Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pembidas (Karya Ajamuddin Tifani)

Puisi “Pembidas” karya Ajamuddin Tifani menyoroti bagaimana manusia modern menggeser posisi Tuhan dari pusat kehidupan mereka, menggantinya dengan ...
Pembidas

di Madyan, Rass, Sodom
    (mereka kehilangan keesaanmu, tapi mereka mencarinya lagi sekarang,
    bahkan itulah yang membawa mereka kepada berhala-berhala baru)
kami begitu majemuk di hadapanmu, saudara kandung kami sekarang
adalah benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan
teknologi;  kami berguru kepada singa, mengimami nafsu kami

maaf, kedudukanmu kami geser ke tepi; sebab harta
lebih menarik, nyata dan asasi, kemajuan kami ukur dari materi
ke teknologi, benda dan harta adalah takaran manusia kami
    (perang memperanakkan perang, kelaparan dan kesombongan ras memberangus
    benua, gunung api dan banjir membarahkan derita
    mengusir kemanusian ke rimba tak bernama)

kami nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya
mengapa kami begitu serakah, agama kami lihat dari bursa
modal besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam
bahasa komputer, mesin dan angka-angka
    (seseorang, siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar
    dan orang-orang menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit
    orang-orang melemparinya dengan batu dan tinja; sekejap
    langit pun merah kesumba, menyalakan bara menjilatkan lidah
    api, telah dibasuh suatu kaum, telah...)

Analisis Puisi:

Puisi “Pembidas” karya Ajamuddin Tifani adalah karya sastra yang kompleks, penuh kritik sosial, religius, dan filosofis. Melalui bahasa yang padat dan simbolik, penyair menyuarakan kegelisahan tentang manusia modern yang kehilangan kesadaran spiritual, terjerat oleh materi, teknologi, dan keserakahan. Puisi ini menggabungkan refleksi sejarah, religiusitas, dan realitas sosial, sehingga menghadirkan karya yang provokatif dan menantang pembaca untuk merenungkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kekacauan moral dan spiritual manusia akibat keserakahan dan materialisme.

Ajamuddin Tifani menyoroti bagaimana manusia modern menggeser posisi Tuhan dari pusat kehidupan mereka, menggantinya dengan benda, uang, dan teknologi. Puisi ini juga menyentuh tema keagamaan, kemanusiaan, dan konsekuensi perang yang menimbulkan penderitaan.

Tema ini menekankan peringatan tentang bahaya kehilangan nilai-nilai spiritual dan etika di tengah kemajuan materi dan teknologi.

Puisi ini bercerita tentang kondisi manusia yang terjerat oleh keserakahan, kemunafikan, dan materialisme, sehingga jauh dari nilai-nilai religius dan kemanusiaan.

Penyair menggunakan lokasi simbolik seperti Madyan, Rass, Sodom, yang merujuk pada kisah-kisah umat terdahulu yang kehilangan keesaan Tuhan, untuk menegaskan siklus kerusakan moral yang terjadi.

Baris “kami begitu majemuk di hadapanmu, saudara kandung kami sekarang adalah benda-benda” menampilkan transformasi hubungan manusia menjadi relasi dengan benda, uang, dan teknologi. Sedangkan “kami nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan” menegaskan perilaku manusia yang telah meninggalkan prinsip moral demi keuntungan pribadi.

Puisi ini juga menggambarkan dampak nyata dari perilaku manusia: perang, kelaparan, bencana alam, dan penderitaan yang meluas. Penyair menyoroti bahwa hilangnya kesadaran spiritual bukan hanya masalah individual, tetapi berdampak pada masyarakat dan alam semesta.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi “Pembidas” adalah kritik terhadap ketergantungan manusia pada materi, teknologi, dan keserakahan, yang menyebabkan mereka melupakan Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Selain itu, puisi ini menyiratkan bahwa peradaban modern sering mengukur kemajuan berdasarkan harta dan teknologi, bukan moral dan spiritual. Penyair menyoroti paradoks manusia: di tengah kemajuan, manusia justru kehilangan arah dan identitas.

