Pelajaran Menggambar
Kertas putih siap untuk dilukis
Pensil warna siap untuk melukis
Tanganku gemetar bingung menggambar
Pemandangan ataukah kenangan.
Bayang-bayang keluarga menuntun tangan
Melukiskan rasa kasih sayang
Bayangan ibu semakin tajam
Menggendongku dan melantunkan nyanyian.
Pelajaran menggambar hampir usai
Kertasku masih saja putih tanpa gambar
Bu guru berkata untuk cepat menyelesaikan
Inilah lukisan keluargaku, putih tanpa kenangan.
Semarang, Mei 2018
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Pelajaran Menggambar” karya Hidar Amaruddin adalah potret sederhana namun menyayat tentang ingatan, kehilangan, dan kekosongan batin seorang anak terhadap keluarganya. Dengan gaya tutur yang jujur dan lugas, penyair berhasil menggambarkan betapa sebuah kegiatan sehari-hari di sekolah — pelajaran menggambar — dapat berubah menjadi momen refleksi emosional yang mendalam.
Di balik kata-kata yang tampak ringan, tersembunyi kesedihan halus dan sunyi tentang makna keluarga, kerinduan terhadap kasih sayang, serta trauma masa kecil yang terlukis bukan dengan warna, melainkan dengan keheningan dan ketiadaan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan kehilangan terhadap keluarga. Penyair menyoroti bagaimana seorang anak menghadapi pelajaran menggambar di sekolah, tetapi justru tidak mampu menggambar apa pun karena yang ingin ia lukis bukanlah pemandangan, melainkan kenangan — sesuatu yang sudah tiada.
Kertas putih menjadi simbol kekosongan dan kehilangan; sebuah metafora tentang ingatan yang telah pudar atau kasih sayang keluarga yang sudah hilang. Tema ini juga mencerminkan konflik batin seorang anak terhadap masa lalu dan perasaan sunyi akan kehilangan sosok ibu yang begitu berarti dalam hidupnya.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang mengikuti pelajaran menggambar di sekolah, namun tidak mampu menggambar apa pun karena teringat keluarganya, terutama ibunya.
Puisi ini dibuka dengan suasana kelas yang tenang dan rutin:
“Kertas putih siap untuk dilukis / Pensil warna siap untuk melukis”
Namun segera muncul kegelisahan:
“Tanganku gemetar bingung menggambar / Pemandangan ataukah kenangan.”
Baris ini menunjukkan bahwa si anak tidak hanya berhadapan dengan tugas menggambar, tetapi juga dengan pergulatan batin antara menggambar sesuatu yang nyata (pemandangan) atau sesuatu yang ia rindukan (kenangan).
Bayangan keluarganya kemudian muncul dalam ingatan:
“Bayang-bayang keluarga menuntun tangan / Melukiskan rasa kasih sayang / Bayangan ibu semakin tajam / Menggendongku dan melantunkan nyanyian.”
Imaji ini menggambarkan kenangan manis bersama keluarga, khususnya sang ibu yang penuh kasih. Namun justru karena kenangan itu terlalu dalam, sang anak tidak mampu menuangkannya ke atas kertas.
Puisi diakhiri dengan kalimat yang memilukan:
“Inilah lukisan keluargaku, putih tanpa kenangan.”
Akhir ini menunjukkan bahwa kertas putih itu menjadi simbol ketidakmampuan melukis kenangan yang telah sirna — entah karena kehilangan, kematian, atau jarak emosional.
Dengan demikian, puisi ini bercerita tentang anak yang merindukan kasih keluarga, tetapi hanya bisa menatap kekosongan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat menyentuh. Hidar Amaruddin ingin menyampaikan bahwa tidak semua kenangan bisa dilukiskan, dan tidak semua cinta bisa diungkapkan dengan warna atau gambar.
Kertas putih yang tetap kosong menggambarkan batin yang sunyi — sebuah ruang kosong yang dulu pernah diisi oleh keluarga dan kasih sayang, namun kini tinggal kenangan yang tak bisa lagi disentuh.
“Pelajaran menggambar” di sini bukan hanya kegiatan sekolah, melainkan metafora kehidupan: bahwa dalam hidup, kita sering diminta untuk menggambarkan kebahagiaan, sementara sebagian dari kita justru harus berhadapan dengan lembaran kosong karena kehilangan sesuatu yang paling berharga.
Puisi ini juga menyiratkan kerinduan terhadap figur ibu sebagai sumber kasih dan kehangatan. Bayangan ibu yang “menggendongku dan melantunkan nyanyian” memperlihatkan keintiman masa kecil yang kini hanya tinggal ingatan samar.
