Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lorong (Karya Soni Farid Maulana)

Puisi “Lorong” karya Soni Farid Maulana bercerita tentang seseorang yang sedang berbicara dengan dirinya sendiri di tengah kesunyian malam.
Lorong

aku bercakap dengan bayang-bayang wayang
serupa amba. Tabuhan gamelan serupa risik angin
di tangkai pohonan. Suara-suara serangga malam
terdengar juga dari arah samping halaman rumahmu

yang kelam oleh kabut dukacita. Lalu kata-kata
menyusun dirinya dalam larik-larik puisi orang sufi
yang dari lembah ke lembah kehidupan tiada lelah
mencari kekasih idaman. Di cermin, rambutku

putih sudah. Malam kelam di buritan, dan kau
serupa amis gula, cintaku, terpisah dari sepah tebu
di lidahku. Dan kini segala yang aku teguk tawar

sudah. "Mengapa semua ini harus terjadi, selagi
segalanya belum genap melunas rindu?" tanya
tanpa jawab. Menggema di lorong jiwaku

2008

Sumber: Peneguk Sunyi (2009)

Analisis Puisi:

Puisi “Lorong” karya Soni Farid Maulana merupakan karya yang sarat perenungan dan kegetiran batin. Melalui gaya bahasa simbolik dan nuansa spiritual yang kuat, penyair menghadirkan perjalanan jiwa seseorang yang tenggelam dalam kerinduan, kesepian, dan pencarian makna cinta yang telah memudar. Puisi ini berlapis makna—menyentuh wilayah personal dan spiritual sekaligus.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan kesepian batin dalam pencarian cinta sejati. Penyair menghadirkan suasana batin seseorang yang menatap kembali masa lalu, ketika cinta dan kehidupan terasa bermakna. Namun kini, segalanya telah berubah—rambut telah memutih, waktu telah berjalan jauh, dan yang tersisa hanyalah lorong panjang jiwa yang menggema oleh tanya tanpa jawab.

Tema ini juga menyinggung pencarian spiritual: perjalanan batin manusia mencari kekasih sejati—yang bisa dimaknai sebagai Tuhan atau kebenaran hakiki.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang berbicara dengan dirinya sendiri di tengah kesunyian malam. Ia merenungkan perjalanan hidup, kenangan cinta, dan kefanaan waktu. Tokoh “aku” dalam puisi seolah sedang berdialog dengan bayang-bayang masa lalu, dengan “bayang-bayang wayang” dan “kata-kata orang sufi”. Semua itu menggambarkan pergulatan batin antara masa lalu yang indah dan kenyataan yang getir di masa kini.

Ia merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga—entah cinta, kebahagiaan, atau kedekatan spiritual—hingga hatinya terasa hampa. “Mengapa semua ini harus terjadi, selagi segalanya belum genap melunas rindu?” menjadi puncak keputusasaan sekaligus tanda bahwa kerinduan itu belum usai.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi “Lorong” adalah perjalanan spiritual dan eksistensial manusia dalam mencari makna hidup dan cinta sejati. Lorong dalam judul puisi menjadi simbol batin manusia: tempat yang gelap, panjang, dan sunyi—di mana seseorang berjalan sendirian mencari cahaya.

Ketika penyair menulis “kata-kata menyusun dirinya dalam larik-larik puisi orang sufi”, ia memberi isyarat bahwa pencarian cinta sejati bukan sekadar hubungan antarmanusia, tetapi juga pencarian ketuhanan. Puisi ini merekam kesadaran manusia akan kefanaan dan kesendirian, sekaligus kerinduan untuk bersatu dengan sesuatu yang abadi.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini kelam, sunyi, dan reflektif. Dari larik pertama, “aku bercakap dengan bayang-bayang wayang”, suasana hening dan misterius langsung terasa.

Kata-kata seperti “kabut dukacita”, “malam kelam di buritan”, dan “lorong jiwaku” memperkuat nuansa murung dan kontemplatif. Namun di balik kesedihan itu juga terselip kerinduan dan keinginan untuk menemukan makna, seolah ada cahaya kecil yang masih berkelip di ujung lorong.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Amanat puisi “Lorong” adalah bahwa hidup adalah perjalanan panjang menuju pemahaman akan cinta, kehilangan, dan keabadian. Dalam pencarian itu, manusia akan melewati kesepian dan penyesalan, namun semuanya adalah bagian dari proses menemukan jati diri.

Puisi ini juga menyiratkan pesan agar kita tidak menyerah dalam menghadapi kegelapan batin—sebab di balik kerinduan dan rasa kehilangan, ada makna yang lebih tinggi yang menunggu untuk ditemukan.

Imaji

Soni Farid Maulana menghadirkan imaji visual dan auditif yang kuat dalam puisi ini. Beberapa contoh imaji:
  • “Tabuhan gamelan serupa risik angin di tangkai pohonan” – menghadirkan imaji pendengaran yang lembut dan penuh nuansa tradisi.
  • “Suara-suara serangga malam terdengar juga dari arah samping halaman rumahmu” – memperkuat kesunyian malam dengan detail suara yang hidup.
  • “Malam kelam di buritan” dan “lorong jiwaku” – menggambarkan imaji visual yang gelap dan dalam, menandakan kelelahan batin dan kesendirian.
Imaji-imaji ini memperkuat atmosfer introspektif dan membuat pembaca seolah ikut masuk ke ruang batin sang tokoh aku.

Majas

Puisi ini banyak menggunakan majas perbandingan dan personifikasi untuk memperkaya makna simboliknya:

Metafora:
  • “Aku bercakap dengan bayang-bayang wayang” → menggambarkan percakapan dengan diri sendiri atau kenangan masa lalu.
  • “Kata-kata menyusun dirinya dalam larik-larik puisi orang sufi” → kata-kata digambarkan hidup, memiliki kesadaran spiritual.
  • “Lorong jiwaku” → jiwa diibaratkan sebagai lorong, simbol perjalanan batin.
Personifikasi:
  • “Tabuhan gamelan serupa risik angin di tangkai pohonan” → suara gamelan dan angin seolah saling berbicara.
Simile (perbandingan langsung):
  • “Kau serupa amis gula, cintaku, terpisah dari sepah tebu di lidahku” → perumpamaan yang menggambarkan cinta yang telah kehilangan manisnya.
Semua majas tersebut memperkuat kedalaman emosional dan spiritual dalam puisi ini, menjadikannya bukan hanya kisah tentang cinta manusia, tetapi juga perjalanan batin yang melintasi waktu dan kenangan.

Puisi “Lorong” karya Soni Farid Maulana merupakan karya yang sarat simbol dan renungan eksistensial. Melalui gaya bahasa yang halus dan penuh makna, penyair berhasil melukiskan perjalanan seorang manusia yang terjebak dalam kesunyian, kerinduan, dan pencarian makna hidup.

Dengan tema kerinduan batin dan makna tersirat pencarian spiritual, puisi ini mengajak pembaca merenungi bahwa setiap manusia akan melewati “lorong” batinnya masing-masing sebelum menemukan cahaya kebenaran atau cinta sejati. Imaji dan majas yang kuat menjadikan puisi ini bergetar dengan keindahan dan kedalaman rasa, sementara amanatnya mengingatkan bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses menemukan diri.

Soni Farid Maulana
Puisi: Lorong
Karya: Soni Farid Maulana

Biodata Soni Farid Maulana:
  • Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
  • Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.