Orang-Orang Baru dari Subang
De-i-de-i kini tinggal cerita
tentang wanita yang jadi janda
tentang tani jadi penghuni
dunia yang tanpa-rumah-dan-nasi —
betapa sulit punya hati
betapa sakit tak punya hati.
De-i lama masuk sejarah
neo-dei-i buka sejarah.
De-i-de-i kini naik impala
bikin cerita sejuta tangis dan tanya
mengapa gadis layu menunggu
mengapa patriot dilarang maju
mengapa tani jadi penghuni
rumah yang tanpa-nasi.
Neo-de-i masih keliaran
dan di Subang patriot kiprah berlawanan
daripada hilang hati
lebih baik hilang jasmani.
28 Januari 1964
Analisis Puisi:
Puisi “Orang-Orang Baru dari Subang” karya Adi Sidharta merupakan karya yang sarat dengan kritik sosial dan politik. Dengan gaya yang lugas namun puitis, penyair mengangkat kisah tentang penderitaan rakyat kecil, perubahan zaman yang memarjinalkan kaum tani, serta kemunafikan kekuasaan yang bersembunyi di balik jargon pembangunan. Puisi ini memadukan kesadaran sejarah dengan semangat perlawanan rakyat, menjadikannya sebagai salah satu puisi protes sosial yang kuat dalam sastra Indonesia modern.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan perubahan zaman yang menyingkirkan rakyat kecil.
Adi Sidharta menyoroti bagaimana perubahan sosial dan ekonomi—yang seolah menjanjikan kemajuan—justru membawa penderitaan baru bagi kaum tani dan masyarakat desa.
Di satu sisi, ada “orang-orang baru” yang menikmati kemewahan (“naik impala”), namun di sisi lain, masih banyak yang hidup tanpa rumah dan tanpa nasi. Puisi ini juga menyinggung hilangnya nilai kemanusiaan dan nurani di tengah arus sejarah yang dikuasai oleh “neo-de-i-i”, simbol kekuasaan baru yang menindas.
Puisi ini bercerita tentang pergantian zaman dan nasib rakyat kecil—khususnya kaum tani—di daerah Subang, yang menjadi korban dari perubahan sosial dan politik.
Di bait pertama, penyair menyebut “De-i-de-i kini tinggal cerita”, yang bisa dibaca sebagai metafora dari masa lalu yang telah hilang: mungkin sebuah era perjuangan, atau semangat lama yang kini lenyap.
“De-i” dan “neo-de-i-i” dalam puisi ini seolah mewakili dua fase sejarah:
- “De-i” melambangkan masa lalu yang idealis, masa perjuangan rakyat yang jujur dan penuh pengorbanan.
- “Neo-de-i-i” menggambarkan masa kini—era baru—yang korup, penuh tipu daya, dan telah kehilangan nurani.
Puisi ini menampilkan kontras antara rakyat yang semakin miskin (“tani jadi penghuni dunia yang tanpa-rumah-dan-nasi”) dan penguasa baru yang menikmati kekuasaan (“De-i-de-i kini naik impala”).
Kata “impala” (mobil mewah buatan Amerika) menjadi simbol kemakmuran palsu dan kemewahan hasil dari eksploitasi rakyat.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat politis dan kritis. Adi Sidharta sedang menyindir kemunafikan para penguasa yang mengklaim sebagai pejuang rakyat, namun setelah berkuasa justru menindas rakyat yang sama.
Baris “betapa sulit punya hati / betapa sakit tak punya hati” memperlihatkan ironi moral—bahwa memiliki hati nurani di dunia yang kejam adalah penderitaan, tetapi kehilangan hati juga membuat manusia tidak lagi manusiawi.
Puisi ini juga menyiratkan kekecewaan terhadap idealisme yang dikhianati. Orang-orang yang dulu berjuang bersama rakyat kini menjadi “orang-orang baru” yang kaya dan berkuasa, tetapi melupakan penderitaan yang dulu mereka alami.
