Sumber: Horison (Desember, 1980)
Analisis Puisi:
Afrizal Malna adalah penyair yang dikenal dengan gaya bahasa yang padat imaji, eksperimental, dan sarat dengan simbol-simbol kehidupan modern maupun tradisi. Dalam puisinya yang berjudul "Pidato di Pemakaman", ia menghadirkan suasana kematian bukan hanya sebagai peristiwa biologis, tetapi juga sebagai ruang refleksi sosial, politik, dan spiritual. Puisi ini bukan sekadar ucapan duka, melainkan sebuah perenungan yang puitis tentang relasi manusia dengan tanah, tubuh, dan kekuasaan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kematian dan kembalinya manusia pada tanah, serta pergulatan makna antara kehidupan, tubuh, dan kekuasaan. Afrizal Malna menyelipkan kesadaran bahwa manusia hanyalah sementara, dan pada akhirnya harus pulang pada tanah yang melahirkan dan meniadakan.
Puisi ini bercerita tentang sebuah pidato imajiner di pemakaman, di mana seorang aku lirik menyuarakan kesadaran bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Namun, di balik kembalinya manusia ke tanah, ada perlawanan, luka, bahkan pertanyaan tentang kekuasaan yang melemahkan manusia. Aku lirik berbicara pada tanah, batu, laut, hingga kekuasaan, seolah semuanya menjadi saksi perjalanan hidup dan kematian.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap kekuasaan dan penderitaan yang ditimbulkan olehnya, yang tetap melekat bahkan hingga ke pemakaman. Kematian tidak hanya dimaknai sebagai kembalinya tubuh pada tanah, tetapi juga sebagai perenungan tentang luka sosial, tangis sejarah, dan bangsa yang dibangun dari darah dan air mata. Penyair ingin mengatakan bahwa kehidupan manusia di dunia tidak pernah bebas dari struktur kekuasaan, dan jejaknya tetap terasa bahkan dalam kematian.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini adalah muram, reflektif, dan penuh perenungan metafisik. Ada nuansa sakral dari doa pemakaman, bercampur dengan kegelisahan tentang kekuasaan, penderitaan, dan identitas manusia di hadapan tanah dan laut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini antara lain:
- Manusia hendaknya menyadari asal-usul dan tempat kembalinya: tanah.
- Kekuasaan sering kali meninggalkan luka, bahkan hingga ke liang lahat.
- Kematian adalah ruang refleksi untuk kembali pada kesederhanaan dan hakikat hidup.
- Hidup hendaknya dijalani dengan kesadaran akan kefanaan, sehingga tidak terjebak dalam kerakusan kuasa.
Imaji
Afrizal Malna menggunakan imaji yang kuat untuk menegaskan makna puisinya:
- Imaji visual: “Tanah merah ucapan hujan”, “batu-batu tanah berlabuh di laut” memberikan gambaran nyata tentang tanah, hujan, dan batu.
- Imaji pendengaran: “o, angin mengucap” membawa suasana suara alam yang seakan berbicara.
- Imaji perasaan: “kekuasaan yang membuatku lemah dan bertanya” menghadirkan kegelisahan batin yang mendalam.
- Imaji penciuman: “kamu hisap harum laut / harum tanah di tanah ibu” memberi sensasi aroma tanah dan laut yang khas, dekat dengan ingatan tubuh manusia.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “dari luku bernegara darahmu” menggambarkan bagaimana sebuah bangsa lahir dari penderitaan rakyatnya.
- Personifikasi: “angin mengucap”, “ombak tak takluk pada pelabuhan” memberi nyawa pada unsur alam.
- Paradoks: “batu tak takluk pada tanah” menegaskan pertentangan yang mengandung makna mendalam.
- Simbolisme: tanah, laut, dan batu menjadi simbol asal-usul, kekuatan, dan keabadian.
Puisi "Pidato di Pemakaman" karya Afrizal Malna adalah sebuah renungan mendalam tentang kematian, kehidupan, dan kekuasaan. Afrizal tidak hanya menghadirkan suasana duka pemakaman, tetapi juga menggiring pembaca untuk merenungkan luka sosial yang diwariskan oleh sejarah dan kuasa. Dengan kekuatan imaji yang padat, penggunaan majas simbolis, serta tema yang sarat refleksi, puisi ini berhasil menggugah kesadaran akan kefanaan manusia sekaligus membongkar realitas sosial yang menyelubunginya.
Puisi: Pidato di Pemakaman
Karya: Afrizal Malna
Biodata Afrizal Malna:
- Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
