Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Panembrama Yogyakarta (Karya Ragil Suwarna Pragolapati)

Puisi “Panembrama Yogyakarta” karya Ragil Suwarna Pragolapati menyajikan potret kota Yogyakarta yang kaya, kompleks, dan kontradiktif.
Panembrama Yogyakarta

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, impian dan legenda
Wajahku 1.000 dimensi. Tubuhku tradisi jiwaku Kejawen
Kucampur 1.000 unsur, jadi 1.000.000 sinkresi harmoni
Kuhimpun 1.000.000 soal jadi kohesi atau kontroversi
Watakku tulen: sopan tapi kikir, ramah tapi mencekik

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, kota sejuk purbakala
Kumanja-manja bisnis industri, nafkahku bergengsi modern
Tradisi dan seni kugeser, agama dan ilmu kuatur minggir
Maliabara? Dulu kraton seniman, kini kraton kelontong
Kraton? Dulu sakti anggun, kini pasar kaum pelancong

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, barometer konsepsi
Seniman-ilmuwan-agamawan bertahan, hidup sabar prihatin
Kuuji 1.00 teori, ada 1.000 seminar kujual jadi proyek
Barometer seni-budaya, ilmu dan kampusku kharisma elok
Kubu kompetisi, pasar 1.000 nilai hidup, sepi tapi mahal

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, kubu 1.000 kreator
Kau tumbuh di jagad seni-budaya-ilmu-agama dan tersohor
Jangan minta nafkah padaku, kau mustahil kaya atau cukup
Kaplingku kumuh, kompetisiku gemuruh, populasiku berjibun
Padahal sudah watakku: tidak memberi, tapi banyak menuntut

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, koloni Indonesia mini
Orang segala suku-agama-tradisi datang, tiap tahun antri
Uang dan gengsi bertarung, aku memberi suaka atau senyum
Baru bermukim semusim, kau frustrasi, cepat angkat kaki
Baru bercerai semusim, kau kangen, aku pun jadi legendaris

Minggiran, 1988-1989

Sumber: Salam Penyair (2002)

Analisis Puisi:

Puisi “Panembrama Yogyakarta” karya Ragil Suwarna Pragolapati adalah karya yang memadukan deskripsi kota Yogyakarta dengan refleksi sosial, budaya, dan ekonomi. Puisi ini memanfaatkan pengulangan sapaan “Selamat datang, Saudara!” untuk menghadirkan kesan dialogis sekaligus sebagai pengantar kepada pembaca agar memahami kompleksitas kota Yogyakarta.

Tema

Tema utama puisi ini adalah identitas dan kontradiksi Yogyakarta sebagai kota budaya, pendidikan, dan wisata. Puisi menyoroti perpaduan tradisi dan modernitas, keramahtamahan dan kompetisi, kesederhanaan dan gengsi, yang mencerminkan wajah kota yang dinamis dan berlapis. Selain itu, puisi juga mengangkat tema ketegangan antara nilai sosial dan nilai ekonomi, antara sejarah dan perkembangan modern, serta antara harapan pendatang dengan kenyataan kota.

