Analisis Puisi:
Puisi “Nina Bobok” karya Abrar Yusra merupakan salah satu karya sastra yang menyentuh sisi paling getir dari kemanusiaan. Melalui larik-larik yang keras, penuh ironi, dan sarat kritik sosial, penyair menghadirkan potret dunia yang kehilangan kasih, kehilangan harapan, dan kehilangan arah moral. Judulnya yang lembut—Nina Bobok, yang lazim diasosiasikan dengan lagu pengantar tidur—berbanding terbalik dengan isi puisinya yang kelam dan menyayat.
Tema
Puisi ini memiliki tema penderitaan manusia kecil di tengah kekerasan dan kemiskinan dunia modern. Abrar Yusra menyoroti nasib anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan keras—penuh konflik, pertengkaran, dan kekacauan sosial. Tema ini bukan sekadar potret sosial, tetapi juga sindiran tajam terhadap dunia yang kehilangan nurani.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang dipaksa tidur di tengah suasana penuh kekacauan—ledakan, kelaparan, pertengkaran, dan udara kotor. Sang penyair menghadirkan sosok ibu atau sosok pengasuh yang mencoba meninabobokkan anak di dunia yang tidak lagi aman dan penuh kasih. Kata “boboklah” yang diulang berkali-kali menggambarkan keputusasaan: bukan rayuan agar anak tenang, melainkan semacam doa getir agar ia bisa menerima kenyataan pahit hidup.
Puisi ini menjadi semacam monolog keibuan yang sarat luka—sebuah doa getir bagi generasi yang lahir di tengah kehancuran sosial dan moral.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kehilangan harapan terhadap kemanusiaan dan masa depan. Abrar Yusra seperti sedang menatap dunia pasca-perang atau dunia modern yang brutal—di mana anak-anak tumbuh tanpa kasih, tanpa cita-cita, dan tanpa jaminan masa depan.
Larik “Boboklah, sayang, tanpa impian / tanpa harapan” menegaskan nihilisme sosial yang lahir dari keputusasaan kolektif. Penyair seolah berkata bahwa dalam dunia yang busuk oleh kebohongan dan pengkhianatan, bahkan mimpi pun menjadi kemewahan.
Selain itu, makna tersirat lainnya ialah kritik terhadap sistem sosial dan politik yang gagal melindungi generasi muda. Kalimat “Kelahiranmu bukan kehendakmu dan kehendak siapapun / Dan kematianmu bukan kehendakmu” menggambarkan bahwa manusia hanyalah korban dari struktur sosial yang tidak berpihak pada kehidupan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah muram, sesak, dan tragis. Dari awal hingga akhir, pembaca diajak masuk ke dunia yang penuh kebisingan—ledakan petasan, letusan pertempuran, perkelahian di dalam dan di luar rumah. Tidak ada ruang bagi ketenangan, tidak ada kehangatan kasih.
Kata-kata seperti “udara pepak ruang sempit bau comberan” menambah suasana pengap dan kotor, menggambarkan kondisi sosial yang tidak manusiawi. Semuanya menegaskan betapa kerasnya realitas yang dihadapi si anak, dan betapa rapuhnya harapan dalam dunia seperti itu.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang disampaikan puisi ini sangat kuat dan menggigit. Abrar Yusra mengingatkan pembaca tentang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan dan pentingnya kesadaran moral terhadap penderitaan generasi penerus.
Ia seperti ingin berkata bahwa dunia yang tidak memberi ruang bagi kasih dan kepastian akan melahirkan generasi yang kehilangan arah hidup. Melalui seruan “boboklah” yang terus diulang, penyair sebenarnya sedang memukul kesadaran kolektif kita: bagaimana mungkin seorang anak bisa “tidur” atau merasa aman dalam dunia yang penuh kekerasan dan kemiskinan?
Selain itu, puisi ini juga memberi amanat agar manusia tidak menutup mata terhadap penderitaan sosial. Larik terakhir—“Semoga kalak engkau tahu asal usul dan hakikat hidup matimu”—mengandung nada harapan: bahwa pada akhirnya, kesadaran akan hakikat hidup dan mati akan menuntun manusia menuju kemanusiaannya kembali.
Imaji
Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual dan auditif. Pembaca dapat “melihat” dan “mendengar” dunia yang dilukiskan penyair. Contohnya:
- “Di tengah ledakan-ledakan petasan” → imaji auditif, menggambarkan suasana bising dan kacau.
- “Udara pepak ruang sempit bau comberan ini” → imaji visual dan penciuman, menghadirkan suasana sesak, kotor, dan kumuh.
- “Perut lapar, bibir dahaga” → imaji perasaan dan fisik, menegaskan penderitaan jasmani anak kecil.
Imaji-imaji ini menimbulkan kesan realistik yang kuat, seolah penyair sedang menuntun pembaca menyaksikan langsung potret sosial yang getir.
Majas
Abrar Yusra menggunakan majas repetisi secara dominan dalam puisi ini. Kata “boboklah” yang diulang berkali-kali menciptakan irama seperti nyanyian pengantar tidur yang justru penuh ironi dan kegetiran. Repetisi ini sekaligus menjadi simbol dari ketidakberdayaan dan kepasrahan dalam menghadapi realitas.
Selain itu, terdapat juga majas ironi, karena judul “Nina Bobok” yang biasanya identik dengan kedamaian justru berisi gambaran dunia penuh kekacauan. Ada juga majas metafora, misalnya “dunia yang penuh ketakutan dan pengkhianatan”, yang menyimbolkan tatanan sosial yang rusak dan tidak lagi manusiawi.
Puisi “Nina Bobok” karya Abrar Yusra adalah potret getir tentang kehidupan manusia di tengah kekerasan, kemiskinan, dan ketidakpastian. Dengan tema penderitaan anak dalam dunia yang kehilangan kasih, puisi ini mengungkapkan makna tersirat tentang krisis kemanusiaan yang mendalam.
Imaji yang kuat, majas repetisi yang menggugah, serta suasana yang kelam menjadikan puisi ini bukan sekadar kritik sosial, melainkan juga renungan eksistensial tentang hidup dan mati.
Amanatnya jelas: selama dunia ini masih diwarnai pertikaian, ketimpangan, dan kebohongan, maka tidak akan ada “nina bobok” yang benar-benar menenangkan—tidak bagi anak-anak, tidak pula bagi manusia yang telah dewasa.
Puisi: Nina Bobok
Karya: Abrar Yusra
Biodata Abrar Yusra:
- Abrar Yusra lahir pada tanggal 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Agam, Sumatra Barat.
- Abrar Yusra meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat (pada umur 72 tahun).