Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Orang Kufur (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “Orang Kufur” karya Slamet Sukirnanto adalah cermin keras bagi manusia modern yang terperangkap dalam keserakahan dan kehilangan arah spiritual.
Orang Kufur

Menyimak gejala zaman
Yang bergerak-gerak bagai dedaunan
Orang kufur! Ada yang minta surga
Karena ia merasa mandi cahaya
Melimpah berkah di pangkuan. Katanya
Seonggok batu nasib! Siapa harus bertanya
Yang engkau tawarkan hanya benda-benda
Katamu: Aku punya semua
Juga sia-sia
Berhala petaka. Mahkota bencana
Setumpuk kartu kredit dan nama-nama
Identitas zaman kita
(Senandung perahu
Mencari pantainya)
Tapi di mana suara-suara
Digalinya harta, digalinya udara
Rongsokan ketidakpastian menyala
Orang kufur! Ada yang minta surga

Jakarta, 1990

Sumber: Gergaji (2001)

Analisis Puisi:

Puisi “Orang Kufur” karya Slamet Sukirnanto adalah potret tajam terhadap manusia modern yang kehilangan kesadaran spiritual di tengah hiruk-pikuk zaman materialistis. Dengan bahasa metaforis dan nada satir, penyair menegur manusia yang mengaku beriman tetapi sesungguhnya menuhankan benda-benda duniawi. Karya ini bukan hanya kritik sosial, melainkan juga renungan religius tentang nilai hidup, keserakahan, dan kekosongan batin.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kemunafikan dan kekufuran manusia modern yang terjerat materialisme. Slamet Sukirnanto mengangkat persoalan spiritualitas di tengah arus zaman yang mengagungkan kekayaan dan status sosial. Ia menggambarkan bagaimana manusia merasa “bercahaya” dan “berkah” hanya karena memiliki harta, padahal secara batin sesungguhnya gelap dan kering.

Puisi ini juga mengandung tema krisis nilai dan kehilangan arah moral, di mana manusia lebih percaya pada kekuatan benda ketimbang pada Tuhan. Nilai-nilai spiritual menjadi kabur, digantikan oleh kehausan terhadap identitas sosial, simbol kemewahan, dan kepemilikan yang semu.

Puisi ini bercerita tentang manusia yang kufur terhadap nikmat dan kehilangan kesadaran spiritualnya. Penyair menyaksikan “gejala zaman” yang penuh kegelisahan: manusia bergerak seperti “dedaunan”—ringan, tak berakar, mudah diterpa angin perubahan.

Dalam larik “Orang kufur! Ada yang minta surga / karena ia merasa mandi cahaya”, penyair menggambarkan seseorang yang mengaku beriman, bahkan menuntut surga, tetapi hidupnya justru penuh kesombongan. Ia merasa “mandi cahaya”—yakni merasa suci dan terberkati—padahal semua itu hanya ilusi dari kemegahan duniawi.

Lalu muncul kritik yang lebih tajam:

“Yang engkau tawarkan hanya benda-benda / Katamu: Aku punya semua / Juga sia-sia.”

Manusia modern merasa memiliki segalanya—uang, jabatan, popularitas—tetapi akhirnya semua terasa kosong.

Baris “Berhala petaka. Mahkota bencana / Setumpuk kartu kredit dan nama-nama / Identitas zaman kita” menampilkan potret nyata dunia kontemporer yang menuhankan harta dan status. “Kartu kredit” di sini menjadi simbol ketergantungan manusia pada sistem ekonomi yang semu; “nama-nama” melambangkan ego, citra diri, dan kesombongan sosial.

Penyair menutupnya dengan ironi:

“Orang kufur! Ada yang minta surga.”

Kalimat yang diulang itu mempertegas sikap sinis penyair terhadap orang-orang yang mengaku beriman, namun sesungguhnya tenggelam dalam kekufuran moral dan spiritual.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kemerosotan nilai spiritual manusia modern. Slamet Sukirnanto tidak hanya berbicara tentang “orang kufur” dalam arti agama, tetapi juga dalam arti universal—yakni manusia yang ingkar terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kejujuran.

Larik-larik seperti “Yang engkau tawarkan hanya benda-benda” dan “Berhala petaka. Mahkota bencana” menyiratkan bahwa manusia masa kini telah menukar makna hidup dengan benda-benda mati. “Berhala” tidak lagi berupa patung, melainkan segala hal yang membuat manusia lupa pada kebenaran—uang, kekuasaan, atau popularitas.

