Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mata Kosong Pedagang Lincak (Karya Hillari Dita Regi)

Puisi “Mata Kosong Pedagang Lincak” karya Hillari Dita Regi mengangkat tema penderitaan dan keteguhan hidup rakyat kecil, khususnya seorang ...

Mata Kosong Pedagang Lincak


nasibmu serupa dengan pedagang kerajinan tangan
berapa hitungan jalan kampung kamu kalahkan?
Sampai hujan melesat bersama sambaran kilat
ternyata dua lincak masih menjejak pundak
lalu: bergeser kiri-bergeser kanan
melawan perih kesakitan -- juga perih rasa yang
kau usung dari sunyi desa

mripatmu yang kosong mengalir deras pada kosong gelas, toples
rantang, porong, ceting, manci, baskom, pun centong
lalu kamu telan kelewat pelan
pada dasar hati yang sunyi
sesunyi lincak di taman
di kelebat malam kelam.

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Mata Kosong Pedagang Lincak” karya Hillari Dita Regi merupakan potret puitik yang menyayat tentang kesunyian, kelelahan, dan nasib keras para pedagang kecil di pelosok desa. Dengan bahasa yang simbolik dan irama yang lirih, penyair berhasil menghadirkan suasana getir kehidupan rakyat kecil yang terus berjuang dalam keheningan. Melalui diksi yang padat dan imaji yang kuat, puisi ini menjadi semacam elegi untuk ketabahan hidup manusia biasa yang kerap terpinggirkan.

Tema

Puisi ini mengangkat tema penderitaan dan keteguhan hidup rakyat kecil, khususnya seorang pedagang lincak—penjual perabot atau perkakas rumah tangga dari desa ke desa. Tema ini menyoroti kerasnya perjuangan hidup di lapisan bawah masyarakat, yang berjalan kaki menjajakan dagangan sambil menanggung beban fisik dan batin.

Di sisi lain, tema ini juga menyentuh sisi eksistensial manusia yang kesepian dan terasing, tergambar lewat kata “mata kosong” dan “sunyi desa.” Penyair tidak hanya bicara tentang ekonomi, tetapi juga tentang kehampaan jiwa dalam menjalani hidup yang berat tanpa pengakuan.

Puisi ini bercerita tentang seorang pedagang keliling yang berjalan dari kampung ke kampung menjajakan barang dagangannya. Ia terus melangkah, menembus hujan dan rasa sakit, membawa dua lincak di pundaknya—simbol beban hidup yang berat.

Dalam perjalanannya, ia bukan hanya melawan rasa lelah fisik, tetapi juga perih batin yang datang dari kesepian dan kepapaan. “Mripatmu yang kosong” menggambarkan pandangan yang kehilangan harapan, sebuah mata yang sudah terlalu sering menatap kerasnya dunia. Semua benda yang dijual—gelas, toples, rantang, baskom, centong—seolah menjadi saksi bisu dari kehidupan yang monoton dan getir.

Puisi ini adalah potret manusia yang bekerja keras tanpa banyak bicara, yang menerima hidup seadanya, namun di dalam dirinya menyimpan rasa sunyi yang dalam dan tak tersuarakan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah refleksi tentang kesepian hidup rakyat kecil dan ironi perjuangan manusia dalam sistem sosial yang timpang. Pedagang lincak dalam puisi menjadi lambang dari manusia pekerja keras yang hidup dalam bayang-bayang keterpinggiran.

“Mata kosong” bukan sekadar gambaran kelelahan, tetapi simbol kehilangan makna—saat kerja, hidup, dan perjuangan dijalani tanpa lagi disertai gairah atau harapan. Penyair ingin menyampaikan bahwa di balik setiap sosok yang tampak tabah dan biasa saja, sering tersembunyi lautan luka batin yang dalam.

Makna lain yang tersirat adalah kritik sosial terhadap ketidakadilan ekonomi dan nasib pedagang kecil yang tetap bekerja keras meski hidupnya tak berubah. Dunia modern mungkin bergerak cepat, tetapi kehidupan pedagang lincak tetap berjalan lambat, penuh peluh dan kesunyian.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini muram, sunyi, dan melankolis. Kata-kata seperti “hujan melesat,” “kilat,” “perih kesakitan,” dan “malam kelam” menciptakan nuansa yang berat dan menyedihkan. Namun di balik suasana muram itu, ada juga kesan ketabahan dan keteguhan, karena pedagang itu tetap berjalan, tetap berjuang, dan tetap menanggung beban hidup tanpa keluh.