Bait akhir “daripada hilang hati / lebih baik hilang jasmani” menjadi pernyataan paling tegas tentang integritas moral. Ini adalah seruan agar manusia lebih baik mati daripada hidup tanpa nurani. Kalimat itu seperti sumpah, seperti perlawanan batin terhadap segala bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini didominasi oleh nada getir, marah, dan penuh kekecewaan.
Pembaca dapat merasakan kesedihan mendalam terhadap nasib rakyat kecil yang terpinggirkan. Namun di balik nada muram itu, juga terselip semangat perlawanan, semacam api kecil yang masih menyala dalam diri rakyat tertindas.
Kata-kata seperti “sejuta tangis dan tanya” menciptakan suasana luka dan ketidakpastian, sementara baris penutup memberikan nada heroik dan tegas, seolah penyair sedang berpidato bagi rakyat yang tertindas.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang disampaikan puisi ini sangat jelas:
- Jangan melupakan rakyat yang telah berjuang membangun negeri.
- Kekuasaan tanpa hati nurani hanya akan melahirkan penderitaan.
- Nilai kemanusiaan harus dijaga, bahkan jika harus berhadapan dengan kematian.
Kalimat “daripada hilang hati / lebih baik hilang jasmani” menegaskan pentingnya mempertahankan moralitas di tengah perubahan zaman. Adi Sidharta ingin mengingatkan pembaca bahwa kemajuan yang sejati tidak diukur dari mobil mewah atau jabatan, tetapi dari keberpihakan pada rakyat dan kejujuran hati.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji sosial dan visual yang kuat. Beberapa di antaranya:
- “wanita yang jadi janda” → menggambarkan korban dari kekerasan atau perubahan sosial yang meninggalkan luka keluarga.
- “tani jadi penghuni dunia yang tanpa-rumah-dan-nasi” → citra kelaparan dan kemiskinan yang nyata.
- “De-i-de-i kini naik impala” → imaji kontras antara kemewahan dan penderitaan rakyat.
- “sejuta tangis dan tanya” → imaji emosional yang menggambarkan penderitaan massal.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan realistis dan menggugah rasa empati pembaca terhadap ketimpangan sosial yang terjadi.
Majas
Adi Sidharta menggunakan berbagai majas untuk memperdalam makna puisinya, di antaranya:
Metafora
- De-i-de-i” dan “neo-de-i-i” merupakan metafora bagi generasi atau sistem kekuasaan lama dan baru.
- “naik impala” sebagai metafora kemewahan dan korupsi moral.
Repetisi
- Pengulangan kata “De-i-de-i” dan “mengapa” memperkuat nada retoris dan dramatik dalam puisi, menandakan keresahan dan protes.
Ironi
- Ironi muncul ketika tokoh yang dulu berjuang untuk rakyat kini menikmati kekuasaan dan lupa pada penderitaan rakyat itu sendiri.
Personifikasi
- Frasa seperti “patriot dilarang maju” menggambarkan semangat perjuangan yang dihalangi oleh sistem yang tidak adil, seolah perjuangan itu sendiri adalah makhluk yang ditindas.
Puisi “Orang-Orang Baru dari Subang” karya Adi Sidharta merupakan karya yang menggambarkan ironi sosial dan politik pasca perjuangan rakyat.
Penyair mengajak pembaca merenungkan bagaimana perubahan zaman sering kali membawa wajah baru yang lebih menindas daripada yang lama. “Orang-orang baru” menjadi simbol dari elite penguasa yang lupa asal-usulnya, sementara rakyat tetap hidup dalam kemiskinan dan keterasingan.
Dengan gaya bahasa yang tajam dan simbolis, Adi Sidharta tidak hanya menulis keluhan, tetapi juga membangun perlawanan moral.
Baris pamungkasnya — “daripada hilang hati / lebih baik hilang jasmani” — menjadi seruan universal bahwa kejujuran dan kemanusiaan harus tetap dijaga, sekalipun dunia berubah menjadi tempat yang kejam dan penuh tipu daya.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