Selain itu, makna tersirat lain yang bisa ditarik adalah perbedaan antara dunia anak-anak dan kenyataan hidup. Sementara pelajaran di sekolah menuntut hasil konkret — gambar yang selesai — kehidupan batin sang anak justru diliputi oleh luka dan rindu yang tidak bisa diwujudkan dalam bentuk visual apa pun.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, tenang, dan penuh rasa kehilangan. Dari awal hingga akhir, puisi menciptakan nuansa kesunyian yang perlahan menekan perasaan pembaca.
Bayangan tangan yang gemetar, kenangan ibu yang datang dan menghilang, serta kertas putih yang tidak tersentuh menghadirkan suasana haru dan kontemplatif. Di balik kesederhanaan bahasanya, ada getar kesedihan yang halus, seolah penyair tidak ingin menangis, tetapi tidak mampu menahan rasa sepi yang dalam.
Kesunyian itu berpuncak pada akhir puisi — sebuah kalimat sederhana namun mengguncang:
“Inilah lukisan keluargaku, putih tanpa kenangan.”
Suasana yang ditimbulkan adalah hening dan pilu, menggambarkan duka yang diterima dengan pasrah.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa kenangan dan kasih sayang keluarga adalah hal yang tak tergantikan. Kehilangan keluarga, terutama sosok ibu, meninggalkan ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apa pun — bahkan oleh karya atau gambar sekalipun.
Penyair juga ingin menyampaikan bahwa tidak semua luka harus ditampilkan secara kasat mata, karena kadang, keheningan dan kertas putih pun sudah cukup mewakili kesedihan yang dalam.
Selain itu, puisi ini mengingatkan pembaca akan pentingnya menghargai kehadiran keluarga selagi masih ada. Kehangatan sederhana seperti pelukan ibu atau nyanyian masa kecil bisa menjadi kenangan yang sangat berarti, dan ketika itu hilang, barulah terasa betapa berharganya.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional yang kuat.
Imaji Visual:
- “Kertas putih siap untuk dilukis / Pensil warna siap untuk melukis” menggambarkan pemandangan ruang kelas dan suasana belajar yang nyata.
- “Bayangan ibu semakin tajam / Menggendongku dan melantunkan nyanyian” menimbulkan gambaran lembut seorang ibu yang penuh kasih.
- “Kertasku masih saja putih tanpa gambar” memperlihatkan kesunyian visual yang kuat: kertas kosong sebagai simbol kehilangan.
Imaji Emosional:
- “Tanganku gemetar bingung menggambar” menimbulkan perasaan gugup, sedih, dan bimbang; konflik batin antara ingin berkarya dan tidak sanggup karena rindu.
Melalui imaji yang sederhana namun efektif, Hidar Amaruddin menghadirkan lukisan emosional yang lebih hidup daripada gambar itu sendiri.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini memperkuat makna dan suasananya:
Metafora:
- “Pelajaran menggambar” menjadi metafora kehidupan dan kenangan.
- “Kertas putih” melambangkan kekosongan hati atau kehilangan masa lalu.
Personifikasi:
- “Bayang-bayang keluarga menuntun tangan” — seolah-olah kenangan hidup dan berperan aktif dalam proses menggambar.
Simbolisme:
- “Pensil warna” melambangkan harapan atau upaya untuk menghidupkan kembali kenangan yang telah hilang.
- “Putih tanpa kenangan” menjadi simbol dari batin yang kosong dan kehilangan arah karena rindu.
Majas-majas tersebut membuat puisi ini tidak hanya bermakna literal, tetapi juga penuh lapisan emosional dan simbolik.
Puisi “Pelajaran Menggambar” karya Hidar Amaruddin adalah potret kecil tentang rasa kehilangan yang besar. Dengan diksi sederhana dan suasana yang sunyi, penyair berhasil mengekspresikan kerinduan seorang anak terhadap keluarganya, terutama sang ibu, melalui simbol kertas putih yang tetap kosong.
Puisi ini menyentuh karena ia berbicara dengan kejujuran yang polos: tidak ada tangisan, tidak ada ratapan, hanya diam dan lembar kosong yang justru lebih menyayat daripada seribu kata.
Di balik keheningan itu, pembaca diajak untuk menyadari betapa pentingnya kasih keluarga, kenangan masa kecil, dan kehadiran orang-orang yang kita cintai. Sebab ketika semua itu telah pergi, yang tersisa hanyalah kertas putih — sepi, tanpa kenangan.
Karya: Hidar Amaruddin
Biodata Hidar Amaruddin:
- Hidar Amaruddin lahir pada tanggal 16 Desember 1995 di Kudus.
