Analisis Puisi:
Puisi “Lusuh” karya Sulaiman Juned adalah sebuah renungan sosial dan spiritual yang memotret penderitaan manusia akibat kerakusan dan ketimpangan kekuasaan. Melalui bahasa yang padat dan religius, penyair menyoroti luka batin, kehancuran moral, dan kerapuhan cinta di tengah sistem sosial yang kejam.
Tema
Tema utama puisi ini adalah penderitaan batin dan kehancuran nilai kemanusiaan akibat keserakahan dan kekuasaan. Tema tambahan yang dapat dirasakan adalah ratapan spiritual dan kritik sosial terhadap ketimpangan hidup di negeri yang korup.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menjerit kepada Tuhan karena merasa kehilangan makna kemanusiaan dalam dunia yang telah dirusak oleh keserakahan dan kekuasaan.
Ia bertanya kepada Tuhan, “berapa harus kubayar sepenggal hati” — sebuah metafora tentang harga kemurnian dan cinta di tengah dunia yang telah ternoda oleh kerakusan manusia. Jiwa yang “lusuh” melambangkan manusia yang hancur secara moral dan spiritual, sementara kekuasaan dan keserakahan menjadi penyebab utama penderitaan itu.
Baris terakhir, “Di negeri ini; mimpi diantar ke rumah-rumah setiap hari”, menambah lapisan makna: ada sindiran terhadap realitas sosial yang penuh janji kosong — seolah mimpi dan harapan hanya dijual, bukan diwujudkan.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah kritik terhadap sistem kekuasaan yang menindas dan mengikis nilai kemanusiaan, serta kesadaran spiritual bahwa hanya Tuhan yang dapat menjadi tempat pengaduan terakhir.
Sulaiman Juned menggambarkan kondisi bangsa yang terpuruk secara moral dan sosial: ketika cinta telah kering, hati telah terkoyak, dan kebencian menjadi senjata. Puisi ini juga menyinggung tentang kehancuran moral akibat materialisme dan politik kekuasaan, di mana manusia rela menyakiti sesama demi ambisi pribadi.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini muram, getir, dan penuh keputusasaan yang religius. Ada perasaan lelah, kecewa, dan pasrah terhadap kenyataan yang pahit, namun tetap terselip harapan pada keadilan Ilahi. Nuansa spiritual terasa kuat, terutama karena puisi dibuka dengan seruan “Ya Allah”, yang menunjukkan bahwa si aku lirik berusaha mencari makna di tengah kehancuran duniawi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya menjaga kemurnian hati di tengah dunia yang penuh keserakahan, serta ajakan untuk tidak tunduk pada kekuasaan yang menindas.
Puisi ini mengingatkan pembaca bahwa ketika nilai cinta dan kemanusiaan telah “lusuh”, maka masyarakat akan kehilangan arah. Oleh karena itu, penyair seolah menyeru agar manusia kembali pada kesadaran moral dan spiritual, memohon bimbingan Tuhan untuk melawan kerakusan dan kebencian.
Imaji
Sulaiman Juned menggunakan imaji spiritual, sosial, dan emosional yang kuat:
- Imaji batin: “berapa harus kubayar sepenggal hati” menggambarkan penderitaan dan keputusasaan.
- Imaji fisik: “tubuh kering cinta” dan “menghisap darah sambil tersenyum” melukiskan gambaran kejamnya dunia kekuasaan.
- Imaji sosial: “Di negeri ini; mimpi diantar ke rumah-rumah setiap hari” menciptakan bayangan ironis tentang masyarakat yang hidup dari janji dan ilusi.
Imaji-imaji tersebut membangun suasana puisi yang gelap, namun penuh makna reflektif.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
Metafora:
- “Sepenggal hati” melambangkan cinta, nurani, dan kemanusiaan yang nyaris hilang.
- “Tubuh kering cinta” menggambarkan dunia tanpa kasih.
Personifikasi:
- “Kebencian jadi senjata” — kebencian digambarkan seperti makhluk hidup yang menyerang manusia.
- “Menghisap darah sambil tersenyum” — gambaran kejam para penindas yang menikmati penderitaan orang lain.
Ironi:
- Baris terakhir adalah sindiran tajam terhadap realitas sosial di mana “mimpi” hanya menjadi alat manipulasi.
Puisi “Lusuh” karya Sulaiman Juned merupakan jeritan moral dan spiritual yang menegur keserakahan manusia. Dalam baris-baris singkat namun penuh makna, penyair menggambarkan kehancuran nurani akibat kekuasaan, sekaligus mengajak manusia untuk kembali kepada Tuhan dan nilai kemanusiaan yang sejati.
Dengan tema yang reflektif, imaji yang tajam, serta majas yang sarat makna, puisi ini tidak hanya menjadi karya sastra, tetapi juga suara nurani yang menggugat keadilan dan kemanusiaan di tengah dunia yang semakin “lusuh.”
Karya: Sulaiman Juned