Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kasidah Pengembara (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi “Kasidah Pengembara” karya Abdul Wachid B. S. bercerita tentang seorang pengembara yang telah menempuh perjalanan panjang, baik secara fisik ...
Kasidah Pengembara

Masih begitu jauh jalan yang terakhir
dan telah kubaca semua buku, kota demi kota
tapi matahari tenggelam dalam mimpi
dalam fatamorgana nasib

kemudian burung-burung merasa sangsi
akan jarak
menjeritkan badai yang bakal tiba
mungkin aku terlalu sabar
hingga hilang segala dan semua
kemudian tinggal bayang-bayang malam
mungkin juga maut
atau lolong srigala
dan kini santapanku tinggal angin

oi, tangan yang mulai membatu ini
tidak menulisi langit
dan rembulan dan bintang-bintang
tidak mengenang semua dan segala
aku tinggal diam
melayarkan mimpi dalam darah
menjelang alam baru penuh gairah

tapi o, cacing-cacing sahabat tanah kubur
masih kupercayakan jantung dan hatiku
pada hati Manusiamu yang
memasuki kota
kota tanpa tiang langit di atasnya.

1988

Analisis Puisi:

Puisi ini bertema perjalanan spiritual dan eksistensial manusia dalam mencari makna hidup dan ketuhanan. Abdul Wachid B. S. menggunakan citraan pengembaraan sebagai simbol perjalanan batin seorang manusia yang telah menjelajahi dunia, ilmu, dan waktu, namun tetap haus akan kebenaran hakiki. Tema ini mencerminkan kegelisahan jiwa yang terus mencari arah di tengah kefanaan dunia — antara kesabaran, keputusasaan, dan penyerahan diri.

Puisi ini bercerita tentang seorang pengembara yang telah menempuh perjalanan panjang, baik secara fisik maupun spiritual. Ia telah “membaca semua buku, kota demi kota,” yang melambangkan pencarian pengetahuan dan pengalaman. Namun, setelah semua usaha itu, ia masih belum menemukan “jalan yang terakhir” — yaitu puncak makna kehidupan atau kedamaian batin.

Dalam perjalanannya, pengembara menghadapi keraguan (“burung-burung merasa sangsi akan jarak”), kehilangan (“hilang segala dan semua”), hingga kematian (“mungkin juga maut, atau lolong srigala”). Namun di akhir puisi, ia masih menyimpan kepercayaan — menyerahkan “jantung dan hati” pada “hati Manusiamu”, yakni simbol Ketuhanan.

Dengan demikian, puisi ini merupakan sebuah kasidah — nyanyian doa pengembara yang mencari Tuhan di tengah kesunyian dan keterasingan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran manusia tentang keterbatasan akal dan pengalaman duniawi dalam menemukan kebenaran sejati.

Segala ilmu (“telah kubaca semua buku”) dan perjalanan (“kota demi kota”) belum tentu membawa pada pencerahan, karena kebenaran sejati berada dalam dimensi rohani — dalam hati yang berserah kepada Sang Pencipta.

Puisi ini juga mengandung refleksi sufistik: perjalanan hidup manusia adalah pengembaraan menuju Tuhan. Dunia adalah tempat singgah sementara, penuh fatamorgana, sedangkan tujuan sejati adalah “kota tanpa tiang langit” — metafora bagi alam kekal, tempat kebenaran sejati bersemayam.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah muram, sunyi, dan reflektif, namun juga penuh pengharapan mistik.

Di awal puisi, suasana dilingkupi rasa lelah dan keputusasaan: “masih begitu jauh jalan yang terakhir,” “matahari tenggelam dalam mimpi.” Namun menjelang akhir, muncul nada keikhlasan dan pasrah: “masih kupercayakan jantung dan hatiku pada hati Manusiamu.”

Suasana ini bergerak dari gelap menuju terang — dari kebingungan menuju penyerahan spiritual.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang menuntun manusia untuk mengenali batas dirinya dan akhirnya kembali kepada Tuhan. Abdul Wachid B. S. ingin menegaskan bahwa pencarian ilmu, harta, atau pengalaman duniawi tidak akan memberi ketenangan sejati jika tidak disertai pencarian rohani.

Pesan lainnya adalah tentang kesabaran dan kerendahan hati — bahwa dalam keheningan dan penderitaan, manusia justru menemukan makna terdalam dari keberadaannya.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji alam dan spiritual yang kuat, menggambarkan suasana batin pengembara yang sunyi dan resah:
  • “Matahari tenggelam dalam mimpi” – imaji visual sekaligus simbol padamnya semangat atau harapan.
  • “Burung-burung merasa sangsi akan jarak” – imaji pendengaran yang melukiskan ketidakpastian dan kebimbangan.
  • “Santapanku tinggal angin” – imaji rasa dan lapar spiritual.
  • “Cacing-cacing sahabat tanah kubur” – imaji kematian, pengingat kefanaan jasad manusia.
  • “Kota tanpa tiang langit” – imaji simbolik tentang alam akhirat, dunia tanpa batas dan tanpa fana.
Imaji-imaji tersebut menghadirkan pengalaman eksistensial yang dalam, menggambarkan manusia di ambang batas antara hidup dan mati, dunia dan akhirat.

Majas

Abdul Wachid B. S. menggunakan berbagai majas untuk memperkuat kesan religius dan reflektif puisi ini:
  • Metafora: “Kasidah Pengembara” sendiri adalah metafora dari doa perjalanan hidup manusia.
  • Personifikasi: “Burung-burung merasa sangsi akan jarak”, memberi sifat ragu kepada makhluk alam untuk mencerminkan keraguan manusia.
  • Hiperbola: “Telah kubaca semua buku, kota demi kota” menggambarkan luasnya pencarian manusia yang tak berujung.
  • Simbolisme: “Kota tanpa tiang langit” melambangkan dunia spiritual atau kehidupan setelah mati.
  • Repetisi halus: pengulangan nada “mungkin” dan “kemudian” menegaskan proses waktu dan ketidakpastian nasib manusia.
Puisi “Kasidah Pengembara” karya Abdul Wachid B. S. merupakan karya yang kaya makna spiritual dan eksistensial. Dengan bahasa yang padat dan simbolik, penyair menampilkan sosok pengembara yang telah menjelajahi dunia, namun akhirnya menyadari bahwa tujuan akhir bukan di kota-kota fana, melainkan pada “hati Manusiamu” — Sang Pencipta.

Melalui citraan pengembaraan, kesepian, dan penyerahan, puisi ini menghadirkan perenungan mendalam tentang hakikat hidup, kesabaran, dan iman. Ia menjadi semacam doa panjang — sebuah kasidah — yang mengingatkan kita bahwa perjalanan hidup manusia sejatinya adalah perjalanan pulang menuju Tuhan.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Kasidah Pengembara
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.