Puisi ini juga mengandung makna eksistensial, bahwa manusia yang mengejar harta tanpa kesadaran spiritual sejatinya hidup dalam “ketidakpastian menyala.” Ia memiliki segalanya, tetapi batinnya kosong. Dalam konteks itu, “Orang kufur” adalah cermin bagi setiap manusia yang lupa bersyukur dan kehilangan arah moral di tengah kemajuan zaman.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini tegas, getir, dan penuh sindiran. Nada penyair terdengar seperti seorang pengamat yang kecewa, tetapi juga prihatin terhadap kondisi moral masyarakat. Kata-kata seperti “Orang kufur!”, “Berhala petaka”, “Mahkota bencana”, dan “Rongsokan ketidakpastian” menimbulkan suasana gelap dan penuh kritik.

Di sisi lain, ada nada reflektif—penyair tidak hanya mencela, tetapi juga mengajak pembaca merenung. Ia memperlihatkan bahwa di balik semua gemerlap modernitas, ada kehampaan yang menunggu untuk disadari.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah peringatan agar manusia tidak terjebak dalam kesombongan dan kekufuran modern. Slamet Sukirnanto mengingatkan bahwa kekayaan, jabatan, atau teknologi bukanlah jaminan keselamatan spiritual. Orang yang merasa “punya semua” justru bisa menjadi orang paling kosong di dunia.

Pesan moral yang kuat juga muncul dalam ironi: “Orang kufur! Ada yang minta surga.” Penyair menyindir manusia yang menuntut surga, tetapi lupa berbuat baik; yang berbicara tentang cahaya, tetapi hidup dalam gelap keserakahan.

Melalui puisi ini, pembaca diajak merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, keimanan, dan kesederhanaan sebagai jalan untuk menghindari bencana moral zaman modern.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan simbolik:
  • “Yang bergerak-gerak bagai dedaunan” menciptakan imaji visual tentang manusia yang terombang-ambing tanpa arah.
  • “Berhala petaka. Mahkota bencana” memunculkan imaji simbolik tentang kekuasaan dan kemewahan yang justru membawa kehancuran.
  • “Setumpuk kartu kredit dan nama-nama” memberikan imaji konkret dunia modern: benda-benda keseharian yang menjadi simbol perbudakan ekonomi dan identitas semu.
  • “Rongsokan ketidakpastian menyala” merupakan imaji paradoksal—menyala tapi rongsokan—menggambarkan zaman yang tampak hidup, padahal rapuh secara moral.
Kekuatan imaji dalam puisi ini membantu pembaca merasakan kritik sosial dan spiritual yang ingin disampaikan penyair dengan cara yang tidak menggurui, tetapi menyentuh.

Majas

Slamet Sukirnanto menggunakan beragam majas yang memperkuat daya kritik puisinya:
  • Metafora: “Berhala petaka” dan “Mahkota bencana” adalah metafora bagi kekuasaan dan keserakahan yang disembah manusia.
  • Simile (perbandingan langsung): “Yang bergerak-gerak bagai dedaunan” menggambarkan manusia yang tak stabil dan kehilangan arah.
  • Personifikasi: “Rongsokan ketidakpastian menyala” memberikan sifat hidup pada benda mati untuk menegaskan absurditas zaman modern.
  • Repetisi: Pengulangan seruan “Orang kufur!” berfungsi sebagai penegasan sekaligus sindiran keras terhadap manusia yang ingkar.
  • Ironi: Larik “Ada yang minta surga” merupakan bentuk ironi—orang yang hidup dalam kekufuran justru menuntut balasan surgawi.
Semua majas tersebut berpadu menciptakan puisi yang tajam, simbolik, dan menggugah kesadaran moral.

Puisi “Orang Kufur” karya Slamet Sukirnanto adalah cermin keras bagi manusia modern yang terperangkap dalam keserakahan dan kehilangan arah spiritual. Dengan tema tentang kekufuran zaman, makna tersirat yang religius sekaligus sosial, serta penggunaan imaji dan majas yang kuat, puisi ini menghadirkan peringatan moral yang relevan hingga kini.

Lewat larik-lariknya, penyair seakan berkata bahwa manusia boleh maju dan makmur, tetapi jangan sampai kehilangan jiwa. Karena pada akhirnya, semua benda dan nama hanya akan menjadi “rongsokan ketidakpastian,” sementara yang abadi hanyalah kesadaran dan kejujuran hati.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Orang Kufur
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.