Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Meulaboh (Karya Mustafa Ismail)

Puisi “Meulaboh” karya Mustafa Ismail mengajarkan bahwa perlawanan sejati adalah menjaga ingatan, dan bahwa setiap tempat yang pernah terluka dapat ..
Meulaboh
(Kepada Penyair Laut)

Dalam gigil pagi itu, di sebuah masjid, kami membayangkan:
beribu-ribu puisi telah menetas di kota itu, dari Isnu hingga Rosni,
dari dari Mustiar hingga Aliza, hingga entah siapa
kau datang dengan masa silam masing-masing,
membikin laut, kolam, bukit, juga tepi pantai:
berpasang-pasang camar berlahiran dari akar-akar pohon
dan di sebuah kedai kopi pagi itu, semua kesunyian membeku
seperti lelehan getah damar dari pucuk bukit
kita menirukan siulan petani di kampung-kampung
Oh iya, laut. Laut itu, pantai itu, tugu itu, suak ujong kalak itu, pasir itu,
seperti aliran darahmu yang terus mendidih dan menyiram kota-kota
dengan mantra-mantra, dengan doa-doa, dengan suara-suara
aku kira kau harus menjadi Teuku Umar yang menghunus pedang
ke udara, menaklukkan gerombolan harimau dan sirigala,
lalu meledakkannya menjadi kota-kota
dengan begitulah bukit-bukit selalu hijau dan laut tetap berombak
mencatat gelisahmu, galauku, juga kepedihan mereka:
petani dan nelayan yang tak henti berlari dan merawat ingatan.

Meulaboh-Depok, 2016

Analisis Puisi:

Puisi “Meulaboh” karya Mustafa Ismail merupakan karya yang sarat akan kenangan, sejarah, dan semangat perlawanan. Dalam larik-lariknya, penyair tidak sekadar menggambarkan sebuah kota di pesisir barat Aceh, tetapi juga menghadirkan kembali denyut perjuangan, luka masa lalu, dan kekuatan spiritual masyarakatnya. Melalui bahasa puitis yang padat dan penuh metafora, Mustafa Ismail menulis sebuah elegi sekaligus ode untuk tanah kelahirannya yang kaya akan sejarah dan makna.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kenangan dan semangat perjuangan rakyat Meulaboh sebagai simbol keteguhan dan daya hidup. Meulaboh, dalam puisi ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat geografis, tetapi juga sebagai representasi dari ketabahan dan warisan perjuangan Aceh melawan penjajahan serta penderitaan masa kini. Ada kesan kuat bahwa kota ini menanggung beban sejarah, namun tetap hidup, berdenyut, dan terus melahirkan puisi, doa, dan keberanian.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin penyair yang mengenang Meulaboh — sebuah kota yang diibaratkan sebagai ladang sejarah dan tempat lahirnya semangat perlawanan. Di dalam gigil pagi di masjid, penyair membayangkan bahwa kota itu telah menetas ribuan puisi dan doa dari generasi ke generasi. Nama-nama seperti Isnu, Rosni, Mustiar, dan Aliza disebut bukan hanya sebagai individu, tetapi juga simbol kesinambungan kreativitas dan ingatan kolektif.

Puisi ini juga membawa pembaca menelusuri lanskap Aceh: laut, kolam, bukit, pantai, dan tugu yang menjadi saksi dari perjuangan rakyat. Puncaknya adalah ketika penyair menyebut Teuku Umar, tokoh pahlawan dari Meulaboh, sebagai simbol perlawanan yang harus terus hidup dalam darah masyarakat.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Meulaboh” adalah bahwa perjuangan dan identitas suatu bangsa tidak pernah benar-benar berakhir; ia hidup dalam ingatan, dalam karya, dan dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya.

Meulaboh menjadi metafora bagi semangat yang abadi. Meskipun telah melalui banyak penderitaan — baik bencana, perang, maupun kesunyian — kota itu tetap menjadi sumber inspirasi, tempat doa-doa lahir, dan medan di mana manusia terus berjuang mempertahankan kemanusiaan.

