Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kemarau (Karya Suliestiowaty)

Puisi “Kemarau” karya Suliestiowaty bercerita tentang alam yang mengalami kekeringan parah akibat musim kemarau. Sungai mengering, bunga melati ...

Kemarau

Sungai-sungaiku kering
Melatiku layu
Dan rumput pun kecoklatan
Bilakah engkau pergi?
Agar semua berseri kembali
Sejak kehadiranmu
Ternak tak ada yang merumput
Margasatwa enggan berdendang
Dan debu jalanan
Menyesakkan nafas

Sumber: Cemerlang (III/5, 1978)

Analisis Puisi:

Puisi “Kemarau” karya Suliestiowaty menggambarkan suasana alam yang kering, gersang, dan penuh penderitaan akibat datangnya musim kemarau. Namun di balik penggambaran alam itu, tersimpan makna yang lebih dalam tentang kehidupan, harapan, dan kerinduan pada kesejukan yang hilang.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kekeringan dan penderitaan akibat hilangnya kehidupan serta harapan. Melalui suasana alam yang tandus, Suliestiowaty menyuarakan kerinduan terhadap keseimbangan dan kesuburan yang hilang. Tema ini tidak hanya menggambarkan keadaan fisik, tetapi juga menyiratkan kondisi batin manusia yang sedang dilanda kekosongan dan kehilangan semangat hidup.

Puisi ini bercerita tentang alam yang mengalami kekeringan parah akibat musim kemarau. Sungai mengering, bunga melati layu, dan rumput berubah kecoklatan. Semua kehidupan tampak berhenti — ternak tidak bisa merumput, margasatwa enggan bersuara, dan debu jalanan membuat napas terasa sesak. Penyair kemudian mengekspresikan kerinduan terhadap perubahan — “bilakah engkau pergi?” — yang ditujukan kepada kemarau itu sendiri, agar kehidupan dapat kembali berseri dan penuh harapan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kerinduan akan kehidupan yang lebih baik setelah masa-masa sulit. “Kemarau” dalam puisi ini bisa dimaknai bukan hanya secara harfiah, tetapi juga simbolis — melambangkan masa penderitaan, kesepian, atau kehampaan batin.

Saat penyair bertanya “bilakah engkau pergi?”, itu menunjukkan harapan agar penderitaan segera berakhir dan kehidupan kembali subur, baik secara alamiah maupun emosional. Dengan demikian, puisi ini menyiratkan pesan bahwa setelah masa sulit, manusia selalu menantikan datangnya pembaruan dan keindahan baru — seperti hujan setelah kemarau panjang.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini muram, gersang, dan penuh kegetiran. Setiap larik menghadirkan kesan kekosongan dan penderitaan alam. Gambaran seperti “melatiku layu”, “rumput pun kecoklatan”, dan “debu jalanan menyesakkan nafas” menciptakan atmosfer yang berat dan menyesakkan. Namun di tengah suasana itu, muncul juga nada harapan yang lembut, terutama saat penyair menanti agar kemarau pergi dan kehidupan kembali cerah.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan imaji perasaan. Imaji visual tampak jelas dalam deskripsi “sungai-sungaiku kering”, “melatiku layu”, dan “rumput pun kecoklatan” — pembaca seolah dapat melihat lanskap yang tandus dan tak bernyawa. Imaji perasaan muncul pada kalimat “bilakah engkau pergi?” yang memunculkan rasa rindu dan putus asa. Sementara “debu jalanan menyesakkan nafas” menghadirkan imaji fisik yang kuat, membuat pembaca ikut merasakan penderitaan akibat musim kemarau.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi, tampak pada baris “Margasatwa enggan berdendang”, seolah-olah hewan memiliki perasaan yang sama dengan manusia.
  • Metafora, pada keseluruhan konsep “kemarau” yang bisa diartikan sebagai lambang penderitaan atau kekosongan batin.
  • Hiperbola, pada “debu jalanan menyesakkan nafas”, yang memperkuat kesan berat dan sesaknya suasana kemarau.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Amanat yang disampaikan puisi ini adalah setiap masa sulit pasti akan berlalu, dan manusia perlu memiliki harapan untuk menyambut kehidupan baru. Suliestiowaty seolah mengingatkan bahwa seperti alam yang menunggu hujan setelah kemarau, manusia juga harus bersabar menghadapi kekeringan hidup — karena pada waktunya, kesuburan dan kebahagiaan akan datang kembali.

Puisi “Kemarau” karya Suliestiowaty adalah puisi yang sederhana namun sarat makna. Dengan diksi yang jernih dan imaji alam yang kuat, penyair berhasil menggambarkan tidak hanya kekeringan fisik, tetapi juga kekeringan batin manusia — serta harapan akan datangnya kehidupan baru yang lebih segar dan penuh cahaya.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Kemarau
Karya: Suliestiowaty
© Sepenuhnya. All rights reserved.