Pemburu
bukan gelap yang membawamu menujuku
ujung mataku, pengintai hewan bertanduk
bisik malaikat, membidik ke balik telinga
semut-semut pergi
di aur rimbun bersembunyi
tapi ia bukan petanda
kepada kekunanglah aku berguru
menyemak terang hingga aku
tak lagi takut pada lembah hantu
sebab malam adalah lapar
menjejak seperti kaki menjangan
bergetar dan gemetar
di hutan belia
kurawat moncong senapan
kurawat luka duri kering
aku akan melumpuhkanmu
dengan pepat kedipan
lewat cahaya yang dimainkan
dalam sebuah sepi
dari sinar lampu senter
2018
Sumber: Anjing Gunung (2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Pemburu” menampilkan suasana hutan malam yang tegang dan ritus pembelajaran menjadi pemburu — tetapi juga bisa dibaca sebagai perumpamaan tentang keberanian, pengamatan, dan konfrontasi batin. Dengan baris-baris yang padat imaji, penyair merajut alam, alat (senapan, senter), dan tubuh pelakunya menjadi satu pengalaman estetis yang intens.
Tema
Tema utama puisi ini adalah konfrontasi antara manusia dan ketakutan/ancaman, yang dimediasi lewat praktik berburu. Tema lain yang muncul ialah proses belajar (berguru) untuk mengatasi rasa takut dan kekuatan penglihatan (cahaya/senter) sebagai alat penaklukan kegelapan.
Puisi ini bercerita tentang seorang “aku” yang berada dalam situasi perburuan di hutan malam. Awalnya suasana digambarkan penuh pengintaian — “ujung mataku, pengintai hewan bertanduk” — lalu beralih ke proses pelatihan dan penyiapan: merawat senapan, merawat luka duri, belajar kepada kekunang, hingga rencana melumpuhkan sasaran dengan “pepatan kedipan” lewat cahaya senter. Narasi singkat ini menyerupai dialog batin seorang pembelajar yang menyiapkan diri menghadapi ancaman nyata maupun simbolis.
Makna tersirat
Secara tersirat, puisi ini dapat dibaca sebagai metafora bagi:
- Penguasaan diri: latihan fisik (menyiapkan senapan, menyembuhkan luka) dan latihan penglihatan (menggunakan cahaya) menunjukkan usaha mengendalikan ketakutan.
- Perjuangan melawan bayangan batin: hutan, malam, lembah hantu mewakili kecemasan atau trauma; pemburu adalah subjek yang berusaha menaklukkan itu.
- Pergeseran dari penglihatan pasif ke penglihatan aktif: dari sekadar jadi pengintai mata, menjadi pihak yang “melumpuhkan” dengan cahaya—simbol kejelasan, pengetahuan, atau keberanian yang menerangi kegelapan.
Suasana dalam puisi
Suasana keseluruhan bersifat tegang, waspada, meditativ-ritualistik. Ada ketegangan malam dan ancaman (“malam adalah lapar”), tetapi juga ketenangan kesiapan — tindakan ritual (berguru, merawat senapan) yang memberi rasa kendali. Konflik antara takut dan tekad terasa melalui ritme dan pilihan kata yang ringkas.
Amanat / pesan yang disampaikan
Pesan yang muncul adalah: untuk mengatasi ketakutan dan ancaman, diperlukan latihan, pengamatan tajam, dan penggunaan alat-cahaya (pengetahuan) yang tepat. Pemburu bukan sekadar alat kekerasan; ia adalah figur yang menempatkan penglihatan dan kesiapan sebagai cara bertahan. Ada ajakan implisit agar kita belajar, merawat diri, dan menggunakan “cahaya” internal/eksternal untuk menghadapi kegelapan hidup.
Imaji
Puisi kaya imaji inderawi yang konkret:
- Penglihatan: “ujung mataku, pengintai hewan bertanduk”; “pepatan kedipan”; “dari sinar lampu senter” — penglihatan adalah sentral.
- Suara & gerak: meski sebatas, ada getar langkah dan kecemasan malam.
- Tubuh & benda: “kurawat moncong senapan / kurawat luka duri kering” — tangan yang merawat, benda yang disiapkan.
- Alam: “belukar, jalan setapak”, “lembah hantu”, “malam adalah lapar” — semua memberi atmosfer hutan yang hidup sekaligus mengancam.
Imaji-imaji ini bekerja bersama membentuk sensasi: dingin was-was, getar jiwa, kesiapan fisik.
Majas
Beberapa majas yang tampak menonjol:
- Personifikasi: malam diberi sifat lapar — “malam adalah lapar” — sehingga kegelapan menjadi entitas predator.
- Metafora: “pengintai hewan bertanduk” bisa bermakna bayangan ancaman; “cahaya yang dimainkan dalam sebuah sepi” memetaforakan senter sebagai alat transformasi sepi menjadi alat kuasa.
- Paradoks / Antitesis: “suara paling sunyi” sejenis paradoks muncul di puisi-puisi penyair ini—di sini ada ketenangan ritual yang sekaligus mengandung ketegangan.
- Repetisi dan pengulangan segmen tindakan: “kurawat… kurawat…” memberi ritme kerja yang tekun—menandai latihan yang berulang.
Puisi "Pemburu" karya Irma Agryanti adalah puisi singkat tapi padat: sebuah ritual malam yang memperlihatkan bagaimana penglihatan, latihan, dan peralatan (senapan, senter) dipakai bukan hanya untuk melumpuhkan hewan, tetapi sebagai simbol kebangkitan keberanian melawan kegelapan batin. Bahasa ekonomis penyair—baris-baris pendek, imaji tajam—membuat pengalaman membaca menjadi langsung, hampir like witnessing: kita ikut berdiri di tepian belukar, merawat moncong senapan, menunggu kedipan cahaya yang akan memecah malam.
Karya: Irma Agryanti
Biodata Irma Agryanti:
- Irma Agryanti lahir pada tanggal 28 Agustus 1986 di Mataram, Nusa Tenggara Barat.