Sumber: Gergaji (2001)
Analisis Puisi:
Puisi “Meriam-Meriam” karya Slamet Sukirnanto merupakan karya yang sarat kritik sosial dan refleksi kemanusiaan. Melalui gaya personifikasi dan simbolisme yang kuat, penyair menghadirkan renungan tentang perang, kekerasan, dan kesadaran moral atas kehancuran yang ditimbulkan oleh alat-alat perang buatan manusia. Meski menggunakan objek benda mati — meriam — Slamet Sukirnanto dengan cerdas menjadikannya sebagai tokoh yang berpikir, menyesal, dan bahkan mengambil keputusan moral sendiri.
Tema
Tema utama puisi ini adalah penolakan terhadap kekerasan dan perang, serta kesadaran moral untuk menghentikan pembunuhan atas nama bangsa atau kekuasaan. Tema ini menggambarkan pergulatan nurani, bukan manusia terhadap manusia, tetapi “senjata” terhadap fungsinya sendiri. Dalam puisi ini, meriam bukan lagi alat yang tunduk kepada perintah manusia, melainkan makhluk yang memiliki kesadaran — yang menolak menjadi penyebab darah dan kematian.
Secara lebih luas, tema ini juga menyinggung ironi peradaban modern: manusia menciptakan teknologi dengan tujuan melindungi diri, tetapi teknologi itu justru membawa malapetaka bagi umat manusia.
Puisi ini bercerita tentang sekumpulan meriam yang berkumpul untuk “rapat kerja”, membicarakan peran mereka selama ini sebagai alat pembunuh musuh. Dalam rapat itu, mereka akhirnya “menyadari” betapa mengerikan darah dan malapetaka yang telah ditimbulkan oleh peluru-peluru yang mereka lepaskan.
Kesadaran itu membawa mereka pada keputusan besar: tidak akan lagi menembakkan peluru, tidak akan lagi menjadi alat pembunuh bagi manusia. Mereka memilih “pensiun” dari medan perang, memasuki “alam bisu dan beku” seperti seorang sufi atau rahib yang menyepi dari dunia.
Dengan gaya naratif yang alegoris, penyair mengubah meriam menjadi simbol nurani — seolah benda mati memiliki empati dan kesadaran yang bahkan melebihi manusia itu sendiri.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam dan filosofis. Slamet Sukirnanto tidak sekadar menulis tentang meriam, tetapi tentang kebangkitan kesadaran moral di tengah dunia yang dipenuhi kekerasan dan peperangan.
Melalui kisah meriam yang menolak digunakan, penyair menyindir manusia yang sering kehilangan nuraninya. Benda mati yang semestinya tidak punya hati justru digambarkan memiliki rasa penyesalan, sedangkan manusia — yang seharusnya berpikir dan berperasaan — terus menciptakan kehancuran tanpa henti.
Makna tersirat lainnya adalah ajakan untuk merenungkan kembali tujuan kekuasaan dan teknologi militer. Meriam yang “ingin menjadi tuan bagi dirinya sendiri” mencerminkan simbol perlawanan terhadap tangan-tangan manusia yang menyalahgunakan kekuatan demi ambisi politik, perang, atau dominasi.
Lebih jauh, puisi ini juga mengandung pesan spiritual: keheningan, tobat, dan pembersihan diri dari dosa kekerasan. Meriam yang memilih “alam bisu dan beku” menjadi lambang transformasi — dari instrumen kehancuran menjadi simbol kedamaian dan keheningan batin.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi “Meriam-Meriam” terasa serius, reflektif, dan penuh kesunyian moral. Di awal, suasananya seperti rapat yang formal dan penuh kesadaran akan tanggung jawab besar — seolah para meriam sedang mengadili diri sendiri. Namun, menjelang akhir, suasana berubah menjadi sunyi dan suci, seperti upacara pertobatan.
