Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kidung Putih (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “Kidung Putih” karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang perjalanan spiritual seseorang yang menemukan kembali ketenangan dan kedekatan ...
Kidung Putih

Bagai semula! Burung kembali kepaknya
Dan kini kurentangkan tanganku
Menadah kepada-Mu!
Kembali kepada-Mu!

1966

Sumber: Catatan Suasana (1982)

Analisis Puisi:

Puisi “Kidung Putih” karya Slamet Sukirnanto tampak singkat, hanya terdiri dari beberapa larik, tetapi memiliki makna spiritual yang dalam. Dengan gaya bahasanya yang sederhana namun sarat simbol, puisi ini mengisyaratkan perjalanan batin manusia menuju kesucian, penyerahan diri, dan kesadaran akan kebesaran Tuhan. Kekuatan puisi ini justru terletak pada kesederhanaannya — setiap kata seperti doa yang bergetar lembut di dada pembaca.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah spiritualitas dan kepasrahan diri kepada Tuhan. Kata “kidung” dalam judul merujuk pada nyanyian atau pujian, sedangkan “putih” melambangkan kemurnian, kesucian, dan kedamaian batin. Maka, “Kidung Putih” bisa dimaknai sebagai nyanyian suci jiwa yang kembali kepada asalnya, yaitu kepada Tuhan.

Slamet Sukirnanto menempatkan manusia dalam posisi yang rendah hati di hadapan Sang Pencipta. Tema ini menggambarkan kerinduan untuk kembali ke sumber kehidupan, ke keadaan suci seperti semula, sebelum manusia tersesat dalam hiruk-pikuk dunia.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan spiritual seseorang yang menemukan kembali ketenangan dan kedekatan dengan Tuhan.

Baris pembuka “Bagai semula! Burung kembali kepaknya” mengisyaratkan siklus kehidupan — seperti burung yang kembali mengepakkan sayapnya setelah diam, manusia pun kembali kepada fitrah sucinya.

Selanjutnya, penyair menulis, “Dan kini kurentangkan tanganku / Menadah kepada-Mu!” — gambaran paling sederhana dari doa, penyerahan, dan pengakuan atas ketergantungan makhluk terhadap Tuhan. Kalimat terakhir, “Kembali kepada-Mu!” menjadi klimaks spiritual: bukan sekadar kembali secara fisik, tetapi juga batin yang pasrah dan berserah penuh.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kerinduan manusia untuk pulang kepada kesucian dan ketenangan batin. Penyair seolah ingin menyampaikan bahwa dalam kehidupan yang penuh dosa, keresahan, dan pencarian, manusia sesungguhnya hanya merindukan satu hal: kembali pada Tuhan.

Ungkapan “Bagai semula” menunjukkan harapan untuk menemukan kembali keadaan murni sebelum ternoda oleh kesalahan dan ego. Sedangkan “menadah kepada-Mu” adalah simbol kesadaran akan keterbatasan manusia — bahwa hanya dengan berserah diri, seseorang bisa mencapai kedamaian sejati.

Puisi ini juga dapat dimaknai sebagai doa penyucian diri, sebuah bentuk pertobatan yang tenang dan tulus.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hening, khusyuk, dan penuh ketenangan batin. Setiap larik seperti gema doa yang diucapkan dengan lembut dalam kesunyian malam. Tidak ada kata yang berlebihan; semuanya sederhana, tetapi bergetar dengan rasa spiritual yang dalam.

Suasana hening itu diperkuat oleh kesan “putih” — warna yang identik dengan ketenangan, pemaafan, dan kedamaian. Pembaca akan merasakan kedamaian yang perlahan meresap seiring setiap larik dibaca.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi “Kidung Putih” adalah ajakan untuk kembali kepada Tuhan dan kesucian diri, karena di situlah manusia menemukan arti kehidupan yang sebenarnya. Penyair mengingatkan bahwa segala kesibukan duniawi pada akhirnya akan berujung pada satu hal: kembali kepada Sang Pencipta.

Selain itu, puisi ini mengajarkan kerendahan hati, kejujuran spiritual, dan kesadaran eksistensial — bahwa manusia, betapa pun hebatnya, tetap makhluk yang harus menadah dan berserah. Dalam kata lain, ini adalah kidung pujian untuk Tuhan, tetapi juga introspeksi bagi diri sendiri.

Imaji

Puisi ini menggunakan imaji visual dan gerak yang lembut namun simbolis.
  • Imaji gerak muncul dalam frasa “burung kembali kepaknya”, yang menggambarkan kebangkitan, kebebasan, dan kembalinya kehidupan spiritual.
  • Imaji visual tampak dalam “kurentangkan tanganku / menadah kepada-Mu” — citra tubuh manusia dalam posisi berdoa, menandakan penyerahan total kepada Tuhan.
Kesederhanaan imaji ini memperkuat suasana spiritual yang hening dan damai.

Majas

Beberapa majas (gaya bahasa) yang dapat ditemukan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “Burung kembali kepaknya” melambangkan jiwa yang menemukan semangat dan arah kembali setelah tersesat.
  • Personifikasi – Burung digambarkan seolah memiliki kesadaran untuk “kembali”, mewakili gerak spiritual manusia.
  • Repetisi – Kata “kembali” diulang dua kali untuk menegaskan inti puisi: kembalinya manusia pada Tuhan dan kesucian.
  • Hiperbola – Penyerahan diri digambarkan secara penuh, seolah seluruh keberadaan manusia ditumpahkan dalam satu gerak “menadah kepada-Mu”.
Majas-majas tersebut menjadikan puisi ini sederhana tapi memiliki kedalaman spiritual yang menggetarkan.

Puisi “Kidung Putih” karya Slamet Sukirnanto adalah refleksi batin yang singkat namun sarat makna. Melalui tema spiritualitas dan penyerahan diri kepada Tuhan, penyair menggambarkan momen kembalinya manusia pada kesucian, seperti burung yang kembali mengepakkan sayapnya setelah lama diam.

Dengan bahasa yang bersih, imaji yang lembut, dan suasana yang hening, puisi ini tidak hanya menjadi doa yang tertulis, tetapi juga cermin perjalanan batin manusia dalam mencari kedamaian sejati. Slamet Sukirnanto berhasil membungkus kesadaran spiritual itu dalam bentuk paling murni: kidung putih — nyanyian hati yang kembali pada sumbernya.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Kidung Putih
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.