Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ketika Doa Retak di Ujung Munajat Kehidupan (Karya Ahmad Yani AZ)

Puisi “Ketika Doa Retak di Ujung Munajat Kehidupan” karya Ahmad Yani AZ mengingatkan kita bahwa bahkan ketika doa “retak”, ketika hidup tampak ...
Ketika Doa Retak di Ujung Munajat Kehidupan (2)

Di sebuah sudut masih ada yang menghiba
Di sebuah sudut masih ada yang meraba raba
Di sebuah sudut masih ada yang mengiris perih
Di sebuah sudut masih ada yang mengharap harap
Di sebuah sudut masih ada yang menanti dermaga hampa
Di sebuah sudut masih ada yang mengais sisa-sisa
Di sebuah sudut masih ada yang patah sayap
Di sebuah sudut masih ada yang menghitung mimpi dan waktu
Di sebuah sudut masih ada yang mencoba akhiri kehidupan
Di sebuah sudut masih ada dan masih ada .......... yang mengelus-ngelus lapar dahaga
Di sebuah sudut masih ada adan masih ada yang penuh pertanyaan tanpa jawaban
Di sebuah sudut masih ada yang coba menembus belantara misteri rahasia-Nya

Kuala Tungkal, 26 Oktober 2014

Analisis Puisi:

Puisi “Ketika Doa Retak di Ujung Munajat Kehidupan” karya Ahmad Yani AZ merupakan refleksi sosial dan spiritual yang sangat kuat. Melalui repetisi frasa “di sebuah sudut masih ada…”, penyair mengajak pembaca menyelami sudut-sudut kehidupan manusia yang penuh luka, derita, dan kerinduan akan kasih Ilahi. Puisi ini bukan sekadar keluhan, melainkan juga doa yang patah—sebuah munajat dari manusia yang kehilangan arah di tengah dunia yang dingin dan keras.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penderitaan manusia dan kegelisahan spiritual dalam menghadapi kehidupan yang tidak adil. Penyair menghadirkan potret orang-orang yang hidup di pinggiran, baik secara sosial maupun batin. Di balik kata-kata yang sederhana, tersimpan kritik sosial terhadap ketimpangan, kemiskinan, dan keputusasaan yang sering diabaikan dunia.

Namun, di sisi lain, tema spiritual juga menonjol—bahwa di balik semua penderitaan, manusia tetap mencari Tuhan, tetap mengiba dan berdoa, walau “doa itu retak di ujung munajat kehidupan.”

Puisi ini dengan demikian berbicara tentang perpaduan antara kepedihan sosial dan pencarian makna rohaniah, antara luka dunia dan harapan surgawi.

Puisi ini bercerita tentang manusia-manusia yang terlupakan, mereka yang berada “di sebuah sudut” kehidupan—sudut yang jarang dilihat oleh mereka yang hidup dalam kenyamanan.

Mereka adalah simbol dari orang-orang yang hidup dalam penderitaan:
  • yang “menghiba” karena putus asa,
  • yang “meraba-raba” karena kehilangan arah,
  • yang “mengiris perih” karena luka batin,
  • yang “mengharap-harap” karena masih menggenggam sisa harapan,
  • dan yang “menanti dermaga hampa” karena tak tahu ke mana harus pulang.
Baris-baris puisi ini menunjukkan siklus penderitaan manusia: dari lapar dan dahaga, kehilangan arah, hingga putus asa dan hampir menyerah pada kehidupan. Tetapi pada akhirnya, tetap ada sebersit iman—“masih ada yang coba menembus belantara misteri rahasia-Nya.”

Dengan demikian, puisi ini bercerita tentang manusia yang berjuang mencari cahaya Tuhan di tengah kegelapan hidup.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa di balik setiap penderitaan, masih ada kesadaran spiritual yang hidup. Meski doa telah “retak” dan hidup terasa hampa, manusia tetap berusaha mencari makna, tetap berharap pada rahmat Tuhan.

Kata “sudut” dalam puisi ini bukan sekadar ruang fisik, tetapi juga metafora dari keterpinggiran—baik sosial maupun spiritual. Ia mewakili mereka yang tersingkir dari sistem, tetapi masih menyimpan keyakinan, meskipun keyakinan itu mulai rapuh.

Makna tersirat lainnya adalah kritik terhadap kemanusiaan yang kehilangan empati. Penyair seolah mengingatkan bahwa selama masih ada satu “sudut” yang berisi penderitaan, maka doa manusia belum sempurna, dan dunia belum benar-benar damai.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah kelam, getir, dan penuh kepedihan batin. Setiap barisnya seperti membawa gema duka yang berulang, menciptakan efek emosional yang mendalam.

Namun, di tengah kegelapan itu, terselip suasana spiritual dan harapan samar—bahwa masih ada yang berdoa, masih ada yang berusaha menembus rahasia Ilahi, walau dengan doa yang sudah “retak.”

Suasana tersebut menggabungkan rasa iba, getir, dan keheningan religius yang membuat puisi ini terasa menyayat, namun juga menenangkan dalam kejujurannya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah seruan untuk melihat kembali sisi kemanusiaan yang sering dilupakan. Penyair mengingatkan bahwa di setiap sudut kehidupan, masih banyak orang yang menderita, masih banyak doa yang tak terdengar.

