Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Matahari Tua (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi “Matahari Tua” karya Abdul Wachid B. S. bercerita tentang seorang lelaki tua dan istrinya yang menjalani sisa hidup mereka dengan ketenangan ...
Matahari Tua

Oleh matahari maghrib itu
Daun-daun membikin kilauan mahkotanya
Semesta beranjak dalam doa
Lelaki berparit mata itu menuju jalan pulang
"Selamat bermimpi, matahari, di ranjang
Semesta yang tak pernah mimpi!"
Demikianlah hatinya

Ada daun tumbuh, ada juga daun jatuh kembali
Ke bumi, awan jingga memberat
Jarum jam melesat, mengenai usia yang mendekat

Lalu adzan menyeru, syamsu turut sujud
Ia dan istri pun sujud
"Inna shalati wa nusuki wa mahyaaya
Wamamaati lillahi rabbil 'aalamiin"

Dan jika berdua bercengkerama, tentang siang
Membelah kayu bakar buat ke pasar
Istri makin mengerut mata diasapi dapur
Tak cukupkah tahun muda sesak kerja?
Tapi apa kata keduanya :

"Semesta saja bergerak
Kerja dalam kediamannya
Ada tertulis di daun-daun, ayat itu
Siang menghamburlah ke bumi menemui rizki
Malam menjagai mata tasbih
Tapi bukankah ini telah semusti?"

Hanya batu-batu saksi bisu
Atas semua itu
Tapi di pundaknya
Ada yang mencatat lamat-lamat
Meski tak terbaca mata kasad.

1995

Analisis Puisi:

Puisi “Matahari Tua” karya Abdul Wachid B. S. merupakan salah satu karya yang penuh dengan kedalaman spiritual dan refleksi eksistensial. Puisi ini menggambarkan siklus kehidupan manusia yang berjalan seiring waktu, disandingkan dengan perjalanan alam—khususnya matahari—sebagai simbol dari usia, ketundukan, dan kefanaan. Dengan gaya bahasa yang tenang dan penuh makna, Abdul Wachid menghadirkan harmoni antara alam, manusia, dan Sang Pencipta.

Tema

Tema utama puisi ini adalah tentang ketuaan dan ketundukan manusia terhadap siklus kehidupan serta kekuasaan Tuhan. Melalui metafora “matahari maghrib”, penyair menandai datangnya senja kehidupan, yaitu masa ketika manusia mendekati akhir perjalanan duniawinya. Namun, dalam kefanaan itu, penyair tidak menampilkan keputusasaan, melainkan ketenangan dan penerimaan yang penuh keimanan.

Tema ini juga menyiratkan hubungan erat antara kerja manusia, perjalanan waktu, dan ketundukan spiritual. Dalam setiap aktivitas duniawi—bekerja, mencintai, beribadah—penyair menunjukkan bahwa semuanya berpulang kepada Tuhan, sebagaimana kalimat doa dalam ayat: “Inna shalati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil ‘aalamiin.”

Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki tua dan istrinya yang menjalani sisa hidup mereka dengan ketenangan dan rasa syukur, di bawah naungan kesadaran spiritual. Lelaki itu, digambarkan “berparit mata” — simbol fisik dari usia senja dan kerja keras. Ia berjalan pulang menjelang maghrib, ketika matahari turut rebah, seolah keduanya berbagi nasib: sama-sama menuju “ranjang semesta”.

Dalam perjalanan itu, mereka tidak lagi melawan waktu, melainkan berdamai dengannya. Lelaki dan istrinya melanjutkan kehidupan sederhana—membelah kayu bakar, bekerja, beribadah, bercengkerama—semua dilakukan dalam kesadaran bahwa setiap detik adalah bagian dari rencana Tuhan. Mereka meneladani gerak semesta: matahari bekerja di siang hari dan beristirahat di malam hari.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah pesan tentang kepasrahan, kebijaksanaan dalam menerima usia, dan kesadaran spiritual terhadap perjalanan hidup. Penyair ingin menunjukkan bahwa hidup tidak hanya diukur dari kerja keras atau hasil materi, tetapi juga dari makna dan keikhlasan dalam menjalani waktu yang terus bergerak.

“Matahari tua” menjadi simbol manusia yang telah melewati banyak fase kehidupan dan kini berada pada masa perenungan. Meski tubuh menua, hati tetap hidup dalam doa. Penyair menegaskan bahwa alam semesta pun tunduk pada hukum Tuhan—semua bergerak sesuai takdir, dan manusia seharusnya juga begitu: terus bekerja, tapi dengan hati yang berserah.

