Analisis Puisi:
Puisi “Perempuannya Eliot” karya Iswadi Pratama merupakan salah satu karya kontemporer yang memadukan unsur sejarah sastra, psikologis, dan simbolik. Dalam puisi ini, Iswadi menghadirkan potret Vivienne Haigh-Wood, istri dari penyair besar T.S. Eliot, yang hidupnya tragis, diliputi cinta, kesepian, dan kegilaan. Melalui bahasa puitik yang kuat dan imaji yang detail, penyair menyingkap sisi lain dari sosok perempuan yang terlupakan di balik kebesaran seorang sastrawan dunia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesepian dan penderitaan seorang perempuan dalam bayang-bayang cinta dan kebesaran seorang lelaki. Puisi ini menggambarkan kisah cinta yang tidak seimbang antara dua insan: satu dikuasai oleh kata dan pikiran (Eliot), sementara yang lain terjerat oleh rasa dan luka batin (Vivienne).
Tema ini juga memuat kritik halus terhadap dunia sastra yang sering kali hanya menyanjung sang penyair besar, tetapi melupakan sosok perempuan yang menjadi bagian dari kisah emosionalnya.
Puisi ini bercerita tentang Vivienne Haigh-Wood, istri T.S. Eliot, penyair modernis legendaris Inggris-Amerika. Melalui sudut pandang puitik, Iswadi Pratama menghadirkan kembali Vivienne sebagai sosok yang terlupakan, penuh luka dan kesepian.
Baris pembuka — “Rumah dengan jendela jendela besar dan dinding bata merah yang lembab” — menggambarkan suasana rumah tangga yang dingin dan muram, tempat cinta perlahan membeku. Angin musim gugur yang “lebih ramah” menjadi simbol bahwa alam lebih hangat dibandingkan hubungan manusia di rumah itu.
Puisi ini juga menyinggung konflik batin Vivienne yang terjebak dalam cinta terhadap dua lelaki — “Jantung yang menyimpan debar dua lelaki. Satu pergi, lainnya tak perduli”. Ia merasakan kehilangan dan keterasingan, hingga akhirnya terperangkap dalam penderitaan psikis yang membuatnya terbuang dan tidak dikenang.
Kisah Vivienne dan Eliot yang terurai dalam sajak ini tidak hanya menjadi potret sejarah, tetapi juga perenungan universal tentang perempuan, cinta, dan keterasingan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah pencarian jati diri perempuan dalam dunia yang dikuasai oleh suara laki-laki dan intelektualitas yang menindas perasaan. Iswadi Pratama menyiratkan bahwa di balik keagungan sastra T.S. Eliot, ada seorang perempuan yang menjadi korban: Vivienne, yang jiwanya patah dan suaranya dibungkam oleh reputasi suaminya.
Puisi ini juga menyiratkan kritik terhadap sejarah patriarki sastra — bahwa sering kali perempuan hanya dijadikan inspirasi atau objek, tetapi tidak pernah diberi ruang untuk bicara tentang penderitaannya sendiri.
Selain itu, puisi ini menyingkap tema eksistensial tentang keterasingan dan kenangan. Vivienne digambarkan terjebak dalam “pil penenang” dan “seberkas ingatan”, seolah ia hidup di antara kenyataan dan mimpi. Makna tersiratnya adalah bahwa penderitaan tidak selalu lahir dari kebencian, melainkan dari cinta yang tidak terbalas secara utuh.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, sepi, dan introspektif. Iswadi menciptakan atmosfer yang penuh kabut emosional — perpaduan antara dingin musim gugur dan dingin batin. Citraan seperti “dinding bata merah yang lembab”, “pintu berderak diterpa angin”, dan “kereta musim gugur menghelamu Vivienne” menghadirkan suasana muram yang terus membayangi perjalanan hidup tokohnya.
Namun di balik kesedihan itu, terdapat suasana pasrah dan kontemplatif. Vivienne tampak sadar bahwa hidupnya telah berlalu, dan yang tersisa hanyalah kenangan yang bahkan tak dikenang oleh sang penyair.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan yang terlupakan oleh sejarah dan cinta. Iswadi Pratama seakan berkata bahwa di balik setiap karya besar, ada hati yang mungkin hancur; bahwa kebesaran seorang penyair tak bisa dilepaskan dari kisah manusia lain yang ikut membentuknya.
