Menertawakan Diri Sendiri
Bermakna lebih dari segala ilmu
Ialah menertawakan diri sendiri
Sesudah kegagahan dipacu
Tahu langkah tak sedalam tangis bayi
Kelahiran dan maut memain-mainkan
Kita jadi perlu sekeras ini bersitegang
Padahal gua Ibunda tak di masa silam
Dan kematian tak nunggu di usia petang
Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar
Kemudian sumpeg dan ngerti kita terbongkar sendiri
Maka laron tahu usia tak sampai semalam
Maka kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang
Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam
Heran kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi
Padahal jelas jatah kita abadi
1985
Sumber: Cahaya Maha Cahaya (1993)
Analisis Puisi:
Puisi “Menertawakan Diri Sendiri” karya Emha Ainun Nadjib merupakan karya puitis yang sarat dengan refleksi filosofis, humor halus, dan kesadaran diri. Melalui puisi ini, Emha mengajak pembaca untuk menilik keberadaan manusia dalam hubungannya dengan waktu, kehidupan, kematian, dan karya-karya budaya yang dibangunnya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah refleksi diri dan kesadaran manusia terhadap keterbatasan hidupnya. Emha menekankan pentingnya menertawakan diri sendiri sebagai bentuk kebijaksanaan, terutama ketika menghadapi kegagahan, ambisi, dan usaha manusia yang kadang tak sepadan dengan realitas. Tema ini juga menyinggung hubungan manusia dengan kematian, sejarah, dan ilmu pengetahuan, serta bagaimana kesadaran akan keterbatasan bisa menghadirkan humor dan kebijaksanaan.
Puisi ini bercerita tentang upaya manusia memahami dirinya sendiri di tengah keterbatasan hidup. Larik-larik puisi menggambarkan bagaimana manusia sering memacu diri dengan ambisi, mempelajari sejarah, menyelami ilmu, atau berkarya, namun akhirnya sadar akan keterbatasan yang dimiliki. Menertawakan diri sendiri menjadi jalan untuk menghadapi absurditas dan kesementaraan hidup, sambil tetap melanjutkan perjalanan eksistensialnya.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah kesadaran atas kefanaan, keterbatasan, dan absurditas hidup manusia. Emha menunjukkan bahwa meski manusia mencoba menguasai ilmu, sejarah, dan seni, tetap ada momen ketika segala usaha itu terasa kecil di hadapan kenyataan hidup dan kematian. Dengan menertawakan diri sendiri, manusia belajar untuk menerima keterbatasannya dan menemukan kebijaksanaan dalam kesederhanaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini filosofis, reflektif, dan sedikit humoris. Emha menciptakan atmosfer yang serius namun tidak berat, di mana kesadaran akan keterbatasan manusia dipadukan dengan candaan halus. Larik seperti “Maka kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan” dan “Heran kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi / Padahal jelas jatah kita abadi” memberikan nuansa kesadaran penuh humor yang membuat pembaca tersenyum sekaligus merenung.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama puisi ini adalah pentingnya menertawakan diri sendiri sebagai bentuk kebijaksanaan dan penerimaan atas keterbatasan manusia. Emha mengajak pembaca untuk menyadari bahwa hidup adalah perjalanan yang penuh kontradiksi: di satu sisi penuh usaha, ambisi, dan pencapaian; di sisi lain, manusia tetap terbatas oleh waktu, kematian, dan ketidaksempurnaan diri. Menertawakan diri sendiri menjadi cara bijak untuk tetap tenang dan menerima realitas.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji filosofis dan simbolik:
- “Sesudah kegagahan dipacu / Tahu langkah tak sedalam tangis bayi” menggambarkan kesadaran atas ketidaksempurnaan dan kerentanan manusia.
- “Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar” menciptakan imaji budaya dan intelektual, yang menunjukkan aktivitas manusia dalam belajar dan berkarya.
- “Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang / Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam” menghadirkan imaji metaforis kehidupan yang seperti pertunjukan wayang, penuh ritme dan pergantian yang terus berlangsung.
Majas
Beberapa majas yang digunakan Emha Ainun Nadjib antara lain:
- Metafora: “Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam” menggambarkan hidup manusia sebagai pertunjukan wayang yang terus berganti.
- Hiperbola: “Padahal jelas jatah kita abadi” menekankan absurditas permintaan manusia terhadap waktu.
- Personifikasi: “Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar” memberi sifat hidup pada karya budaya, sehingga aktivitas manusia seolah berdialog dengan dunia sekitarnya.
Puisi “Menertawakan Diri Sendiri” karya Emha Ainun Nadjib adalah refleksi mendalam tentang kesadaran diri, absurditas hidup, dan kefanaan manusia. Dengan tema refleksi diri, puisi ini bercerita tentang bagaimana manusia menghadapi keterbatasannya sambil tetap melanjutkan kehidupan dan berkarya. Makna tersiratnya mengingatkan pembaca untuk menemukan kebijaksanaan melalui humor dan penerimaan atas keterbatasan. Imaji dan majas yang digunakan memperkuat pengalaman membaca puisi, menghadirkan suasana reflektif sekaligus ringan, yang membuat pesan puisi tersampaikan secara mendalam dan menyentuh.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
