Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: London, Abad Sembilan Belas (Karya Taufiq Ismail)

Puisi “London, Abad Sembilan Belas” mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang apa yang ditiru dan diikuti, serta mendorong untuk meninggalkan ..
London, Abad Sembilan Belas (1)

Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya

Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan

London, Abad Sembilan Belas (2)

Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Stasiun Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab

London, Abad Sembilan Belas (3)

Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak begitu saja

Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak kepalang

London, Abad Sembilan Belas (4)

Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau

Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga

Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu.

1989

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:

Puisi “London, Abad Sembilan Belas” karya Taufiq Ismail adalah sebuah kritik tajam terhadap fenomena tinju dan kekerasan yang menjamur dalam masyarakat. Melalui puisi ini, Taufiq Ismail menggambarkan adegan brutal dari pertandingan tinju yang terjadi di London pada abad ke-19 dan mengaitkannya dengan kecenderungan masyarakat modern yang cenderung meniru budaya Barat tanpa berpikir panjang. Puisi ini tidak hanya merefleksikan peristiwa sejarah, tetapi juga memberikan pandangan kritis terhadap sikap dan mentalitas yang masih ada di masyarakat hingga hari ini.

Gambaran Kekerasan dalam Pertandingan Tinju

Puisi ini dibuka dengan kisah Simon Byrne, seorang petinju yang meninggal setelah bertanding dalam ronde ke-99. “Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah / Petinju Simon Byrne selesai sudah / Dia mati memuaskan penontonnya” adalah gambaran eksplisit tentang bagaimana kekerasan menjadi tontonan yang menghibur. Byrne tewas dalam pertarungan yang brutal, namun kematiannya dipandang sebagai sesuatu yang “memuaskan” bagi penonton.

Di bagian pertama ini, Taufiq Ismail menyoroti bagaimana masyarakat masa itu memandang kekerasan sebagai bentuk hiburan. Si Tuli James Burke, yang mengalahkan Byrne, menjadi simbol dari petinju yang tidak hanya memukul lawannya tetapi juga mencemooh sistem hukum yang seharusnya melindungi nyawa manusia. Keputusan pengadilan yang dapat diperjualbelikan menunjukkan betapa lemahnya hukum dihadapan kekuatan uang dan hiburan.

Pertandingan Tinju sebagai Hiburan Massal

Bagian kedua puisi ini menyoroti pertandingan pertama antarbangsa antara Tom Sayers dari Britania dan John Heenan dari Amerika. Pertandingan ini menjadi ajang tontonan yang sangat dinantikan, bahkan para sastrawan terkenal seperti Charles Dickens dan William Thackeray ikut hadir. Taufiq Ismail menggambarkan suasana hiruk-pikuk dan penuh kekerasan, di mana penonton berteriak, juri dipisuhi, dan para penonton bertinju satu sama lain. Ini menunjukkan betapa pertandingan tinju telah meracuni masyarakat, mengubah mereka menjadi liar dan tak terkendali.

Gambaran penonton yang “bergigitan seperti serigala / Melolong bagai gorila” mengungkapkan betapa biadabnya masyarakat yang sudah terbawa oleh kegilaan terhadap kekerasan. Pertandingan yang seharusnya menjadi olahraga berubah menjadi pertunjukan brutal yang memperlihatkan sisi gelap manusia.

Kritik terhadap Budaya Tiru-Tiru

Bagian ketiga puisi ini adalah puncak dari kritik Taufiq Ismail terhadap budaya tiru-tiru. Ia menyoroti bagaimana masyarakat modern, terutama di negara-negara berkembang, cenderung meniru kebiasaan Barat tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya. “Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika / Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja” menunjukkan betapa mudahnya masyarakat meniru budaya asing tanpa berpikir kritis.

Taufiq Ismail mengkritik bagaimana pertandingan tinju yang sebenarnya adalah adu manusia berubah menjadi olahraga yang dianggap sah, karena dikemas sedemikian rupa oleh kapitalisme dan pemilik modal. Pertarungan ini bukan lagi sekadar olahraga, tetapi telah menjadi simbol kekerasan dan ketamakan yang menyebar ke seluruh dunia.

Mengajak Masyarakat Menuju Abad 21

Pada bagian terakhir, Taufiq Ismail membawa pembaca ke refleksi masa kini, abad ke-20 menuju abad ke-21. Di sini, ia menggambarkan betapa susahnya membawa masyarakat keluar dari kebiasaan lama yang destruktif. “Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas” menggambarkan perlawanan terhadap perubahan dan pembaruan. Meskipun ada dorongan untuk maju, ada pihak yang terus bersikukuh mempertahankan budaya kekerasan yang mereka anggap sebagai olahraga.

Taufiq Ismail mengakhiri puisi ini dengan gambaran masyarakat yang tidak mau berubah, meskipun tanda-tanda perubahan sudah jelas terlihat. Masyarakat terus terperangkap dalam kekerasan dan ketidakadilan, sehingga generasi muda pun terheran-heran melihat generasi sebelumnya yang tidak mau maju.

Puisi “London, Abad Sembilan Belas” adalah puisi yang penuh dengan kritik sosial terhadap kekerasan yang dikemas sebagai hiburan dan bagaimana budaya Barat seringkali ditiru tanpa pertimbangan matang. Taufiq Ismail menggunakan tinju sebagai simbol kekerasan dan ketamakan yang telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara berkembang yang cenderung minder dan mudah meniru budaya asing. Melalui puisi ini, ia mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang apa yang ditiru dan diikuti, serta mendorong untuk meninggalkan budaya kekerasan menuju peradaban yang lebih manusiawi di abad ke-21.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: London, Abad Sembilan Belas
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.