Pesan lain yang tersirat adalah pentingnya memahami cinta bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari empati. Eliot, dalam kebekuan intelektualnya, gagal memahami batin Vivienne, hingga cinta berubah menjadi penjara.
Melalui kisah ini, penyair menyampaikan pesan kemanusiaan yang lebih luas: bahwa penderitaan seseorang bisa menjadi sajak panjang yang tidak pernah selesai — bahkan setelah kehidupan berakhir.
Imaji
Puisi ini dipenuhi dengan imaji visual dan atmosferik yang kuat, khas gaya Iswadi Pratama:
- “Rumah dengan jendela jendela besar dan dinding bata merah yang lembab” — menghadirkan citraan visual yang dingin dan statis, mencerminkan relasi emosional yang beku.
- “Mulut itu, sepasang bibir yang kadang tampak kelam, menjadi lebih diam daripada batu batu hitam di tepi Camden Park” — imaji yang menggabungkan sensualitas dan keheningan.
- “Kereta musim gugur menghelamu Vivienne, ke tempat yang lebih jauh” — menghadirkan citraan perjalanan dan kematian; kereta di sini menjadi simbol kepergian tanpa kepulangan.
Imaji-imaji ini menghidupkan suasana London awal abad ke-20 dengan nuansa puitik yang lembut namun getir, sekaligus memotret kondisi batin Vivienne secara simbolik.
Majas
Puisi ini kaya akan majas yang memperkuat dimensi emosional dan simboliknya:
Majas Personifikasi
- “Angin, tamu yang lebih ramah” — memberi sifat manusia pada angin, menegaskan bahwa alam lebih berbelas kasih daripada manusia.
Majas Metafora
- “Di sini sebuah puisi lebih memiliki bunyi daripada degup jantungmu sendiri” — menggambarkan betapa puisi (karya Eliot) lebih hidup daripada cinta dan perasaan istrinya.
Majas Simbolik
- “Kereta musim gugur” — simbol perjalanan menuju akhir, baik secara fisik (kematian) maupun emosional (kehilangan harapan).
- “Dinding bata merah yang lembab” — simbol dari cinta yang membusuk dalam kesunyian rumah tangga.
Majas Ironi
- Terdapat kontras antara dunia sastra Eliot yang “berbunyi” dengan kehidupan batin Vivienne yang “sunyi”. Ini menimbulkan ironi mendalam: di balik karya besar, ada jiwa yang remuk.
Apostrof (penyapaan langsung)
- Penyair berbicara langsung kepada Vivienne: “Lalu kereta musim gugur menghelamu Vivienne”, menciptakan kedekatan emosional seolah ia sedang menenangkan arwah seorang perempuan yang terluka.
Puisi “Perempuannya Eliot” karya Iswadi Pratama adalah potret lirih tentang cinta, kesepian, dan ingatan yang terhapus oleh sejarah. Melalui bahasa yang lembut namun tajam, Iswadi menyingkap penderitaan Vivienne Haigh-Wood, sosok perempuan yang hidupnya terkubur di balik nama besar T.S. Eliot.
Dengan tema kesepian dan keterasingan perempuan, puisi ini berbicara tidak hanya tentang satu tokoh sejarah, tetapi juga tentang setiap perempuan yang kehilangan suara di dunia yang terlalu sibuk memuja laki-laki.
Makna tersiratnya menggugah: bahwa cinta tanpa empati hanya melahirkan kesunyian, dan kebenaran emosional sering kali dikalahkan oleh kebanggaan intelektual. Melalui imaji yang lembut dan majas yang halus, “Perempuannya Eliot” menjadi elegi bagi perempuan yang tak dikenang — dan bagi cinta yang membisu di antara bait-bait puisi.
Karya: Iswadi Pratama
Biodata Iswadi Pratama:
- Iswadi Pratama lahir pada tanggal 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.
