Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pelabuhan Singaraja (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “Pelabuhan Singaraja” karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang suasana di Pelabuhan Singaraja yang kini sunyi dan sepi dari aktivitas, ....
Pelabuhan Singaraja

Pelabuhan tanpa kapal
Hidupmu kini! hanya nelayan
Di tangannya menggenggam kail
Berjam-jam menunggu
Ikan-ikan yang tak balik
Dalam diammu
Engkau memanggil!

Dekat muara
Jembatan beton
        Setengah lingkaran
Di bawah ada sungai lebar
Air tak mengalir
Hidupmu kini! Menegakkan kepala
Dalam diammu
Engkau memanggil!

Langit biru dan laut pun biru
Cuaca panas pada siangnya
Yang terdampar; yang kandas juga
Semua nampak jelas di sana
Tampak jelas! Renda-renda gejala

Singaraja, 13 September 1982

Sumber: Horison (Oktober, 1984)

Analisis Puisi:

Puisi “Pelabuhan Singaraja” karya Slamet Sukirnanto mengusung tema tentang kehampaan dan perubahan kehidupan, yang dilambangkan melalui gambaran pelabuhan yang tak lagi ramai, tanpa kapal, tanpa kehidupan yang dulu bergairah.

Sang penyair menampilkan pelabuhan sebagai metafora dari kehidupan manusia yang kehilangan semangat dan arah, seperti lautan yang kehilangan arus atau nelayan yang menunggu hasil yang tak kunjung datang.

Tema ini juga dapat dibaca sebagai refleksi atas perubahan sosial dan eksistensial, di mana sesuatu yang dulu hidup kini menjadi sunyi, stagnan, dan penuh penantian. Pelabuhan Singaraja bukan sekadar lokasi geografis, melainkan simbol ruang batin yang kosong dan penuh kerinduan.

Puisi ini bercerita tentang suasana di Pelabuhan Singaraja yang kini sunyi dan sepi dari aktivitas, seolah waktu berhenti di tempat itu.

Dulu mungkin pelabuhan ini ramai oleh kapal, nelayan, dan kehidupan ekonomi; kini hanya tersisa nelayan yang menggenggam kail dan menunggu ikan yang tak kembali.

Baris pembuka “Pelabuhan tanpa kapal / Hidupmu kini! hanya nelayan” menandakan bahwa pelabuhan telah kehilangan denyut hidupnya.

Gambaran “air tak mengalir” dan “ikan-ikan yang tak balik” memperkuat citra kehidupan yang terhenti dan kehilangan makna.

Meski demikian, ada semacam kekuatan batin yang masih bertahan — tampak dari pengulangan baris “Dalam diammu / Engkau memanggil!”, seolah pelabuhan (atau manusia itu sendiri) masih berusaha memanggil kehidupan yang telah pergi.

Dengan demikian, puisi ini bercerita tentang tempat yang menjadi saksi perubahan waktu, kesunyian, dan kerinduan terhadap kehidupan yang pernah ada.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah refleksi tentang manusia yang kehilangan gairah hidup, namun tetap memiliki harapan dalam kesunyian.

Pelabuhan yang tanpa kapal bisa dimaknai sebagai sosok manusia yang telah kehilangan tujuan atau makna hidupnya, sementara laut yang biru dan panas menjadi simbol dari realitas yang terang namun hampa.

Beberapa makna tersirat lainnya:
  • “Nelayan yang menunggu ikan-ikan yang tak balik” menggambarkan manusia yang menunggu harapan atau keberuntungan yang tak kunjung datang.
  • “Air tak mengalir” melambangkan kehidupan yang stagnan, tanpa arah, tanpa perkembangan.
  • “Dalam diammu engkau memanggil” menunjukkan bahwa di balik kesunyian, masih ada doa, hasrat, dan keinginan untuk hidup kembali.
Dengan begitu, puisi ini dapat dimaknai sebagai renungan tentang keberadaan manusia di tengah keterhentian zaman — di mana kesunyian tidak selalu berarti mati, tetapi bisa juga tanda kerinduan akan kehidupan yang lebih bermakna.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa sepi, melankolis, dan kontemplatif. Kata-kata seperti “Pelabuhan tanpa kapal”, “air tak mengalir”, dan “ikan-ikan yang tak balik” menimbulkan kesan kehampaan yang menyedihkan. Namun, di balik kesepian itu, ada suasana harapan yang samar, ditandai dengan pengulangan “Dalam diammu / Engkau memanggil!”. Ungkapan itu menghadirkan konflik batin antara diam dan keinginan untuk hidup kembali.

