Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kamar Bedah (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi "Kamar Bedah" karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang kondisi Indonesia yang diibaratkan sebagai pasien kritis di kamar bedah. Pasien itu ...
Kamar Bedah

Telah terbentang ranjang
Pisau tajam dan kecerdasan
Pasienmu sekarat atau lelap
Bius merangsang. Bungkam
Sosok tak dikenal
Nusantara. Tanah Air
Indonesiamu. Tergeletak layu
Membisu. Menunggu. Lalu lalang
Katanya ahli bedah. Tegang
Saling menerjang
Silang pendapat
Diagnosa dan terapi
Menimbang juru selamat
Mengatasi yang gawat
Di luar kamar
— Yang lebih mampu!
Hanya termangu. Gamang
Dan lucu. Memandang orang-orang
Yang ngaku pakar
Ternyata dungu
Berlagak piawai
Siap mengiris dan mengoyak
Tubuh lusuh lunglai!

Jakarta, 15 Februari 2001

Sumber: Gergaji (2001)

Analisis Puisi:

Puisi "Kamar Bedah" karya Slamet Sukirnanto menghadirkan simbol-simbol medis seperti ranjang, pisau tajam, ahli bedah, dan kamar operasi. Namun, bila dibaca lebih dalam, puisi ini bukan sekadar berbicara tentang ruang medis. Ia merupakan alegori sosial-politik yang mengibaratkan bangsa dan tanah air sebagai pasien yang tengah sakit parah, menunggu pertolongan, namun justru dikelilingi oleh orang-orang yang berpura-pura ahli, penuh silang pendapat, tetapi tidak memberi solusi nyata.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial-politik terhadap kondisi bangsa yang sedang terpuruk dan kacau, namun dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten. Simbol “kamar bedah” menjadi representasi ruang darurat yang menentukan hidup-mati, sama seperti kondisi bangsa yang kritis.

Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang kondisi Indonesia yang diibaratkan sebagai pasien kritis di kamar bedah. Pasien itu tergeletak lemah, terancam nyawanya, tetapi orang-orang yang seharusnya menyelamatkan justru lebih banyak berdebat, berpura-pura pintar, bahkan tampak dungu. Bukannya memberi jalan keluar, mereka justru siap “mengiris dan mengoyak tubuh lusuh lunglai,” yang berarti memperparah keadaan bangsa.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa kepemimpinan dan pengelolaan bangsa sering kali dikuasai oleh orang-orang yang tidak benar-benar kompeten. Mereka hanya pandai berbicara, mengklaim diri sebagai “pakar,” tetapi pada kenyataannya justru membuat keadaan semakin gawat. Dengan metafora kamar bedah, penyair menyindir bahwa nasib Indonesia seakan bergantung pada tangan-tangan yang salah.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi terasa tegang, getir, dan sinis. Tegang karena digambarkan seperti kondisi darurat di kamar operasi; getir karena pasien yang dimaksud adalah Nusantara itu sendiri; dan sinis karena penyair melihat bahwa para “ahli” justru bertingkah lucu sekaligus dungu, bukannya menyelamatkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa sebuah bangsa hanya akan selamat jika ditangani oleh orang-orang yang benar-benar ahli, berintegritas, dan tulus bekerja, bukan sekadar yang mengaku pakar. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa debat tanpa solusi, kesombongan intelektual, dan kepura-puraan dalam kepemimpinan hanya akan memperburuk keadaan.

Imaji

Puisi ini menggunakan imaji yang kuat, terutama imaji visual:
  • “Telah terbentang ranjang / Pisau tajam dan kecerdasan” → menghadirkan bayangan ruang operasi yang penuh alat medis.
  • “Pasienmu sekarat atau lelap” → membangun imaji kondisi kritis seseorang yang menunggu hidup atau mati.
  • “Tubuh lusuh lunglai” → gambaran visual tentang tubuh Indonesia yang lemah dan hampir tak berdaya.
Imaji ini tidak hanya berfungsi sebagai deskripsi, tetapi juga sebagai simbol sosial.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Majas metafora → “Nusantara. Tanah Air / Indonesiamu. Tergeletak layu” mengibaratkan bangsa sebagai pasien kritis.
  • Majas personifikasi → “Indonesia tergeletak layu, membisu, menunggu” menggambarkan bangsa seolah manusia yang sakit parah.
  • Majas ironi → penyair menyebut “orang-orang yang ngaku pakar / ternyata dungu,” menghadirkan kontras antara klaim dan kenyataan.
  • Majas satir → sindiran keras kepada para pemimpin atau elite yang lebih suka berdebat daripada bertindak.
Puisi "Kamar Bedah" karya Slamet Sukirnanto merupakan karya yang sarat kritik sosial dan politik. Dengan menghadirkan simbol medis sebagai metafora, penyair berhasil menggambarkan kondisi Indonesia yang kritis, tetapi justru ditangani oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Melalui tema, imaji, dan majas yang digunakan, puisi ini mengingatkan bahwa bangsa hanya bisa diselamatkan oleh keahlian yang sejati, bukan oleh kepura-puraan dan debat tanpa arah.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Kamar Bedah
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.