Patung Jalanan
Terik kehidupan memeluk seorang gadis yang sedang berjalan
Bukan sekadar pelukan, panas kenikmatan.
Koran, Koran
Teriaknya sendu, mengais, menangis, di balik senyuman.
Koran, Koran, Saya perlu makan
Lambat laun nadanya meninggi, tanda cacing tak bisa diajak
bertoleransi.
Mereka di sekitar masih dengan wajah yang sama, ekspresi acuh
tak acuh.
Telinganya tersumpal kesibukan, dungu.
Koran, Koran, Saya sudah tak tahan
Ucapnya pada suatu sore menjemput malam
Waktu bermain hilang demi uang jajan.
: Pulang Nak, hidupmu terlalu berharga bagi patung-patung
jalanan.
Semarang, April 2018
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Patung Jalanan” mengangkat tema kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kehilangan nurani di tengah kehidupan kota. Hidar Amaruddin menyoroti realitas getir anak-anak jalanan yang terpaksa bekerja keras demi bertahan hidup, sementara orang-orang di sekitarnya memilih untuk acuh, dingin, dan sibuk dengan urusan masing-masing. Tema ini menggugah empati sekaligus menyindir keras masyarakat modern yang kehilangan rasa kemanusiaan.
Puisi ini bercerita tentang seorang gadis kecil penjual koran yang berjuang di tengah panas terik dan hiruk-pikuk kehidupan jalanan. Ia menjerit menawarkan dagangan—“Koran, Koran”—dengan suara yang semakin lama semakin serak dan putus asa. Namun, teriakan itu tidak lagi didengar; orang-orang di sekitarnya tetap berlalu dengan wajah “acuh tak acuh”, seolah menjadi patung yang mati rasa. Kehidupan keras membuat sang gadis kehilangan masa kecilnya—“Waktu bermain hilang demi uang jajan”.
Pada akhir puisi, muncul suara yang penuh iba: “Pulang Nak, hidupmu terlalu berharga bagi patung-patung jalanan.” Kalimat ini terasa seperti seruan seorang ibu, atau bahkan suara hati nurani penyair, yang menyesali kenyataan bahwa anak sekecil itu harus hidup dalam dunia yang keras dan tak berperasaan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik sosial terhadap sikap apatis masyarakat perkotaan yang membiarkan penderitaan di sekitarnya tanpa empati. Hidar Amaruddin menyinggung bahwa di tengah modernitas dan kesibukan, manusia telah berubah menjadi “patung jalanan” — makhluk yang bergerak, namun kehilangan jiwa kemanusiaannya.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan jeritan kemanusiaan dan kehilangan masa kanak-kanak. Anak yang seharusnya bermain dan belajar, justru dipaksa menghadapi kerasnya hidup untuk bertahan. Dengan cara halus dan puitik, penyair mengingatkan bahwa pembangunan dan kemajuan tidak ada artinya jika manusia di dalamnya kehilangan rasa iba dan solidaritas.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun dalam puisi ini suram, getir, dan menyayat hati. Pembaca dapat merasakan panasnya jalanan, suara serak anak yang berteriak “Koran, Koran,” dan keheningan batin yang tercipta dari sikap dingin para pejalan kaki. Di balik kesedihan itu, juga muncul suasana iba dan keprihatinan mendalam, terutama ketika penyair mengajak pembaca untuk merenung lewat baris terakhir yang menyentuh:
: Pulang Nak, hidupmu terlalu berharga bagi patung-patung jalanan.
Kalimat ini memberi nuansa penyesalan, sekaligus sebuah doa agar anak-anak seperti itu bisa kembali menemukan kehangatan dan kasih yang layak mereka terima.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama puisi ini adalah ajakan untuk mengembalikan nurani kemanusiaan di tengah kerasnya kehidupan modern. Hidar Amaruddin ingin mengatakan bahwa kita tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan orang lain—terutama anak-anak yang terpaksa hidup di jalanan.
Puisi ini juga mengandung pesan moral tentang pentingnya empati, kepedulian sosial, dan keadilan. Kehidupan yang sejati bukan diukur dari kesibukan dan kemajuan, tetapi dari sejauh mana manusia masih mampu mendengar jeritan sesamanya.
Pesan tersirat lainnya adalah peringatan terhadap dehumanisasi, bahwa ketika manusia kehilangan empati, mereka sejatinya telah menjadi “patung”—hidup secara fisik, tetapi mati secara moral.
Imaji
Puisi ini kuat dalam menciptakan imaji sosial dan emosional yang hidup:
- “Terik kehidupan memeluk seorang gadis yang sedang berjalan” menghadirkan imaji panas dan kerasnya realitas hidup yang menindas.
- “Koran, Koran, saya perlu makan” menggambarkan suara desperation, kelaparan, dan perjuangan hidup.
- “Mereka di sekitar masih dengan wajah yang sama, ekspresi acuh tak acuh” menampilkan visual masyarakat yang beku dan dingin, seperti patung.
- “Pulang Nak, hidupmu terlalu berharga bagi patung-patung jalanan” membangun imaji kontras antara kepolosan anak dan kebekuan dunia dewasa.
Semua imaji ini memperkuat suasana duka dan kemarahan lembut yang menyelimuti puisi.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Majas personifikasi: “Terik kehidupan memeluk seorang gadis” — panas digambarkan seolah memiliki perasaan dan tindakan seperti manusia.
- Majas metafora: “Patung-patung jalanan” adalah metafora bagi manusia modern yang kehilangan empati dan kepekaan sosial.
- Majas repetisi: pengulangan kata “Koran, Koran” menegaskan penderitaan dan desperasi gadis kecil yang berusaha didengar.
- Majas hiperbola: “Cacing tak bisa diajak bertoleransi” merupakan cara hiperbolis untuk menggambarkan rasa lapar yang tak tertahankan.
- Majas ironi: terletak pada kontras antara “senyuman” dan “menangis” — anak itu tersenyum, tetapi sebenarnya sedang berduka dan kelaparan.
Bahasa puisi ini sederhana namun penuh kekuatan emosional, membuat pesannya mudah diterima tetapi tetap dalam dan menggugah.
Puisi “Patung Jalanan” karya Hidar Amaruddin adalah potret sosial yang tajam dan mengharukan tentang nasib anak-anak miskin di kota besar serta matinya empati manusia modern. Dengan tema kemiskinan dan kehilangan nurani, penyair menghadirkan kisah seorang gadis penjual koran yang berjuang hidup di tengah masyarakat yang acuh. Makna tersiratnya menggugat hati pembaca agar tidak menjadi “patung” yang hanya sibuk tetapi kehilangan kepedulian.
Melalui imaji kuat, suasana getir, dan majas penuh ironi, puisi ini menjadi cermin bagi kita semua: bahwa kemerdekaan sejati bukanlah hidup tanpa beban, melainkan hidup dengan hati yang peka terhadap penderitaan sesama.
Karya: Hidar Amaruddin
Biodata Hidar Amaruddin:
- Hidar Amaruddin lahir pada tanggal 16 Desember 1995 di Kudus.