Puisi ini bercerita tentang karakteristik Yogyakarta dari perspektif kota itu sendiri, seolah kota sedang berbicara kepada pembaca atau pendatang. Beberapa poin penting dari cerita puisi:
  • Bagian awal menekankan identitas multidemensional Yogyakarta, dengan unsur tradisi Kejawen, seni, budaya, dan berbagai kontradiksi: “Watakku tulen: sopan tapi kikir, ramah tapi mencekik.”
  • Bagian tengah menggambarkan perubahan sosial dan ekonomi kota, seperti transformasi Malioboro dan kraton dari pusat seni dan budaya menjadi ruang komersial dan pariwisata: “Dulu kraton seniman, kini kraton kelontong.”
  • Bagian akhir menyoroti dinamika masyarakat dan pendatang, yang datang dari berbagai suku, agama, dan latar belakang, serta interaksi mereka dengan kota: Yogyakarta memberi peluang namun juga menuntut kesabaran dan kemampuan beradaptasi.
Secara keseluruhan, puisi ini menghadirkan kota Yogyakarta sebagai organisme hidup yang kompleks, kontradiktif, dan penuh warna, baik secara fisik, sosial, maupun budaya.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini menyampaikan beberapa makna:
  • Kehidupan kota bersifat paradoksal—ramah tapi menuntut, sejuk tapi kompetitif, tradisional tapi modern.
  • Yogyakarta sebagai cermin budaya dan sosial Indonesia—menjadi tempat pertemuan berbagai unsur yang berbeda namun saling berinteraksi.
  • Ketidakmampuan kota untuk memuaskan semua pihak secara mutlak, baik penduduk maupun pendatang, mencerminkan realitas kehidupan urban yang kompleks.
  • Makna tersirat ini mengajak pembaca memahami bahwa kota, seperti Yogyakarta, memiliki identitas yang dinamis dan multifaset, serta nilai dan konflik yang harus diterima dengan kesadaran.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini dinamis, reflektif, dan kritis, dengan nuansa yang berpindah antara kekaguman, sindiran, dan pengamatan sosial. Sapaan berulang “Selamat datang, Saudara!” menciptakan kesan ramah namun sekaligus menantang, seolah kota menyambut sekaligus menguji pendatang atau pembaca untuk memahami kompleksitasnya.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji visual, sosial, dan simbolik:
  • “Wajahku 1.000 dimensi” → imaji kompleksitas kota.
  • “Dulu kraton seniman, kini kraton kelontong” → imaji transformasi sosial dan ekonomi.
  • “Orang segala suku-agama-tradisi datang, tiap tahun antri” → imaji keramaian, keragaman, dan dinamika sosial.
Imaji-imaji ini memperkuat karakter kota sebagai entitas hidup dan simbol budaya yang terus berubah.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: kota Yogyakarta berbicara dan memiliki watak.
  • Hiperbola: penggambaran angka “1.000” dan “1.000.000” untuk menekankan kompleksitas dan pluralitas.
  • Kontradiksi / paradoks: “sopan tapi kikir, ramah tapi mencekik” menekankan sifat kota yang kontradiktif.
Majas-majas ini memperkuat kekuatan ekspresif puisi dan membantu pembaca merasakan karakter kota dengan lebih hidup.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa diambil dari puisi ini adalah pentingnya memahami kompleksitas kota dan menyesuaikan diri dengan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yang ada. Yogyakarta digambarkan sebagai kota yang memberi peluang namun juga menuntut ketekunan dan kesabaran. Selain itu, puisi ini mengingatkan pembaca bahwa keindahan tradisi dan budaya harus diimbangi dengan realitas modern dan pragmatis, serta bahwa identitas kota bersifat dinamis dan tidak statis.

Puisi “Panembrama Yogyakarta” karya Ragil Suwarna Pragolapati menyajikan potret kota Yogyakarta yang kaya, kompleks, dan kontradiktif. Dengan penggunaan bahasa yang kuat, majas yang ekspresif, dan pengulangan sapaan yang dramatis, puisi ini berhasil menghadirkan karakter kota sebagai entitas hidup yang multidemensi, menggabungkan tradisi, modernitas, seni, ilmu, dan dinamika sosial dalam satu harmoni yang unik namun penuh paradoks.

Ragil Suwarna Pragolapati
Puisi: Panembrama Yogyakarta
Karya: Ragil Suwarna Pragolapati

Biodata Ragil Suwarna Pragolapati:
  • Ragil Suwarna Pragolapati lahir di Pati, pada tanggal 22 Januari 1948.
  • Ragil Suwarna Pragolapati dinyatakan menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
  • Ragil Suwarna Pragolapati menghilang saat pergi bersemadi ke Gunung Semar. Dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Semar menuju Gua Langse (beliau berjalan di belakang murid-muridnya) tiba-tiba menghilang. Awalnya murid-muridnya menganggap hal tersebut sebagai kejadian biasa karena orang sakti lumrah bisa menghilang. Namun, setelah tiga hari tiga malam tidak kunjung pulang dan dicari ke mana-mana tidak diketemukan. Tidak jelas keberadaannya sampai sekarang, apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
  • Dikutip dari Leksikon Susastra Indonesia (2000), pada masa awal Orde Baru, Ragil Suwarna Pragolapati pernah ditahan tanpa proses pengadilan karena melakukan demonstrasi.
  • Ragil Suwarna Pragolapati sering terlibat dalam aksi protes. Berikut beberapa aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Protes breidel pers 1977-1978.
© Sepenuhnya. All rights reserved.