Analisis Puisi:
Puisi "Menjaring Angin di Kota Tua" karya Diah Hadaning adalah sebuah refleksi tentang kota, sejarah, dan peradaban yang terus bergerak. Penyair memanfaatkan simbol kota tua sebagai ruang kenangan, sejarah, sekaligus tempat manusia belajar memahami kehidupan. Dengan bahasa yang metaforis dan kaya imaji, puisi ini mengajak pembaca merenungi hubungan antara manusia, sejarah, dan zaman yang terus berubah.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjalanan sejarah dan makna kehidupan yang harus dijaga di tengah perubahan zaman. Penyair menekankan pentingnya kota tua sebagai simbol peradaban, tempat manusia belajar dari masa lalu untuk melangkah ke masa depan.
Puisi ini bercerita tentang seorang perempuan yang berhenti di gapura kota tua Tulungagung dan merenungkan makna kehidupan serta sejarah yang terpatri di dalamnya. Ia melihat simbol-simbol seperti janur kuning, umbul-umbul putih, burung pagi, hingga angin yang berdesir sebagai tanda-tanda kehidupan yang harus dimaknai. Melalui perenungan itu, ia mencoba “menjaring angin”, sebuah metafora untuk menangkap makna sejarah, kenangan, dan peradaban agar tidak hilang ditelan waktu.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah ajakan untuk menjaga dan menghargai sejarah, budaya, serta nilai-nilai kehidupan di tengah derasnya perubahan zaman. Angin yang berdesir melambangkan sejarah dan kenangan yang sering lewat tanpa bisa ditangkap, sementara kota tua menjadi simbol peradaban yang tak boleh dilupakan. Penyair ingin menyampaikan bahwa hidup tidak hanya dijalani, tetapi juga harus dimaknai melalui kesadaran akan sejarah dan warisan budaya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah khidmat, reflektif, dan penuh renungan. Gambaran kota yang masih tertidur, burung pagi yang mengirim isyarat, hingga suara hati yang ngungun, semua menciptakan nuansa kontemplatif seolah pembaca diajak merenungi perjalanan hidup dan sejarah.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah pentingnya menjaga nilai sejarah dan peradaban agar tidak hilang. Penyair menekankan bahwa manusia tidak boleh melupakan akar budayanya, karena dari sejarah lahirlah identitas dan kekuatan untuk menghadapi masa depan.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat dan berlapis:
- Imaji visual: “umbul-umbul putih sembunyikan perih”, “janur kuning setia hiasi gapura”, menghadirkan pemandangan kota dengan simbol tradisi.
- Imaji auditif: “beburung pagi seperti kirim isyarat baru”, “angin berdesing di udara kota”, menghadirkan suasana pagi yang hidup.
- Imaji perasaan: “hati ngungun suara terbata”, melukiskan rasa haru, rindu, dan kesadaran batin akan nilai kehidupan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – “menjaring angin” melambangkan usaha menangkap makna kehidupan dan sejarah.
- Personifikasi – “kota penyimpan angin” memberi sifat manusiawi pada kota, seolah ia memiliki kenangan.
- Simbolisme – “janur kuning” dan “gapura” sebagai simbol tradisi, perayaan, dan pintu menuju kehidupan baru.
- Repetisi – pengulangan kata “kota” dan “angin” menekankan pusat perenungan dalam puisi.
Puisi "Menjaring Angin di Kota Tua" karya Diah Hadaning bukan sekadar gambaran kota tua, melainkan sebuah perenungan tentang hubungan manusia dengan sejarah dan peradaban. Dengan tema yang reflektif, makna tersirat yang mendalam, serta imaji dan majas yang indah, puisi ini mengajak pembaca untuk lebih menghargai warisan sejarah agar jiwa tetap berakar pada nilai-nilai budaya meski zaman terus berubah.

Puisi: Menjaring Angin di Kota Tua
Karya: Diah Hadaning