dan kapal-kapal yang belum bertolak, seolah mempertanyakan kapan perjalanan hidupnya akan dimulai kembali. Gambaran ini tidak hanya fisik, tetapi juga emosional—tentang seseorang yang diam di tengah penantian yang panjang.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Kalianget” dapat dibaca sebagai renungan eksistensial manusia terhadap waktu dan nasib. Kelasi dalam puisi bisa dilihat sebagai lambang manusia yang hidup di antara harapan dan kenyataan, antara diam dan gerak. “Bulan gerimis kembali” menandakan siklus waktu yang berulang, sedangkan “Tinggal kapal-kapal. Kapan bertolak.” menggambarkan kegelisahan akan stagnasi hidup—tentang seseorang yang ingin maju namun tertahan oleh sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami.

Puisi ini juga menyinggung kerinduan terhadap kebebasan. Laut, kapal, dan ombak merupakan simbol perjalanan dan keterbukaan, tetapi di sini semuanya “tinggal”—diam, berhenti, menunggu. Dengan demikian, puisi ini menyiratkan konflik batin antara keinginan untuk bergerak dan kenyataan yang memaksa untuk diam.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah melankolis dan sendu. Kata-kata seperti “bulan gerimis kembali” dan “berbisik dalam nyanyi” menghadirkan nuansa kesepian yang lembut, seolah penyair mengajak pembaca merasakan sepi yang tidak menyakitkan tetapi sarat makna. Suasana ini juga mengandung nada reflektif—mendorong pembaca merenung tentang waktu yang berlalu dan impian yang belum terwujud.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini dapat ditafsirkan sebagai ajakan untuk menerima waktu dan menunggu dengan kesadaran. Dalam kehidupan, tidak semua hal bisa segera “bertolak”; ada masa-masa di mana manusia harus diam, menunggu arah angin, menunggu momen yang tepat untuk berlayar kembali. Abdul Hadi W.M. melalui puisinya mengingatkan bahwa diam pun adalah bagian dari perjalanan, bahwa kerinduan dan penantian merupakan bagian alami dari eksistensi manusia.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif. Imaji visual tampak pada larik “Bulan gerimis kembali”, yang menggambarkan suasana alam yang lembut dan basah. Imaji auditif hadir dalam “Seorang kelasi berbisik dalam nyanyi”, memberikan kesan suara yang pelan, intim, dan pribadi. Kedua jenis imaji ini berpadu membentuk lanskap batin yang tenang namun bergejolak di dalamnya—sebuah potret keheningan yang hidup.

Majas

Abdul Hadi W.M. menggunakan beberapa majas perbandingan dan personifikasi untuk memperkuat makna puisinya:
  • Personifikasi – “Seorang kelasi berbisik dalam nyanyi” memberi kesan bahwa nyanyian itu hidup, seolah menyatu dengan perasaan sang kelasi.
  • Repetisi – Pengulangan kata “Tinggal” pada larik “Tinggal ngungun ngangap ombak / Tinggal kapal-kapal.” menegaskan kesunyian dan kekosongan situasi.
  • Metafora – “Kapal” dan “ombak” bisa dibaca sebagai metafora kehidupan dan tantangan yang harus dihadapi manusia.
Puisi “Kalianget” karya Abdul Hadi W.M. merupakan potret puitik tentang penantian, kesepian, dan kesadaran akan waktu. Melalui bahasa yang sederhana namun simbolik, penyair menghadirkan dunia batin yang tenang sekaligus resah. Di balik kesunyian kelasi yang menunggu, tersembunyi renungan mendalam tentang hidup yang kadang harus berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Puisi ini tidak hanya menggambarkan pemandangan laut atau pelabuhan, tetapi juga menjadi cermin dari perjalanan batin manusia—tentang bagaimana kita menatap masa depan dari tepi waktu, menunggu saat yang tepat untuk “bertolak” menuju kehidupan berikutnya.

Puisi: Kalianget
Puisi: Kalianget
Karya: Abdul Hadi WM

Biodata Abdul Hadi WM:
  • Abdul Hadi WM (Abdul Hadi Widji Muthari) lahir di kota Sumenep, Madura, pada tanggal 24 Juni 1946.
  • Abdul Hadi WM adalah salah satu tokoh Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.