Analisis Puisi:
Puisi “London, Abad Sembilan Belas” karya Taufiq Ismail adalah sebuah kritik tajam terhadap fenomena tinju dan kekerasan yang menjamur dalam masyarakat. Melalui puisi ini, Taufiq Ismail menggambarkan adegan brutal dari pertandingan tinju yang terjadi di London pada abad ke-19 dan mengaitkannya dengan kecenderungan masyarakat modern yang cenderung meniru budaya Barat tanpa berpikir panjang. Puisi ini tidak hanya merefleksikan peristiwa sejarah, tetapi juga memberikan pandangan kritis terhadap sikap dan mentalitas yang masih ada di masyarakat hingga hari ini.
Gambaran Kekerasan dalam Pertandingan Tinju
Puisi ini dibuka dengan kisah Simon Byrne, seorang petinju yang meninggal setelah bertanding dalam ronde ke-99. “Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah / Petinju Simon Byrne selesai sudah / Dia mati memuaskan penontonnya” adalah gambaran eksplisit tentang bagaimana kekerasan menjadi tontonan yang menghibur. Byrne tewas dalam pertarungan yang brutal, namun kematiannya dipandang sebagai sesuatu yang “memuaskan” bagi penonton.
Di bagian pertama ini, Taufiq Ismail menyoroti bagaimana masyarakat masa itu memandang kekerasan sebagai bentuk hiburan. Si Tuli James Burke, yang mengalahkan Byrne, menjadi simbol dari petinju yang tidak hanya memukul lawannya tetapi juga mencemooh sistem hukum yang seharusnya melindungi nyawa manusia. Keputusan pengadilan yang dapat diperjualbelikan menunjukkan betapa lemahnya hukum dihadapan kekuatan uang dan hiburan.
Pertandingan Tinju sebagai Hiburan Massal
Bagian kedua puisi ini menyoroti pertandingan pertama antarbangsa antara Tom Sayers dari Britania dan John Heenan dari Amerika. Pertandingan ini menjadi ajang tontonan yang sangat dinantikan, bahkan para sastrawan terkenal seperti Charles Dickens dan William Thackeray ikut hadir. Taufiq Ismail menggambarkan suasana hiruk-pikuk dan penuh kekerasan, di mana penonton berteriak, juri dipisuhi, dan para penonton bertinju satu sama lain. Ini menunjukkan betapa pertandingan tinju telah meracuni masyarakat, mengubah mereka menjadi liar dan tak terkendali.
Gambaran penonton yang “bergigitan seperti serigala / Melolong bagai gorila” mengungkapkan betapa biadabnya masyarakat yang sudah terbawa oleh kegilaan terhadap kekerasan. Pertandingan yang seharusnya menjadi olahraga berubah menjadi pertunjukan brutal yang memperlihatkan sisi gelap manusia.
Kritik terhadap Budaya Tiru-Tiru
Bagian ketiga puisi ini adalah puncak dari kritik Taufiq Ismail terhadap budaya tiru-tiru. Ia menyoroti bagaimana masyarakat modern, terutama di negara-negara berkembang, cenderung meniru kebiasaan Barat tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya. “Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika / Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja” menunjukkan betapa mudahnya masyarakat meniru budaya asing tanpa berpikir kritis.
Taufiq Ismail mengkritik bagaimana pertandingan tinju yang sebenarnya adalah adu manusia berubah menjadi olahraga yang dianggap sah, karena dikemas sedemikian rupa oleh kapitalisme dan pemilik modal. Pertarungan ini bukan lagi sekadar olahraga, tetapi telah menjadi simbol kekerasan dan ketamakan yang menyebar ke seluruh dunia.
Mengajak Masyarakat Menuju Abad 21
Pada bagian terakhir, Taufiq Ismail membawa pembaca ke refleksi masa kini, abad ke-20 menuju abad ke-21. Di sini, ia menggambarkan betapa susahnya membawa masyarakat keluar dari kebiasaan lama yang destruktif. “Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas” menggambarkan perlawanan terhadap perubahan dan pembaruan. Meskipun ada dorongan untuk maju, ada pihak yang terus bersikukuh mempertahankan budaya kekerasan yang mereka anggap sebagai olahraga.
Taufiq Ismail mengakhiri puisi ini dengan gambaran masyarakat yang tidak mau berubah, meskipun tanda-tanda perubahan sudah jelas terlihat. Masyarakat terus terperangkap dalam kekerasan dan ketidakadilan, sehingga generasi muda pun terheran-heran melihat generasi sebelumnya yang tidak mau maju.
Puisi “London, Abad Sembilan Belas” adalah puisi yang penuh dengan kritik sosial terhadap kekerasan yang dikemas sebagai hiburan dan bagaimana budaya Barat seringkali ditiru tanpa pertimbangan matang. Taufiq Ismail menggunakan tinju sebagai simbol kekerasan dan ketamakan yang telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara berkembang yang cenderung minder dan mudah meniru budaya asing. Melalui puisi ini, ia mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang apa yang ditiru dan diikuti, serta mendorong untuk meninggalkan budaya kekerasan menuju peradaban yang lebih manusiawi di abad ke-21.
Karya: Taufiq Ismail
Biodata Taufiq Ismail:
- Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
- Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.