Baris seperti “agama kami lihat dari bursa modal besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam bahasa komputer” menegaskan bagaimana spiritualitas telah dikomersialisasikan dan diubah menjadi alat keuntungan material.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang hadir dalam puisi ini adalah gelap, kritis, dan penuh kecemasan. Pembaca dibawa pada atmosfer kegelisahan moral dan spiritual: rasa kehilangan, kekacauan, dan penderitaan akibat keserakahan manusia. Puisi ini juga menghadirkan nuansa dramatis dan tragis melalui imaji perang, bencana alam, dan kekerasan simbolik — misalnya, “langit pun merah kesumba, menyalakan bara menjilatkan lidah api” — yang memperkuat kesan peringatan dan urgensi refleksi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah peringatan agar manusia tidak kehilangan kesadaran spiritual di tengah kemajuan materi dan teknologi.

Penyair mengingatkan bahwa ketika manusia menggeser Tuhan dari pusat kehidupannya, mereka akan terjerumus pada keserakahan, kemunafikan, dan kehancuran moral. Puisi ini juga menekankan pentingnya menegakkan tauhid, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan, meskipun hal itu sering diabaikan atau ditertawakan oleh masyarakat modern.

Pesan moralnya kuat: manusia harus menyadari konsekuensi dari perilaku materialistis dan menjaga keseimbangan antara dunia dan spiritualitas.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual, religius, dan alam:
  • “langit pun merah kesumba, menyalakan bara menjilatkan lidah api” – menghadirkan imaji dramatis bencana dan amarah ilahi.
  • “perang memperanakkan perang, kelaparan dan kesombongan ras memberangus benua” – menciptakan imaji luas tentang penderitaan umat manusia.
  • “kami berguru kepada singa, mengimami nafsu kami” – imaji simbolik yang menegaskan dominasi naluri dan kekerasan atas moral.
Imaji-imaji tersebut menegaskan atmosfer puisi yang kritis, reflektif, dan penuh peringatan.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang kuat untuk memperkuat kritik sosial dan religius:
  • Majas personifikasi – “perang memperanakkan perang”, memberikan perang sifat hidup yang berulang.
  • Majas metafora – “saudara kandung kami sekarang adalah benda-benda”, melambangkan alienasi manusia dari hubungan sosial dan spiritual.
  • Majas hiperbola – “memberangus benua, gunung api dan banjir membarahkan derita”, menggambarkan skala kehancuran akibat keserakahan manusia.
  • Majas simbolik – Madyan, Rass, Sodom sebagai simbol umat yang lalai dan kehilangan kesadaran spiritual.
Majas-majas tersebut memperkaya puisi, membuat kritik sosial dan religius lebih tajam, serta membangun kesan dramatis dan mendalam.

Puisi “Pembidas” karya Ajamuddin Tifani adalah karya puitik yang menegaskan kegelisahan moral dan spiritual manusia modern. Dengan tema keserakahan, materialisme, dan kehilangan nilai spiritual, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan posisi manusia di dunia yang kian tergantung pada harta, teknologi, dan benda.

Imaji yang kuat, suasana kritis, dan penggunaan majas simbolik serta metafora menegaskan bahwa puisi ini bukan sekadar kritik, tetapi juga peringatan moral dan religius.

Puisi ini mengingatkan bahwa tanpa kesadaran spiritual, kemajuan materi tidak membawa kebahagiaan, dan manusia akan terus terjebak dalam lingkaran keserakahan, konflik, dan kehancuran moral. Ajamuddin Tifani berhasil menciptakan karya yang menggugah kesadaran, memprovokasi refleksi, dan menegaskan pentingnya nilai kemanusiaan dalam kehidupan modern.

Puisi: Pembidas
Puisi: Pembidas
Karya: Ajamuddin Tifani

Biodata Ajamuddin Tifani:
  • Ajamuddin Tifani lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada tanggal 23 September 1951.
  • Ajamuddin Tifani meninggal dunia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada tanggal 6 Mei 2002.
© Sepenuhnya. All rights reserved.