Menjelang Pagi
Setetes embun jatuh di pelupuk mataku
bergetar tubuh dalam angan-angan
di dahan seekor burung menggeleparkan sayapnya
kicaunya nyaring
menerobos dalam keheningan
yang memagari batas jendela kamarku
sementara di kejauhan sana
gemeretak roda pedati menggetarkan
sinar lembayung di ujung timur
Sumber: Sinar Harapan (Th. XVI, 9 Maret 1977)
Analisis Puisi:
Puisi “Menjelang Pagi” karya Sisworo Koesen merupakan salah satu karya yang menonjolkan keindahan alam pagi sebagai sumber renungan batin. Dengan diksi lembut dan imaji yang kuat, penyair berhasil menghadirkan suasana menjelang fajar yang penuh ketenangan, sekaligus menyiratkan refleksi batin manusia terhadap kehidupan dan kebangkitan semangat baru.
Puisi ini bukan sekadar deskripsi tentang pagi hari, melainkan sebuah perenungan eksistensial yang menautkan antara gerak alam dan getaran jiwa manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keindahan dan makna spiritual menjelang pagi. Pagi dalam puisi ini tidak hanya menggambarkan peristiwa alamiah terbitnya matahari, tetapi juga menjadi simbol kesadaran dan kebangkitan jiwa setelah kegelapan malam. Melalui gambaran alam yang sederhana — embun, burung, dan cahaya lembayung — penyair mengajak pembaca merenungi keseimbangan antara ketenangan batin dan gerak kehidupan yang terus berputar.
Puisi ini bercerita tentang momen singkat ketika malam perlahan beralih menjadi pagi. Penyair menggambarkan suasana itu melalui detail yang sangat halus: setetes embun jatuh di pelupuk mata, burung yang mengepakkan sayap dan berkicau, serta roda pedati yang bergemeretak di kejauhan.
Momen tersebut menjadi refleksi tentang kehidupan yang terus bergerak, bahkan ketika dunia masih diselimuti keheningan. Puisi ini seolah melukiskan pertemuan antara alam luar dan alam batin — antara kesunyian pribadi dengan denyut kehidupan yang perlahan bangkit di luar sana.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran akan kehidupan yang terus mengalir dan keindahan yang dapat ditemukan dalam kesederhanaan. Embun yang jatuh, burung yang bernyanyi, dan cahaya lembayung di timur adalah simbol-simbol pembaruan, harapan, dan kebangkitan semangat.
Selain itu, “Setetes embun jatuh di pelupuk mataku” bisa dimaknai sebagai sentuhan spiritual, seolah penyair sedang mengalami momen pencerahan batin — ketika alam berbicara dalam diam, dan jiwa manusia menjadi bagian dari harmoni semesta.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa pagi adalah waktu reflektif, saat manusia bisa merenungi perjalanan hidupnya sebelum kembali bergerak menghadapi dunia. Ada semacam kesadaran akan keterhubungan antara manusia dan alam, di mana setiap suara dan cahaya memantulkan kehidupan yang lebih luas dari sekadar rutinitas.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa hening, lembut, dan penuh ketenangan. Pembaca diajak masuk ke dalam suasana menjelang pagi yang belum sepenuhnya terang — di mana hanya terdengar kicau burung dan gemeretak roda pedati di kejauhan.
Suasana tersebut menghadirkan rasa damai dan kontemplatif, seolah penyair sedang berdiri di jendela, mengamati dunia yang pelan-pelan hidup kembali. Ada nuansa romantis sekaligus spiritual, karena tiap elemen alam digambarkan dengan rasa penuh kesadaran dan penghargaan terhadap kehidupan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah ajakan untuk menyadari keindahan kecil di sekitar kita dan memaknainya sebagai bagian dari kehidupan yang lebih besar. Melalui embun, burung, dan cahaya pagi, penyair mengingatkan bahwa hidup selalu menawarkan kesempatan baru setiap hari.
Puisi ini juga mengandung pesan agar manusia tidak kehilangan rasa kagum dan syukur terhadap ciptaan Tuhan, karena dalam hal-hal kecil itulah tersimpan makna yang besar.
Selain itu, Sisworo Koesen tampak mengajak pembaca untuk menemukan kedamaian dalam kesunyian, dan menjadikan pagi sebagai waktu untuk menyegarkan kembali pikiran serta hati.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif (pendengaran) yang memperkuat suasana dan makna.
Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
Visual:
- “Setetes embun jatuh di pelupuk mataku”
- “sinar lembayung di ujung timur”
Imaji ini menggambarkan keindahan pagi yang lembut dan menyentuh indera penglihatan pembaca.
Auditif:
- “kicaunya nyaring menerobos dalam keheningan”
- “gemeretak roda pedati menggetarkan sinar lembayung”
Imaji suara ini menciptakan kontras antara keheningan pagi dan tanda-tanda kehidupan yang mulai muncul, menghadirkan suasana yang hidup dan berirama.
Imaji-imaji tersebut membuat puisi terasa nyata, seolah pembaca benar-benar merasakan udara pagi, mendengar burung berkicau, dan melihat cahaya matahari menembus batas jendela.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi – memberikan sifat manusia pada benda mati:
“Setetes embun jatuh di pelupuk mataku”
Embun digambarkan seolah memiliki niat dan gerak yang lembut, menyentuh perasaan penyair.
“kicaunya nyaring menerobos dalam keheningan”
Di sini, suara burung digambarkan seolah mampu menembus batas fisik, memberi kesan kekuatan spiritual pada alam.
- Metafora – digunakan untuk menyimbolkan kehidupan dan kesadaran batin. Misalnya, “sinar lembayung di ujung timur” bisa diartikan sebagai harapan baru dan semangat hidup.
- Hiperbola ringan – tampak pada ungkapan “bergetar tubuh dalam angan-angan”, yang menggambarkan betapa dalamnya getaran batin penyair ketika menyaksikan keindahan pagi.
Puisi “Menjelang Pagi” karya Sisworo Koesen merupakan karya liris yang menonjolkan keindahan alam dan ketenangan batin menjelang terbitnya matahari. Dengan tema tentang keindahan dan kebangkitan spiritual, puisi ini membawa pembaca ke dalam suasana yang lembut dan penuh refleksi.
Karya: Sisworo Koesen