Selain itu, frasa “ada yang mencatat lamat-lamat, meski tak terbaca mata kasad” menyiratkan keimanan pada kehidupan setelah mati—bahwa segala amal manusia tidak pernah luput dari pengawasan Ilahi, meski tak kasatmata.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa tenang, hening, namun sarat kesyahduan religius. Ada kesan senja yang lembut dan kontemplatif, dengan warna jingga yang membungkus alam sekaligus batin tokoh-tokohnya.

Di satu sisi, terdapat kesan kelelahan fisik dan usia yang renta; di sisi lain, ada ketenangan batin karena telah berdamai dengan waktu dan takdir.

Suasana senja di sini bukan melankolis, melainkan spiritual—suatu bentuk ketenangan yang lahir dari penyerahan diri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat yang terkandung dalam puisi “Matahari Tua” adalah pentingnya menjalani hidup dengan kerja keras, kesabaran, dan ketundukan kepada Tuhan. Penyair mengingatkan bahwa manusia, seperti matahari, memiliki siklusnya sendiri—lahir, bersinar, lalu tenggelam. Namun, yang membedakan manusia adalah kesadarannya untuk bersyukur dan beribadah dalam setiap fase kehidupan.

Melalui tokoh suami-istri yang tetap bekerja meski tua, penyair juga menyampaikan pesan moral tentang ketekunan dan kesetiaan dalam rumah tangga, bahwa cinta sejati bukan sekadar romantika muda, melainkan kebersamaan dalam menghadapi kenyataan hidup yang keras.

Selain itu, puisi ini mengajarkan kesadaran ekologis dan spiritual, bahwa alam bukan hanya latar, melainkan cermin bagi kehidupan manusia: daun tumbuh dan jatuh, matahari terbit dan tenggelam, dan semuanya mengajarkan makna kefanaan yang indah.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji spiritual yang mendalam. Beberapa contoh imaji yang menonjol:
  • “Oleh matahari maghrib itu / Daun-daun membikin kilauan mahkotanya” → Imaji visual yang menggambarkan cahaya senja menyentuh dedaunan, menciptakan kilauan yang indah namun fana.
  • “Lelaki berparit mata itu menuju jalan pulang” → Imaji visual sekaligus emosional tentang seorang lelaki tua yang kelelahan tapi tetap setia menapaki hidup.
  • “Jarum jam melesat, mengenai usia yang mendekat” → Imaji simbolik yang memvisualisasikan waktu sebagai sesuatu yang tajam dan tak terhindarkan.
  • “Hanya batu-batu saksi bisu / Atas semua itu” → Imaji alam yang menggambarkan kebisuan waktu dan kenangan yang abadi.
Imaji-imaji tersebut memperkuat nuansa kontemplatif dan spiritual dalam puisi, seolah pembaca diajak turut larut dalam senja kehidupan manusia.

Majas

Abdul Wachid B. S. menggunakan sejumlah majas personifikasi, metafora, dan simbolik dalam puisi ini untuk memperdalam makna religius dan filosofisnya.

Beberapa contohnya:

Personifikasi:
  • “Daun-daun membikin kilauan mahkotanya” → daun dipersonifikasikan seolah sadar dan berperan dalam peristiwa alam.
  • “Semesta beranjak dalam doa” → semesta digambarkan berdoa, menunjukkan kesatuan spiritual antara alam dan manusia.
Metafora:
  • “Matahari maghrib” → metafora usia tua atau akhir kehidupan.
  • “Jarum jam melesat, mengenai usia yang mendekat” → waktu digambarkan sebagai panah yang melukai kehidupan.
Simbolisme:
  • “Daun jatuh kembali ke bumi” → simbol kefanaan dan siklus hidup.
  • “Batu-batu saksi bisu” → simbol kenangan dan catatan abadi atas amal manusia.
Penggunaan majas-majas tersebut menegaskan bahwa puisi ini bukan sekadar narasi kehidupan sehari-hari, melainkan refleksi spiritual yang universal.

Puisi “Matahari Tua” karya Abdul Wachid B. S. adalah refleksi puitis tentang ketuaan, ketulusan hidup, dan ketundukan kepada Sang Pencipta. Melalui citra matahari, daun, dan waktu, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan makna perjalanan hidup yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga rohani.

Tema kehidupan yang berjalan menuju ketuaan berpadu dengan keindahan imaji alam menjadikan puisi ini kaya secara estetis dan spiritual. Dengan bahasa yang lembut, Abdul Wachid mengingatkan bahwa pada akhirnya, segala yang hidup akan kembali, dan segala amal akan dicatat—meski tak terbaca mata kasat.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Matahari Tua
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.