Sumber: Gergaji (2001)
Analisis Puisi:
Puisi “Perantau Pulang” karya Slamet Sukirnanto menghadirkan suasana getir seorang anak rantau yang kembali ke tanah kelahirannya setelah lama pergi. Dalam larik-lariknya, pembaca disuguhi pertemuan antara rindu, kenangan, dan kenyataan yang berubah. Puisi ini bukan hanya kisah kepulangan fisik, tetapi juga perjalanan batin—sebuah refleksi tentang akar identitas dan hubungan manusia dengan tanah kelahiran.
Tema
Tema utama puisi Perantau Pulang adalah kerinduan dan kesadaran akan perubahan tanah kelahiran. Sang penyair menggambarkan kepulangan seseorang yang lama merantau, hanya untuk mendapati bahwa kampung halamannya kini kering, sunyi, dan kehilangan semangat hidup. Tema ini menyentuh sisi emosional manusia yang sering kali baru menyadari makna rumah ketika sudah jauh dari rumah itu sendiri.
Selain itu, terdapat tema tambahan mengenai kegetiran akibat perubahan alam dan sosial. Baris seperti “Bunga-bunga runduk rindukan air” atau “Bumi tandus belukar sunyi dedaunan” menandakan bahwa bukan hanya manusia yang merindu, tetapi juga alam yang kehilangan kesuburannya. Puisi ini dengan halus menyampaikan keterkaitan antara manusia dan lingkungan tempat ia lahir.
Puisi ini bercerita tentang seorang perantau yang pulang ke tanah kelahirannya setelah lama pergi, dan menemukan bahwa tanah itu tidak lagi seperti dulu. Ia menempuh “jalan berliku di bawah tebing batu-batu” — metafora perjalanan panjang kehidupan yang penuh perjuangan. Ketika akhirnya tiba, yang ia temukan adalah tanah kering, rumput layu, dan bunga yang merunduk karena kekeringan.
Bagian akhir puisi, “Ngubur ingatan, lupa anak di seberang lautan / Mencari tanah subur, hidup bersemi”, menggambarkan dilema seorang anak rantau: di satu sisi ia rindu kampung halaman, namun di sisi lain, tanah kelahiran sudah tak lagi memberi kehidupan. Maka, perantauan menjadi keniscayaan—tempat mencari harapan baru di tengah keterbatasan asal-usulnya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi Perantau Pulang adalah pergeseran nilai dan identitas akibat jarak dan waktu. Kepulangan sang perantau tidak hanya bermakna fisik, tetapi juga simbol kembalinya kesadaran terhadap akar dan asal. Namun, penyair menegaskan bahwa waktu telah mengubah segalanya. Tanah kelahiran kini “tandus”, “kering”, dan “sunyi”.
Makna lain yang dapat dibaca adalah kritik sosial terhadap ketimpangan antara kota dan desa. Banyak orang terpaksa meninggalkan kampung demi mencari kehidupan yang lebih baik. Ketika mereka pulang, yang tersisa hanyalah kenangan dan tanah yang kehilangan daya hidup. Di sinilah puisi ini menjadi refleksi universal tentang migrasi, kemiskinan, dan kerinduan akan keseimbangan hidup.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, rindu, dan getir. Penyair mengekspresikan rasa kehilangan melalui diksi-diksi yang sederhana namun kuat. “Debar hati, debar rindu” menggambarkan emosi mendalam saat kembali, sementara “tanah kering”, “belukar sunyi”, dan “bunga-bunga runduk” menimbulkan nuansa kesepian dan kehampaan. Pembaca dapat merasakan kesedihan sekaligus keheningan yang menyelimuti perjalanan batin sang perantau.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat atau pesan yang tersirat dalam puisi ini adalah bahwa tempat asal kita, betapapun sederhana dan tandusnya, tetap memiliki nilai emosional dan identitas yang tidak bisa digantikan. Puisi ini juga mengingatkan agar kita tidak melupakan akar dan ibu pertiwi, meskipun kehidupan memaksa untuk merantau dan mencari “tanah subur” di tempat lain.
Selain itu, penyair ingin menyampaikan bahwa kemajuan dan perantauan tidak boleh membuat kita lupa pada kampung halaman. Setiap perjalanan sejauh apa pun akhirnya akan membawa kita pulang—entah secara fisik, atau setidaknya dalam ingatan dan penyesalan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji perasaan (emosional). Imaji visual tampak jelas dalam deskripsi alam:
- “Tanah kering jalan berliku” menggambarkan pemandangan keras dan tandus.
- “Bunga-bunga runduk rindukan air” menghadirkan gambaran menyedihkan tentang kekeringan dan kerinduan alam.
- “Belukar sunyi dedaunan” memunculkan bayangan hening dan sepi.
Sementara itu, imaji emosional muncul kuat dalam larik “Debar hati, debar rindu / Diriku kembali padamu!” — pembaca bisa merasakan detak rindu dan kegelisahan batin seorang anak yang akhirnya pulang. Perpaduan antara imaji alam dan perasaan inilah yang membuat puisi terasa hidup dan penuh makna.
Majas
Beberapa majas (gaya bahasa) yang digunakan dalam puisi ini memperkuat nuansa dan pesan yang ingin disampaikan:
Personifikasi
- “Bunga-bunga runduk rindukan air” — bunga digambarkan seperti manusia yang bisa merindu.
- “Kembang telang nangis di sini” — memberi sifat manusia (menangis) pada bunga, menambah kesan sedih dan hidup pada lanskap alam.
Metafora
- “Tanah kapur: kembang telang nangis di sini” dapat dimaknai sebagai metafora bagi kampung halaman yang miskin dan tandus, tempat kesedihan berakar.
- “Ngubur ingatan” adalah metafora bagi melupakan masa lalu, menekan kenangan yang menyakitkan.
Repetisi
- Pengulangan kata “ada yang hilang ya ada yang hilang” menegaskan perasaan kehilangan yang dalam.
Hiperbola
- “Lupa anak di seberang lautan” bisa dianggap sebagai hiperbola, menekankan betapa jauhnya jarak dan lamanya waktu yang membuat hubungan emosional renggang.
Puisi "Perantau Pulang" karya Slamet Sukirnanto merupakan karya yang sarat makna dan emosi. Melalui tema kerinduan, kehilangan, dan perubahan, penyair menggambarkan pengalaman universal tentang kepulangan dan keterasingan di tanah sendiri. Dengan imaji alam yang kuat, majas yang menyentuh, serta suasana melankolis, puisi ini mengajak pembaca merenungi arti tanah kelahiran dan perantauan. Amanat yang tersirat adalah: di mana pun seseorang mencari hidup, ia tidak akan bisa sepenuhnya lepas dari akar tempat ia berasal.
Puisi ini adalah refleksi perjalanan batin manusia modern—yang meski berhasil menemukan “tanah subur” di rantau, tetap membawa rindu yang tak pernah selesai pada tempat asalnya.
Karya: Slamet Sukirnanto
Biodata Slamet Sukirnanto:
- Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
- Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
- Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.