Amanat lainnya adalah pentingnya keteguhan iman di tengah keterpurukan. Walau hidup terasa berat, dan doa seolah tak sampai ke langit, manusia tidak boleh berhenti berdoa atau mencari makna.

Puisi ini juga dapat dibaca sebagai ajakan untuk introspeksi spiritual—bahwa manusia perlu menyadari betapa lemahnya dirinya tanpa bimbingan Tuhan, dan betapa besar kasih-Nya bagi mereka yang tetap bertahan dalam penderitaan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji sosial dan spiritual yang menyentuh:
  • “menghiba,” “meraba-raba,” “mengiris perih” → menghadirkan gambaran fisik dan emosional tentang manusia yang kehilangan arah dan harapan.
  • “menanti dermaga hampa” → menghadirkan imaji laut, simbol dari perjalanan hidup yang panjang tanpa kepastian tujuan.
  • “mengais sisa-sisa” → menggambarkan kemiskinan dan perjuangan hidup yang keras.
  • “patah sayap” → metafora visual tentang kehilangan semangat dan daya juang.
  • “menembus belantara misteri rahasia-Nya” → menghadirkan imaji spiritual tentang usaha manusia menuju pemahaman Ilahi.
Imaji-imaji ini menciptakan kesan puitis yang kuat, membuat penderitaan terasa nyata namun tetap indah dalam kesadaran spiritualnya.

Majas

Ahmad Yani AZ menggunakan beberapa majas yang memperkuat keindahan dan makna puisi, di antaranya:

Repetisi
  • Frasa “Di sebuah sudut masih ada…” diulang di hampir setiap baris, menciptakan irama yang mendalam dan menegaskan betapa banyak penderitaan yang masih tersembunyi di berbagai sisi kehidupan.
Metafora
  • “Patah sayap” melambangkan kehilangan semangat hidup.
  • “Dermaga hampa” menggambarkan harapan yang tidak pernah sampai.
  • “Belantara misteri rahasia-Nya” adalah lambang perjalanan spiritual manusia yang mencoba memahami kehendak Tuhan.
Personifikasi
  • “Yang mengelus-ngelus lapar dahaga” — lapar dan dahaga diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa dielus, menggambarkan keintiman penderitaan dengan tubuh manusia itu sendiri.
Hiperbola
  • “Masih ada yang menghitung mimpi dan waktu” — berlebihan untuk menegaskan rasa putus asa, seolah hidup hanya diisi oleh menunggu dan menghitung sesuatu yang tak pasti.
Puisi “Ketika Doa Retak di Ujung Munajat Kehidupan” karya Ahmad Yani AZ adalah potret getir kehidupan manusia yang terpinggirkan, namun tetap berpegang pada sisa-sisa harapan dan iman. puisi ini mengingatkan kita bahwa bahkan ketika doa “retak”, ketika hidup tampak gelap, manusia sejati tidak berhenti berdoa dan berharap pada rahmat Tuhan. Karena di setiap sudut kehidupan, “masih ada dan masih ada…”—sisa cahaya yang menuntun manusia kembali pada-Nya.

Puisi Ahmad Yani AZ
Puisi: Ketika Doa Retak di Ujung Munajat Kehidupan
Karya: Ahmad Yani AZ

Biodata Ahmad Yani AZ:

Ahmad Yani AZ lahir di Kuala Tungkal (Bungsu dari 9 bersaudara, 11 Februari 1969. Sejak kelas 4 SD sudah mulai mencoba untuk terjun ke dunia kepenulisan dan sampai SLTA maupun saat melanjutkan studi pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta sampai sekarang ini. Yang pada waktu itu mengikuti test pada Universitas Jambi, IKIP Karang Malang dan Institut Seni Indonesia Jurusan Tari, justru lulus pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta (tahun 1993).

Di samping menekuni dunia kepenulisan, juga sambil aktif mengisi waktu masuk di sanggar Natya Lakshita Yogyakarta pimpinan Didik Nini Thowok (3 bulan) dan LPK. Kepenyiaran Radio & TV (Jurusan Kepenulisan Naskah 1994).

Selesai di Akademi Komunikasi Yogyakarta dan kembali ke kampung halaman, kemudian menjadi Freelance Journalist (dan magang) di Harian Independent (yang sekarang Jambi Independent) kemudian aktif menulis di rubrik opini dan budaya di Pos Metro, Jambi Ekspres dan sempat menjadi Kabiro/Reporter Mingguan Jambi Post (1998-2000), Pimred Bulletin Poltik KIN RADIO (2004), kemudian diminta menjadi staf redaksi Mingguan Media Pos Medan (lebih kurang 1,5 tahun: 2002), Wakil Sekretaris Pincab. Pemuda Panca Marga (2001–2014), Bagian Seni Budaya/Pariwisata Pemuda Panca Marga Tanjab Barat 2014-2018 dan 2009-2012 Freelance Journalist: Harian Radar Tanjab, Pos Metro, Jambi Eks, Jambi Independent, Infojambi, Tipikor Meda, Harian Jambi, Tribun, Staf Disporabudpar Tanjab Barat (November 2014 sampai sekarang Wartawan/Pengasuh Rubrik Seni dan Sastra Harian Tungkal Post). Putra bungsu H. Ahmad Zaini (Tokoh Pejuang/Anggota Veteran, Anggota Laskar Hisbullah, Barisan Selempang Merah & Saksi/Pelaku Sejarah).
© Sepenuhnya. All rights reserved.