Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lengking Panjang Penjual Gentong (Karya Hillari Dita Regi)

Puisi “Lengking Panjang Penjual Gentong” adalah cerminan lembut dari benturan antara masa lalu dan

Lengking Panjang Penjual Gentong


senja kembali kelabu dalam hari-harimu
tubuh tua, telanjang dada bergubet sarung
pasrah terserimpung
dalam hitungan hari bertabur murung

lupakah bapak bersajak, bahwa gentong dari tanah
disebut-sebut mudah retak dan pecah?!
orang pun harus hati-hati untuk memaknai
karena geraknya dibatasi
mereka beralih gentong plastik dengan warna penuh selera
menguras dan memindahkannya pun mudah juga

Pak Tua, lengking suaramu kudengar habis
ketika warna buram senja mengatup di sulur bambu desa
sementara gentong dagangan masih bertahan dua
mari tetirah di emper surau tua
makan ala kadarnya
percayalah, anak-anak kampung akan setia menjaga.

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Lengking Panjang Penjual Gentong” karya Hillari Dita Regi merupakan potret puitik tentang kegigihan dan ketegaran manusia di tengah perubahan zaman. Lewat bahasa yang sederhana namun simbolik, penyair menuturkan kisah seorang penjual gentong tua yang terus berjuang menjajakan dagangannya meski dunia di sekitarnya sudah berubah. Puisi ini tidak sekadar menggambarkan sosok tua di senja hidupnya, tetapi juga menyimpan renungan mendalam tentang keteguhan hati, keikhlasan, dan nilai-nilai hidup yang perlahan terkikis oleh kemajuan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keteguhan dan kesetiaan terhadap tradisi di tengah perubahan zaman. Tokoh penjual gentong tua melambangkan generasi yang masih bertahan dengan cara-cara lama, meskipun dunia telah berubah ke arah yang serba praktis dan modern. Gentong tanah liat menjadi simbol dari tradisi, keaslian, dan kerja keras manusia yang kini mulai ditinggalkan.

Puisi ini bercerita tentang seorang penjual gentong tua yang tetap berjuang menjajakan dagangannya di tengah situasi yang makin sulit. Ia berjalan dalam senja — simbol waktu yang menua — dengan tubuh renta dan semangat yang mulai pudar. Sementara masyarakat sudah beralih ke wadah plastik yang lebih ringan dan praktis, gentong-gentong tanah buatannya kian tak diminati. Meski begitu, bapak tua ini tetap tabah, menerima nasib dengan pasrah, dan menutup hari-harinya dengan ketenangan batin.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini menyentuh persoalan pergeseran nilai dan eksistensi manusia di era modern. Penjual gentong mewakili mereka yang masih memegang prinsip kejujuran, ketekunan, dan kesederhanaan di tengah masyarakat yang mulai mengagungkan kecepatan dan kemudahan.

Ada juga pesan tentang kehormatan dalam kerja keras — bahwa meski profesi seseorang dianggap kecil atau ketinggalan zaman, di dalamnya ada martabat yang tak bisa digantikan oleh teknologi.

Selain itu, penyair menyiratkan kerinduan pada masa ketika manusia hidup lebih dekat dengan alam dan makna kerja lebih jujur — masa ketika gentong tanah liat lebih dari sekadar barang, tetapi juga simbol keringat dan cinta terhadap kehidupan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah melankolis dan getir, dengan sentuhan haru dan ketenangan di ujungnya.

Pada bait pertama, suasananya penuh kesedihan dan kelelahan, digambarkan lewat “senja kembali kelabu” dan “tubuh tua, telanjang dada bergubet sarung.”

Namun di akhir puisi, suasana beralih menjadi damai dan pasrah, ketika si penjual diajak “tetirah di emper surau tua” dan dijanjikan bahwa “anak-anak kampung akan setia menjaga.”

Ada semacam penerimaan bahwa waktu memang membawa perubahan, tetapi kasih dan penghargaan tetap ada bagi mereka yang setia menjalani hidup dengan tulus.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama puisi ini adalah pentingnya menghargai kerja keras dan ketulusan manusia, berapa pun kecilnya pekerjaan itu.

Puisi ini juga mengingatkan agar tidak melupakan akar budaya dan tradisi, sebab di sanalah terdapat nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran yang sering hilang di dunia modern.

Selain itu, penyair ingin menegaskan bahwa kemajuan teknologi dan perubahan zaman tidak semestinya membuat manusia kehilangan empati terhadap sesamanya, terutama kepada mereka yang hidup sederhana dan tetap bekerja dengan hati.

Imaji

Puisi ini kuat dalam menciptakan imaji visual dan suasana pedesaan.
  • Imaji visual tampak pada deskripsi seperti “tubuh tua, telanjang dada bergubet sarung” dan “warna buram senja mengatup di sulur bambu desa.” Gambaran itu menghidupkan suasana sore hari di pedesaan, penuh kesunyian dan nostalgia.
  • Imaji auditif hadir lewat frasa “lengking suaramu kudengar habis”, menghadirkan kesan lengkingan panjang penjual gentong yang perlahan hilang di ujung senja, seperti simbol suara tradisi yang semakin jarang terdengar.
  • Imaji taktil atau perasaan juga kuat, ketika pembaca bisa merasakan kelelahan, pasrah, dan ketenangan dari sosok penjual tua tersebut.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “senja kembali kelabu dalam hari-harimu” menggambarkan senja seolah memiliki perasaan yang selaras dengan kesedihan tokoh.
  • Metafora – gentong tanah dijadikan lambang kehidupan tradisional yang “mudah retak dan pecah”, merepresentasikan betapa rapuhnya eksistensi orang-orang sederhana di tengah dunia yang berubah cepat.
  • Sinekdoke – penyair menggunakan “tubuh tua” untuk mewakili seluruh kehidupan penjual gentong yang telah menua, penuh pengalaman dan penderitaan.
  • Simbolisme – “senja” melambangkan masa tua dan penghujung kehidupan; “gentong” melambangkan keaslian dan kerja keras manusia tradisional; “plastik” melambangkan dunia modern yang praktis namun kehilangan makna.
Puisi “Lengking Panjang Penjual Gentong” adalah cerminan lembut dari benturan antara masa lalu dan masa kini. Melalui sosok penjual gentong, Hillari Dita Regi menyampaikan perenungan tentang arti keikhlasan, ketekunan, dan kehilangan makna di tengah kemajuan yang kian cepat.

Penyair menutup puisinya dengan nada tenang, menandakan bahwa meskipun zaman berubah, nilai-nilai kemanusiaan sejati — seperti kasih, penghargaan, dan ketulusan — akan selalu dijaga oleh generasi berikutnya, seperti anak-anak kampung yang akan “setia menjaga.”

Puisi ini pada akhirnya menjadi lengking panjang kehidupan, seruan lembut agar kita tak melupakan manusia-manusia kecil yang dengan diam dan sederhana terus menjaga denyut kehidupan di desa-desa dan di hati kita semua.

Hillari Dita Regi
Puisi: Lengking Panjang Penjual Gentong
Karya: Hillari Dita Regi
© Sepenuhnya. All rights reserved.