Pelita Pancasila
Senja datang memancarkan warna jingga,
Indah merona di cakrawala senja,
Malam pun tiba, dengan cahaya bulan redup,
Menyelimuti bumi, hening di ruang gelap.
Dari lorong sunyi, terdengar ratapan,
Tangisan Anak Pertiwi penuh harapan,
Sang panglima meratap, luka mulai menganga,
Dalam perjuangan, jiwa tak pernah lelah.
Ia genggam perisainya, pelindung negeri,
Walau retak, tetap teguh berdiri,
Darah keadilan mengalir di balik baja,
Menyatu dalam semangat Pancasila yang mulia.
Satu: Ketuhanan yang Maha Esa,
Cahaya jiwa, memberi arah dan asa,
Dua: Kemanusiaan adil dan beradab,
Menjaga hati, jangan sampai terluka.
Tiga: Persatuan Indonesia, ikatan jiwa,
Menghapus perbedaan, membangun bangsa,
Empat: Kerakyatan yang dipimpin hikmat,
Suara rakyat, pelita dalam gelap.
Lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat,
Darahnya mengalir dalam setiap langkah,
Pancasila, lentera yang takkan padam,
Menuntun bangsa, teguh dan aman.
2025
Analisis Puisi:
Puisi kerap menjadi sarana untuk menyampaikan nilai, gagasan, serta semangat kebangsaan melalui bahasa yang indah. Salah satunya tampak dalam puisi "Pelita Pancasila" karya Geovaldus Rivaldo Jehali. Puisi ini tidak hanya menyuarakan kecintaan pada tanah air, tetapi juga menghadirkan Pancasila sebagai pelita, cahaya, dan kekuatan yang menuntun bangsa di tengah gelapnya tantangan zaman.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keabadian nilai Pancasila sebagai sumber kekuatan, persatuan, dan penuntun bangsa Indonesia. Pancasila digambarkan sebagai cahaya yang tidak pernah padam, meski bangsa menghadapi kesunyian, luka, maupun perpecahan.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan bangsa yang penuh perjuangan dan pengorbanan, tetapi tetap teguh berdiri berkat nilai Pancasila. Digambarkan suasana senja hingga malam sebagai simbol pergantian waktu, di mana bangsa menghadapi luka sejarah, ratapan, dan kesunyian. Namun, hadirnya Pancasila—dengan lima sila yang diuraikan satu per satu—menjadi cahaya penerang yang menjaga bangsa agar tidak terjerumus dalam kegelapan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah pesan nasionalisme dan refleksi kebangsaan. Pancasila bukan hanya ideologi tertulis, melainkan jiwa yang hidup dalam perjuangan bangsa. Di balik luka, penderitaan, dan pengorbanan, terdapat semangat persatuan, kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi yang harus terus dijaga. Selain itu, ada pesan bahwa generasi penerus wajib menyalakan kembali pelita Pancasila agar tetap menjadi pegangan hidup.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis sekaligus heroik. Melankolis hadir dalam gambaran senja, malam, ratapan, dan luka bangsa. Namun, suasana heroik muncul melalui semangat pantang menyerah seorang “panglima” yang digambarkan tetap menggenggam perisai meski retak. Pada akhirnya, suasana menjadi optimistis karena Pancasila dihadirkan sebagai cahaya yang akan menuntun bangsa.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah pentingnya menjaga, merawat, dan mengamalkan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Penyair ingin menyampaikan bahwa Pancasila harus menjadi pelita yang senantiasa menerangi langkah, baik dalam menghadapi persoalan sosial, politik, maupun budaya. Nilai lima sila tidak boleh hanya dihafal, tetapi dihidupi dalam kehidupan sehari-hari.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji, di antaranya:
- Imaji visual: “Senja datang memancarkan warna jingga, Indah merona di cakrawala senja” yang menghadirkan pemandangan sore nan indah.
- Imaji auditif: “Dari lorong sunyi, terdengar ratapan, Tangisan Anak Pertiwi penuh harapan” yang memberi kesan suara tangisan bangsa.
- Imaji kinestetik: “Ia genggam perisainya, pelindung negeri, Walau retak, tetap teguh berdiri” yang menampilkan gerakan seorang panglima dengan simbol keteguhan.
Imaji tersebut membuat puisi ini hidup dan mudah dirasakan pembaca.
Majas
Beberapa majas yang terdapat dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi – “Tangisan Anak Pertiwi penuh harapan” seolah-olah tanah air dapat menangis.
- Metafora – “Pancasila, lentera yang takkan padam” mengibaratkan Pancasila sebagai cahaya penuntun bangsa.
- Hiperbola – “Darah keadilan mengalir di balik baja” melebih-lebihkan semangat keadilan yang melekat pada perjuangan bangsa.
- Simbolik – Senja, malam, dan cahaya digunakan sebagai simbol perjalanan bangsa dari masa sulit menuju harapan.
Puisi "Pelita Pancasila" karya Geovaldus Rivaldo Jehali merupakan karya yang sarat dengan nilai kebangsaan. Melalui tema persatuan dan semangat perjuangan, penyair meneguhkan Pancasila sebagai cahaya yang tak pernah padam. Imaji yang kuat, suasana melankolis-heroik, serta penggunaan majas memperkaya makna puisi ini. Amanat yang disampaikan jelas: Pancasila adalah pelita bangsa, dan tugas generasi penerus adalah menjaga agar pelita itu tetap menyala dalam setiap langkah kehidupan.
Karya: Geovaldus Rivaldo Jehali
Biodata Geovaldus Rivaldo Jehali:
- Geovaldus Rivaldo Jehali adalah seorang relawan yang aktif di MBG Dapur Merdeka Kupang.