Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Peron Para Pedagang (Karya Badruddin Emce)

Puisi “Peron Para Pedagang” karya Badruddin Emce bercerita tentang aktivitas di peron kereta, ketika para pedagang—termasuk nenek dan keluarganya— ...
Peron Para Pedagang
bagi S. Ratman Suras

Saat itu mentari masih suka
sentuhkan hangat murni tujuh pagi!

Lepaskan sorak lonjak, jika kereta yang ditunggu
di jauhan kepul asapnya mendadak tampak.

Panjang, jika pintu-pintunya dibuka,
segera rebutan orang Banjarpatoman
menaikkan barang kulakannya.

Sementara di peron itu juga,
turun orang Kroya yang kembali dari berdagang.

Juga nenekku.
Juga pembantu laki-lakinya
memikul pemberian orang Mlewong dan Gandrung
yang memesan jarit atau sarung:

Ubi talas, mlinjo, tak ketinggalan gadung.

Rupanya yang dulu suka berharap segera tiba waktu buka.
Alihkan lapar dengan berkejaran atau tiduran
dalam gerbong kosong,
tak juga tertarik tinggalkan desa
yang kerap kedodoran dengan baju kota.
Apa yang berat untuk dilupatinggalkan?

Adakah sedang mengingatkan,
cerita nenek dikejar begal jaritnya hampir tanggal?

Lalu terbelalak saat seorang duda tujuh anak
berjanji jadi suami yang bisa memahami.

“Ibu juga beranak tujuh!
Kenapa tidak?” Lamat-lamat di senthong belakang,
kakak tertua ibuku meledek.
Lalu nenek membuka warung di depan rumah ibuku.

Mungkin ingin hirup aroma desa-desa yang pernah disinggah.
Sering, beberapa hari menjelang puasa numpak dokar ke pasar.
Jika segala yang perlu telah didapat,
segera, bersama orang Banjarpatoman,
berdesakan menuju peron itu.

Peron yang tak sempat cerita banyak kepada para cucu:

Orang Kroya, juga nenekkku,
juga pembantu laki-lakinya,
akhirnya naik spur kluthuk ke barat, menyusul bulan puasa,
bulan di mana yang mendunia lebih diterima.

Peron yang kembali segar, jika ibuku coba berpanjanglebar
tentang beberapa malam menjelang lebaran:

Di dapur,
di tengah kerumunan rengek para cucu,
nenek terus menempapipihkan mlinjo
menjadi keping-keping emping!

Konon ada satu ditinggalkan nenek di rumah ibuku,
tapi aku tak bisa melihat wujudnya.

Mungkin wujud itu pernah menyentuhku,
membuatku tak kunjung merasa tua.

Tak menyadari, betapa kereta telah gonta-ganti warna.
Dan warna gonta-ganti makna!

Untuk yang satu itu,
pemuja ketenangan yang tak bisa guyonan,
tahunya adalah Dosa!

Kroya, 2007/2008

Sumber: Diksi Para Pendendam (2012)

Analisis Puisi:

Puisi “Peron Para Pedagang” karya Badruddin Emce menghadirkan gambaran kehidupan masyarakat pedagang desa yang berhubungan dengan pergerakan kereta api dan tradisi lokal. Puisi ini penuh dengan nuansa keseharian, ingatan masa kecil, dan interaksi antargenerasi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehidupan pedagang desa dan tradisi pasar, serta bagaimana rutinitas dan kenangan masa lalu membentuk identitas dan memori keluarga.

Puisi ini bercerita tentang aktivitas di peron kereta, ketika para pedagang—termasuk nenek dan keluarganya—mempersiapkan barang dagangan, menaiki kereta, dan menyiapkan diri menjelang puasa dan lebaran. Selain itu, ada juga kilas balik kenangan masa kecil, interaksi dengan keluarga, serta kebiasaan tradisional seperti menempapi mlinjo menjadi emping.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah pentingnya hubungan antargenerasi dan keberlanjutan tradisi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap aktivitas di peron dan pasar bukan sekadar perdagangan, tetapi juga menjadi sarana untuk mengingatkan nilai-nilai keluarga, kerja keras, dan rasa kebersamaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini hangat, penuh nostalgia, dan dinamis. Ada kegembiraan menunggu kereta, kesibukan menaikkan barang dagangan, serta kenangan manis yang membangkitkan rasa rindu dan kekeluargaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini menekankan pentingnya menghargai tradisi, mengenang jasa para pendahulu, dan memahami nilai kerja keras dalam kehidupan sehari-hari. Puisi ini juga menekankan bahwa pengalaman sederhana sehari-hari, seperti berbelanja atau menyiapkan makanan tradisional, memegang peran penting dalam membentuk identitas keluarga dan komunitas.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji kehidupan desa dan pasar, misalnya:
  • “Ubi talas, mlinjo, tak ketinggalan gadung” — menggambarkan barang dagangan tradisional.
  • “Nenek terus menempapipihkan mlinjo menjadi keping-keping emping” — menghadirkan visual dan aktivitas tradisional yang nyata.
  • “Kereta telah gonta-ganti warna” — menyimbolkan perubahan waktu dan dinamika kehidupan.

Majas

Beberapa majas yang menonjol:
  • Personifikasi, ketika peron digambarkan seolah memiliki cerita yang tak sempat diceritakan kepada cucu.
  • Metafora, seperti kereta yang gonta-ganti warna, menyimbolkan perjalanan waktu dan perubahan hidup.
  • Hiperbola, terlihat pada penggambaran keramaian peron dan pasar menjelang puasa dan lebaran.
Puisi “Peron Para Pedagang” adalah puisi yang memadukan realitas sosial, nostalgia keluarga, dan tradisi lokal. Badruddin Emce berhasil menangkap ritme kehidupan pedagang desa dengan indah, sekaligus menghadirkan refleksi mendalam tentang waktu, memori, dan budaya.

Badruddin Emce
Puisi: Peron Para Pedagang
Karya: Badruddin Emce

Biodata Badruddin Emce:
  • Badruddin Emce lahir di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Juli 1962.
© Sepenuhnya. All rights reserved.