Ada pula makna spiritual di dalamnya: penyair berbicara seolah sedang menyatukan sejarah dengan keimanan. Masjid, kedai kopi, laut, dan tugu menjadi tempat-tempat sakral yang mengandung makna kehadiran Tuhan dan perjuangan manusia secara bersamaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa melankolis namun heroik. Ada kesedihan yang tenang ketika penyair mengenang kesunyian di masjid dan kedai kopi, tetapi di balik itu ada nyala semangat dan kebanggaan.

Suasana berubah-ubah antara kontemplatif (pada bagian awal, saat membayangkan pagi yang dingin dan sunyi) dan heroik (pada bagian akhir, ketika semangat Teuku Umar dihadirkan untuk menaklukkan harimau dan sirigala).

Kombinasi suasana ini menciptakan efek emosional yang kuat: pembaca diajak untuk mengenang sekaligus membangkitkan semangat kebangsaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi “Meulaboh” adalah pentingnya menjaga ingatan kolektif dan meneruskan semangat perjuangan para pendahulu.

Penyair ingin mengingatkan bahwa perjuangan bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga harus hidup di masa kini — di dalam kesadaran rakyat, dalam puisi, dan dalam doa.

Selain itu, puisi ini mengajarkan bahwa identitas suatu daerah (dalam hal ini Meulaboh dan Aceh secara luas) tidak hanya ditentukan oleh sejarah fisik, melainkan juga oleh jiwa dan nilai-nilai yang diwariskan.

Imaji

Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual dan imaji perasaan.
Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
  • “Dalam gigil pagi itu, di sebuah masjid” → menghadirkan imaji visual dan suhu yang nyata; pembaca bisa merasakan dingin dan suasana religius.
  • “berpasang-pasang camar berlahiran dari akar-akar pohon” → imaji visual dan imajinatif yang menegaskan kelahiran harapan dari akar kehidupan.
  • “semua kesunyian membeku seperti lelehan getah damar dari pucuk bukit” → imaji perasaan yang kuat, menggambarkan keheningan yang padat dan mendalam.
  • “Teuku Umar yang menghunus pedang ke udara” → imaji heroik, menyalakan semangat patriotik dan kebanggaan atas pahlawan daerah.
Imaji-imaji ini memperkuat suasana dan makna puisi: kesunyian, kenangan, dan semangat yang menyala di balik kesedihan.

Majas

Mustafa Ismail menggunakan beberapa majas untuk memperindah dan memperdalam makna puisinya, di antaranya:

Metafora
  • “beribu-ribu puisi telah menetas di kota itu” → Meulaboh diibaratkan sebagai rahim yang melahirkan karya dan perjuangan.
  • “darahmu yang terus mendidih dan menyiram kota-kota” → menggambarkan semangat juang rakyat yang tak pernah padam.
Personifikasi
  • “laut tetap berombak mencatat gelisahmu” → laut digambarkan seolah-olah makhluk hidup yang mampu merasakan dan mencatat emosi manusia.
Simbolisme
  • “Teuku Umar yang menghunus pedang ke udara” menjadi simbol perlawanan abadi rakyat Aceh terhadap segala bentuk penindasan.
  • “lelehan getah damar dari pucuk bukit” bisa ditafsirkan sebagai simbol kesunyian yang terus meneteskan kenangan.
Repetisi
  • Pengulangan kata “laut”, “bukit”, dan “kota” menegaskan keterikatan antara manusia, sejarah, dan alam Aceh.
Puisi “Meulaboh” karya Mustafa Ismail adalah sebuah elegi yang memuliakan tanah kelahiran sekaligus menggugah kesadaran sejarah pembacanya. Ia menghadirkan lanskap Aceh yang spiritual, heroik, dan penuh ingatan kolektif. Melalui gaya bahasa yang kaya akan imaji dan majas, penyair menegaskan bahwa semangat perjuangan tak boleh padam — ia hidup di dalam laut, bukit, dan darah masyarakatnya.

Puisi ini mengajarkan bahwa perlawanan sejati adalah menjaga ingatan, dan bahwa setiap tempat yang pernah terluka dapat menjadi sumber puisi, doa, dan keberanian baru.

Mustafa Ismail
Puisi: Meulaboh
Karya: Mustafa Ismail

Biodata Mustafa Ismail:
  • Mustafa Ismail lahir pada tanggal 25 Agustus 1971 di Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.