Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mantra Rindu (Karya Djoko Saryono)

Puisi “Mantra Rindu” karya Djoko Saryono bercerita tentang perjalanan jiwa seseorang yang melalui berbagai fase kegelisahan dan kehancuran untuk ...

Mantra Rindu

debur debur debur
hancur hancur hancur
mumur mumur mumur
segala tampak bubur
segala desah gelisah kabur
segala derap napas kubur
kutiba pada mutmainah cinta
kutiba pada mahabah putih jiwa
kutiba pada puncak ada:
ternyata suwung semata
sebab la illah ha illallah ada di dada

Malang, 2010

Sumber: Arung Diri (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Mantra Rindu” karya Djoko Saryono bertema pencarian spiritual dan kerinduan mistik terhadap Tuhan. Kata “mantra” pada judul menandai nuansa religius-magis, sedangkan kata “rindu” memperlihatkan kerinduan eksistensial manusia kepada sumber asalnya — Tuhan. Puisi ini mengangkat perjalanan batin seseorang yang melalui kehancuran, kegelisahan, dan kefanaan dunia menuju kesadaran spiritual yang tenang dan suci.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan jiwa seseorang yang melalui berbagai fase kegelisahan dan kehancuran untuk akhirnya sampai pada kedamaian sejati di hadapan Tuhan.

Awal puisi menampilkan repetisi kata “debur”, “hancur”, “mumur” yang menciptakan irama kacau dan penuh gejolak — menggambarkan fase guncangan batin manusia. Namun di akhir, penyair “tiba pada mutmainah cinta” dan “mahabah putih jiwa”, yang melambangkan ketenangan hati dan cinta suci kepada Sang Pencipta.

Bagian penutup “la illah ha illallah ada di dada” menegaskan puncak kesadaran tauhid — bahwa segala keresahan duniawi berakhir pada pengakuan keesaan Tuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Mantra Rindu” adalah kesadaran bahwa seluruh penderitaan dan kegelisahan hidup hanyalah jalan menuju keheningan spiritual dan kedekatan dengan Tuhan. Penyair seolah ingin menyampaikan bahwa “rindu” dalam konteks ini bukanlah rindu manusia kepada manusia, melainkan rindu mistik seorang hamba kepada Tuhannya. Rindu itu tidak sekadar emosi, tetapi menjadi dzikir, menjadi mantra yang membawa jiwa menuju “suwung” — kehampaan suci, tempat di mana ego luluh dan hanya Tuhan yang ada.

Ungkapan “suwung semata” bukan berarti kekosongan nihil, tetapi justru ruang batin yang penuh oleh kehadiran ilahi. Puisi ini menegaskan bahwa ketika manusia meniadakan dirinya (fana’), di sanalah ia menemukan keberadaan sejati — “la illah ha illallah”.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini bergolak, mistik, lalu meneduh. Awalnya, repetisi bunyi “debur”, “hancur”, dan “mumur” menimbulkan kesan riuh, seolah menggambarkan gelombang batin yang bergemuruh. Namun, semakin ke akhir, suasana itu berubah menjadi tenang dan hening — seperti perjalanan spiritual dari kekacauan menuju kedamaian. Perubahan suasana ini menegaskan proses transendensi batin yang dialami aku lirik: dari kegelisahan duniawi menuju ketenangan ilahi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa ketenangan sejati hanya dapat ditemukan ketika manusia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Segala bentuk keresahan, kegelisahan, dan kehancuran duniawi hanyalah ujian menuju kesadaran spiritual. Ketika manusia sampai pada titik “mutmainah cinta” dan “mahabah putih jiwa”, ia menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Tuhan (la illah ha illallah).

Pesan ini sekaligus mengingatkan bahwa rasa rindu spiritual adalah bagian dari fitrah manusia — kerinduan untuk kembali kepada asal mula keberadaan, yaitu Sang Pencipta.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji auditif dan visual yang kuat:
  • “debur debur debur” menimbulkan imaji suara ombak yang bergulung, melambangkan gejolak batin.
  • “segala tampak bubur” menghadirkan imaji visual kehancuran — sesuatu yang semula padat menjadi luluh.
  • “segala desah gelisah kabur” memperkuat kesan suara napas cemas dan samar.
  • “derap napas kubur” menyuguhkan imaji kematian yang sunyi, menandai momen refleksi spiritual.
Keseluruhan imaji itu menciptakan lanskap batin yang bergerak dari bising ke senyap, dari dunia menuju transendensi.

Majas

Djoko Saryono menggunakan berbagai majas untuk memperkuat efek magis puisinya:
  • Repetisi (pengulangan) — pada kata “debur debur debur”, “hancur hancur hancur”, dan “mumur mumur mumur”, menciptakan ritme mantra dan menegaskan suasana batin yang terus bergetar.
  • Metafora — frasa “mutmainah cinta” dan “mahabah putih jiwa” adalah metafora spiritual yang menggambarkan kedamaian dan kesucian batin.
  • Personifikasi — “derap napas kubur” seolah memberi kehidupan pada kematian, menandakan hubungan manusia dengan kefanaan.
  • Simbolisme — kata “suwung” menjadi simbol kehampaan mistik, sedangkan “la illah ha illallah” adalah simbol tauhid dan penyatuan jiwa dengan Tuhan.
Puisi “Mantra Rindu” karya Djoko Saryono adalah karya kontemplatif yang memadukan nuansa sufistik, simbolisme religius, dan musikalitas bahasa. Ia tidak sekadar mengungkap perasaan rindu, tetapi menghidupkan mantra spiritual yang membawa pembaca merenungi makna eksistensi dan ketuhanan. Dengan bahasa sederhana namun penuh getaran, Djoko Saryono berhasil menyalurkan pengalaman mistik menjadi puisi yang kuat secara bunyi, makna, dan suasana.

Puisi ini mengajak pembaca untuk menempuh perjalanan batin yang sama: dari “debur dan hancur” menuju “mutmainah dan mahabah” — hingga menemukan ketenangan sejati di dada yang bergetar dengan kalimat tauhid.

Djoko Saryono
Puisi: Mantra Rindu
Karya: Djoko Saryono

Biodata Djoko Saryono:
  • Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.
© Sepenuhnya. All rights reserved.