Slamet Sukirnanto menciptakan suasana yang tidak hanya menggambarkan pelabuhan secara fisik, tetapi juga suasana batin manusia yang sepi, menunggu, namun tetap berpegang pada harapan.

Amanat atau Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah tentang keteguhan dan kesadaran akan perubahan hidup. Slamet Sukirnanto seolah ingin menyampaikan bahwa:
  • Kehidupan selalu berubah; sesuatu yang dulu ramai bisa menjadi sepi.
  • Dalam setiap kesunyian, manusia tetap perlu menjaga harapan dan memanggil kembali semangat hidupnya.
  • Kehampaan bukan akhir dari kehidupan, melainkan momen refleksi untuk menegakkan kepala kembali.
Baris “Hidupmu kini! Menegakkan kepala” adalah pesan yang kuat bahwa walau dunia tampak diam dan kehilangan makna, manusia tetap harus berdiri tegak dan tidak menyerah pada kehampaan.

Dengan demikian, puisi ini tidak hanya menggambarkan kehilangan, tetapi juga mengajarkan ketabahan dan kesadaran eksistensial: bahwa hidup, meski sunyi, tetap harus dijalani dengan kepala tegak.

Imaji

Slamet Sukirnanto menulis dengan imaji visual dan auditori yang kuat, sehingga pembaca seolah dapat melihat dan merasakan suasana pelabuhan itu secara langsung.
Beberapa imaji yang tampak menonjol:
  • Imaji visual (penglihatan): “Pelabuhan tanpa kapal”, “jembatan beton setengah lingkaran”, “air tak mengalir”, “langit biru dan laut pun biru”. → Membentuk citra nyata tentang tempat yang terbuka, statis, dan terang namun sepi.
  • Imaji gerak (kinestetik): “Nelayan menggenggam kail / Berjam-jam menunggu” → menggambarkan gerak sabar dan lambat, menandakan waktu yang terasa panjang dan kosong.
  • Imaji pendengaran (auditori): “Dalam diammu engkau memanggil!” → menimbulkan kesan suara yang tidak terdengar secara fisik, tetapi terasa di batin.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan bahwa pelabuhan bukan hanya tempat, melainkan cerminan jiwa manusia yang tengah diam namun penuh panggilan batin.

Majas

Puisi ini menggunakan majas simbolik dan repetisi untuk memperdalam makna. Beberapa majas yang menonjol antara lain:

Majas Metafora
  • “Pelabuhan tanpa kapal / Hidupmu kini!” → pelabuhan dijadikan simbol kehidupan manusia yang kehilangan arah atau harapan.
  • “Air tak mengalir” → menggambarkan hidup yang stagnan.
Majas Personifikasi
  • “Dalam diammu engkau memanggil!” → pelabuhan (atau mungkin sosok manusia) dipersonifikasikan seolah mampu “memanggil” dalam keheningan.
Majas Repetisi
  • Pengulangan baris “Dalam diammu / Engkau memanggil!” menciptakan efek emosional dan menegaskan kerinduan yang mendalam.
Majas Simbolik
  • “Langit biru dan laut pun biru” dapat ditafsirkan sebagai simbol keseimbangan antara harapan dan kenyataan, atau antara kesunyian dan ketenangan.
  • “Ikan-ikan yang tak balik” melambangkan sesuatu yang hilang dan tak bisa kembali — mungkin masa lalu, harapan, atau cita-cita.
Slamet Sukirnanto berhasil menggunakan majas secara halus dan penuh makna, tanpa kehilangan keindahan dan kedalaman reflektifnya.

Puisi “Pelabuhan Singaraja” karya Slamet Sukirnanto adalah potret kehidupan yang kehilangan denyut, namun masih menyimpan harapan di balik diam. Melalui simbol pelabuhan yang sunyi, penyair menggambarkan perjalanan batin manusia yang merindukan kehidupan, makna, dan arah. Tema tentang kehampaan dan ketabahan hidup muncul kuat lewat citra nelayan yang menunggu, air yang tak mengalir, dan langit yang biru tanpa gerak.

Namun di balik semua itu, penyair menyisipkan pesan spiritual dan eksistensial: bahwa manusia harus tetap menegakkan kepala dan memanggil kembali semangat hidup, meski dunia tampak diam. Dengan imaji yang visual, majas simbolik, dan suasana yang kontemplatif, puisi ini menjadi renungan tentang waktu, perubahan, dan kekuatan diam dalam menghadapi kesunyian hidup.

Slamet Sukirnanto, melalui puisi ini, seolah ingin mengatakan bahwa meski kehidupan kadang berhenti di pelabuhan yang sepi, jiwa manusia tidak boleh berhenti memanggil harapan untuk berlayar kembali.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Pelabuhan Singaraja
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.