Kata-kata seperti “alam bisu dan beku”, “bagaikan seorang sufi”, dan “memilih wilayah sepi” menghadirkan suasana mistik, spiritual, dan penuh kontemplasi. Pembaca seolah dibawa dari hiruk-pikuk medan perang menuju heningnya padang rumput — tempat senjata perang beristirahat selamanya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah penolakan terhadap segala bentuk kekerasan dan peperangan. Slamet Sukirnanto ingin menyampaikan bahwa kedamaian lebih mulia daripada kemenangan yang dicapai melalui darah. Bahkan benda-benda mati pun seharusnya tidak rela dijadikan alat untuk membunuh.
Pesan lainnya adalah panggilan bagi manusia untuk bertobat, berintrospeksi, dan menghentikan siklus kehancuran. Ketika meriam memilih hening, manusia juga seharusnya belajar menenangkan hatinya — menghentikan ego, ambisi, dan hasrat menaklukkan sesama.
Puisi ini juga memberi amanat moral yang mendalam: keheningan bukan kelemahan, melainkan jalan menuju kesucian. Dalam diam, ada kekuatan spiritual yang menyelamatkan manusia dari dirinya sendiri.
Imaji
Puisi ini menampilkan imaji kuat dan simbolik, yang membawa pembaca dari suasana perang menuju ketenangan batin:
- Imaji auditif (pendengaran): terasa dalam kata “meriam-meriam” yang berulang — seolah suara dentuman yang kini berganti menjadi gema rapat kesadaran.
- Imaji visual: muncul dalam baris “memasuki alam bisu dan beku” — pembaca membayangkan meriam yang berkarat, diam di padang rumput, ditinggalkan oleh waktu.
- Imaji spiritual: hadir dalam penggambaran “bagaikan seorang sufi” dan “bagaikan seorang rahib” yang menggambarkan perjalanan rohani menuju kedamaian dan kebeningan.
- Imaji ironis: tampak dalam pertemuan antara benda-benda perang yang justru berbicara tentang perdamaian — sebuah kebalikan dari fungsi mereka semula.
Imaji dalam puisi ini bekerja bukan hanya pada tataran visual, tetapi juga pada tingkat emosional dan simbolik, menghadirkan pemandangan yang menyentuh dan menggugah kesadaran.
Majas
Puisi ini kaya akan majas yang memperkuat pesan moral dan nilai simboliknya:
- Personifikasi – Hampir seluruh puisi ini dibangun atas majas personifikasi, misalnya “meriam meriam telah sepakat untuk rapat kerja” dan “meriam meriam mulai sadar”. Meriam diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa berpikir, berbicara, dan mengambil keputusan.
- Metafora – Meriam menjadi metafora dari kekerasan, peperangan, atau bahkan sistem militer yang dijalankan tanpa nurani.
- Simile (perbandingan) – Terlihat dalam baris “bagaikan seorang sufi, bagaikan seorang rahib”, menggambarkan transformasi spiritual dari benda perang menuju simbol kesucian dan keheningan.
- Repetisi – Pengulangan kata “meriam meriam” di awal setiap bagian berfungsi menciptakan ritme yang menegaskan tema dan suasana, sekaligus menimbulkan efek hipnotik dan dramatik.
- Ironi – Seluruh puisi berdiri di atas ironi besar: benda yang diciptakan untuk perang justru menolak perang. Inilah kekuatan kritik yang paling tajam dari puisi ini.
Puisi “Meriam-Meriam” karya Slamet Sukirnanto adalah karya alegoris yang menggugah kesadaran manusia akan absurditas perang dan kekerasan. Dengan menghidupkan benda mati menjadi makhluk yang berakal budi, penyair mengajak pembaca merenungkan kembali nilai kemanusiaan yang sejati.
Melalui gaya bahasa yang penuh simbol dan spiritualitas, Slamet Sukirnanto menegaskan bahwa kedamaian dan keheningan adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Bahkan meriam — lambang kekuatan dan kehancuran — pada akhirnya memilih diam dan berkarat demi menemukan makna hidup yang lebih dalam.
Puisi ini bukan sekadar kritik perang, melainkan juga doa untuk perdamaian universal: bahwa setiap jiwa, bahkan yang terbuat dari besi sekalipun, pada akhirnya merindukan hening, suci, dan kemanusiaan.
Karya: Slamet Sukirnanto
Biodata Slamet Sukirnanto:
- Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
- Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
- Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.