Suasana yang dibangun Hillari Dita Regi sangat visual—pembaca seolah bisa membayangkan seseorang berjalan di jalan desa yang sepi, diterpa hujan, dengan dua kursi bambu (lincak) di pundaknya, matanya kosong, hatinya sunyi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah pentingnya menghargai perjuangan orang kecil dan memahami penderitaan sosial yang kerap tersembunyi di balik kesunyian. Penyair ingin menyadarkan pembaca bahwa setiap individu, sekeras apa pun tampaknya, mungkin memikul beban hidup yang tak terlihat.

Puisi ini juga menyampaikan pesan kemanusiaan dan empati, bahwa kerja keras, terutama dari kalangan bawah, tidak seharusnya diabaikan. Ada kebesaran jiwa dalam kesunyian pedagang itu, dan ada pelajaran tentang ketulusan dalam setiap langkah yang ia ayunkan di tengah hujan dan gelap malam.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji perasaan (emosional). Beberapa contoh imaji yang kuat antara lain:
  • “Sampai hujan melesat bersama sambaran kilat” → menghadirkan imaji visual yang menggambarkan perjuangan di tengah badai dan cuaca keras.
  • “Dua lincak masih menjejak pundak” → memberikan citra nyata tentang beban fisik yang dipikul pedagang itu.
  • “Mripatmu yang kosong mengalir deras pada kosong gelas, toples…” → membangun imaji metaforis yang menunjukkan kehampaan dan kebosanan hidup, di mana pandangan kosongnya seolah menetes ke dalam benda-benda dagangan.
Imaji dalam puisi ini bukan hanya menggambarkan pemandangan, tetapi juga menggugah rasa iba dan empati pembaca, menjadikan pengalaman membaca terasa seperti menyaksikan kehidupan nyata yang getir namun indah dalam kesederhanaannya.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas (gaya bahasa) yang memperkuat kesan puitis dan emosional, di antaranya:
  • Metafora – “Mripatmu yang kosong mengalir deras pada kosong gelas, toples…” menggambarkan kesedihan dan kehampaan batin yang dipantulkan ke dalam benda-benda mati.
  • Personifikasi – hujan, kilat, dan bahkan “lincak” seolah memiliki peran hidup, menjadi teman perjalanan dan saksi penderitaan sang pedagang.
  • Repetisi – pengulangan bunyi dan struktur seperti “kosong… kosong…” dan “bergeser kiri—bergeser kanan” memperkuat ritme serta menggambarkan gerak monoton hidup si pedagang.
  • Simbolisme – “dua lincak di pundak” menjadi simbol beban hidup, tanggung jawab, dan perjuangan yang berat namun tetap dijalani.
  • Eufemisme – frasa seperti “perih rasa yang kau usung dari sunyi desa” menggambarkan kesedihan dengan bahasa yang lembut namun dalam.
Puisi “Mata Kosong Pedagang Lincak” karya Hillari Dita Regi merupakan karya yang penuh kepekaan sosial dan spiritual. Melalui tokoh pedagang keliling, penyair menghadirkan simbol manusia yang terus berjuang dalam sunyi, menanggung beban hidup tanpa kehilangan langkah.

Tema penderitaan dan keteguhan hidup yang diangkat tidak hanya menyoroti realitas sosial, tetapi juga menggugah sisi kemanusiaan pembaca. Imaji yang kuat dan majas yang halus menjadikan puisi ini bukan sekadar potret kemiskinan, melainkan renungan tentang eksistensi manusia yang terus berjalan, meski dunia seolah tak peduli.

Puisi ini mengajarkan kita bahwa di balik setiap tatapan kosong, tersimpan kisah panjang tentang kerja keras, kesetiaan, dan ketulusan—kisah yang pantas dihormati meski lahir dari jalanan yang sepi dan malam yang kelam.

Hillari Dita Regi
Puisi: Mata Kosong Pedagang Lincak
Karya: Hillari Dita Regi
© Sepenuhnya. All rights reserved.