Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menjaring Angin di Kota Tua (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Menjaring Angin di Kota Tua" karya Diah Hadaning bercerita tentang seorang perempuan yang berhenti di gapura kota tua Tulungagung dan ...
Menjaring Angin di Kota Tua

Bukan karena panggilan musim
jika langkahnya pagi ini 'henti
di gapura kota Tulungagung
sementara pagi belum bangkit
kota masih diam simpan mimpi calon urban
umbul-umbul putih sembunyikan perih
beburung pagi seperti kirim isyarat baru
telah lama orang-orang menunggu.

Dia perempuan pengusung windu memaknai
hidup perlu dihidupi
raga perlu dipagari
jika tak ingin para alpa amuk rasa
mencuri jantung jota ruh kehidupan
janur kuning setia hiasi gapura
kata-kata bertebaran di udara
barangkali tak perlu lagi pasang mikropon
meruncing-runcing perbedaan di nada-nada
diingatnya benar setiap kemarau 
angina berdesing di udara kota
ingin ia menjaringnya
pada kehadiran kali pertama
sesiapa datang tawarkan kampung.

Tiba-tiba hilang semua tanda
hati ngungun suara terbata
disapanya kota penyimpan angin
diserunya wong agung penyelamat peradaban
sambil menjaring angin di pohonan kota sejarah tak boleh henti menyapa jiwa
sejarah mata air mimpi para kawula
ia berseru di ambang gapura.

Tulungagung, 2004

Sumber: Perempuan yang Mencari (700 Puisi Pilihan, 2010)

Analisis Puisi:

Puisi "Menjaring Angin di Kota Tua" karya Diah Hadaning adalah sebuah refleksi tentang kota, sejarah, dan peradaban yang terus bergerak. Penyair memanfaatkan simbol kota tua sebagai ruang kenangan, sejarah, sekaligus tempat manusia belajar memahami kehidupan. Dengan bahasa yang metaforis dan kaya imaji, puisi ini mengajak pembaca merenungi hubungan antara manusia, sejarah, dan zaman yang terus berubah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan sejarah dan makna kehidupan yang harus dijaga di tengah perubahan zaman. Penyair menekankan pentingnya kota tua sebagai simbol peradaban, tempat manusia belajar dari masa lalu untuk melangkah ke masa depan.

Puisi ini bercerita tentang seorang perempuan yang berhenti di gapura kota tua Tulungagung dan merenungkan makna kehidupan serta sejarah yang terpatri di dalamnya. Ia melihat simbol-simbol seperti janur kuning, umbul-umbul putih, burung pagi, hingga angin yang berdesir sebagai tanda-tanda kehidupan yang harus dimaknai. Melalui perenungan itu, ia mencoba “menjaring angin”, sebuah metafora untuk menangkap makna sejarah, kenangan, dan peradaban agar tidak hilang ditelan waktu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah ajakan untuk menjaga dan menghargai sejarah, budaya, serta nilai-nilai kehidupan di tengah derasnya perubahan zaman. Angin yang berdesir melambangkan sejarah dan kenangan yang sering lewat tanpa bisa ditangkap, sementara kota tua menjadi simbol peradaban yang tak boleh dilupakan. Penyair ingin menyampaikan bahwa hidup tidak hanya dijalani, tetapi juga harus dimaknai melalui kesadaran akan sejarah dan warisan budaya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah khidmat, reflektif, dan penuh renungan. Gambaran kota yang masih tertidur, burung pagi yang mengirim isyarat, hingga suara hati yang ngungun, semua menciptakan nuansa kontemplatif seolah pembaca diajak merenungi perjalanan hidup dan sejarah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah pentingnya menjaga nilai sejarah dan peradaban agar tidak hilang. Penyair menekankan bahwa manusia tidak boleh melupakan akar budayanya, karena dari sejarah lahirlah identitas dan kekuatan untuk menghadapi masa depan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat dan berlapis:
  • Imaji visual: “umbul-umbul putih sembunyikan perih”, “janur kuning setia hiasi gapura”, menghadirkan pemandangan kota dengan simbol tradisi.
  • Imaji auditif: “beburung pagi seperti kirim isyarat baru”, “angin berdesing di udara kota”, menghadirkan suasana pagi yang hidup.
  • Imaji perasaan: “hati ngungun suara terbata”, melukiskan rasa haru, rindu, dan kesadaran batin akan nilai kehidupan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “menjaring angin” melambangkan usaha menangkap makna kehidupan dan sejarah.
  • Personifikasi – “kota penyimpan angin” memberi sifat manusiawi pada kota, seolah ia memiliki kenangan.
  • Simbolisme – “janur kuning” dan “gapura” sebagai simbol tradisi, perayaan, dan pintu menuju kehidupan baru.
  • Repetisi – pengulangan kata “kota” dan “angin” menekankan pusat perenungan dalam puisi.
Puisi "Menjaring Angin di Kota Tua" karya Diah Hadaning bukan sekadar gambaran kota tua, melainkan sebuah perenungan tentang hubungan manusia dengan sejarah dan peradaban. Dengan tema yang reflektif, makna tersirat yang mendalam, serta imaji dan majas yang indah, puisi ini mengajak pembaca untuk lebih menghargai warisan sejarah agar jiwa tetap berakar pada nilai-nilai budaya meski zaman terus berubah.

"Puisi: Menjaring Angin di Kota Tua (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Menjaring Angin di Kota Tua
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.