Analisis Puisi:
Puisi “Pohon Tua” karya Aspar Paturusi adalah karya yang sarat makna simbolik tentang kekuasaan, ketamakan, dan kefanaan. Melalui gambaran sederhana tentang sebuah pohon tua yang tegak dan kokoh, penyair menyampaikan refleksi mendalam mengenai kehidupan, kekuasaan manusia, serta kehancuran alam akibat keserakahan. Dalam balutan bahasa yang tegas dan penuh ironi, Aspar Paturusi menghadirkan kisah tragis tentang kebesaran yang akhirnya runtuh oleh tangan manusia sendiri.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kejatuhan kekuasaan dan kehancuran akibat keserakahan manusia. Pohon tua menjadi lambang kekuatan dan keteguhan yang pada akhirnya tidak abadi, karena meski ia mampu bertahan dari badai dan gempa, justru ia tumbang oleh tangan manusia—oleh “pengusaha” dan “penguasa.”
Tema ini juga bisa dibaca dalam konteks kerusakan alam dan kritik sosial-politik. Pohon tua tidak hanya mewakili alam yang dieksploitasi tanpa belas kasihan, tetapi juga simbol dari sosok-sosok besar atau sistem yang akhirnya dihancurkan oleh kekuasaan dan kepentingan ekonomi.
Puisi ini bercerita tentang sebuah pohon tua yang kokoh dan berwibawa, berdiri di atas tanah luas dan tidak tergoyahkan oleh badai maupun gempa. Pohon itu digambarkan sebagai simbol kekuatan dan keteguhan, “penguasa tanah” yang disegani dan dihormati.
Namun, keteguhan itu akhirnya berakhir tragis: bukan karena alam, melainkan karena keserakahan manusia. Pohon tua itu ditebang oleh tangan “pengusaha” dengan “tanda tangan penguasa.” Keindahan dan keteguhannya sirna, dan ia pun “hilang dari muka bumi.”
Dalam penutupnya, penyair menghadirkan refleksi yang melankolis dan filosofis — seolah berbicara dengan arwah pohon itu, memohon agar diperkenalkan pada “maut.” Bagian ini memberi kedalaman makna: bahwa pada akhirnya, segala yang besar dan kuat akan bertemu dengan kematian.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap keserakahan dan penyalahgunaan kekuasaan manusia yang merusak alam dan menghancurkan nilai-nilai kehidupan. Pohon tua yang awalnya digambarkan kuat dan disegani melambangkan kebesaran alam atau moralitas yang akhirnya hancur oleh tangan manusia yang rakus.
Frasa “tanda tangan penguasa” menjadi simbol betapa kekuasaan politik sering kali menjadi dalih untuk mengesahkan kerusakan dan ketidakadilan. Aspar Paturusi ingin menegaskan bahwa kehancuran besar sering kali bukan datang dari alam, melainkan dari tangan manusia yang menuhankan kepentingan.
Makna lain yang tersirat adalah kesadaran akan kefanaan. Pohon tua yang dulu teguh akhirnya tumbang, mengingatkan manusia bahwa segala yang kuat pun akan menemui akhir. Di sini, penyair menampilkan renungan eksistensial: kehidupan dan kematian adalah siklus yang tak dapat dihindari, dan manusia seharusnya belajar dari itu untuk hidup lebih arif.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini awalnya terasa kagum dan megah, ketika penyair menggambarkan kekokohan pohon tua dengan kata-kata seperti “paling kukuh,” “tak goyah oleh badai,” dan “tak tumbang oleh gempa.” Namun, perlahan suasananya berubah menjadi muram dan tragis, ketika pohon itu akhirnya “tumbang oleh tangan pengusaha” dan “tanda tangan penguasa.”
Pada bagian akhir, suasana menjadi reflektif dan melankolis, dengan nada spiritual dan pasrah. Baris “bila kau bertemu sang maut / perkenalkan aku padanya / agar dia tak asing bagiku” menghadirkan perenungan yang dalam tentang kematian, kesadaran diri, dan penerimaan terhadap akhir kehidupan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat utama puisi ini adalah peringatan tentang akibat keserakahan manusia terhadap alam dan kekuasaan. Penyair ingin mengingatkan bahwa alam bukanlah objek untuk dieksploitasi, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dihormati. Ketika manusia menebang pohon tua demi keuntungan sesaat, mereka sesungguhnya menebang bagian dari kehidupan mereka sendiri.
Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan tentang kerendahan hati di hadapan waktu dan kematian.
Tak ada kekuatan yang abadi—baik pohon, manusia, maupun kekuasaan. Pada akhirnya, semuanya akan “tumbang” di hadapan maut. Maka, manusia perlu menyadari batas dirinya dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana serta menghargai alam semesta sebagai anugerah, bukan harta rampasan.
Imaji
Puisi ini menampilkan imaji visual dan simbolik yang kuat. Pembaca dapat dengan jelas membayangkan sosok pohon besar yang kokoh dan agung, serta kehancurannya yang tragis. Contoh imaji dalam puisi:
- “kau paling tua, paling tinggi, paling besar, paling kukuh” → imaji visual yang menggambarkan kebesaran dan wibawa.
- “tak goyah oleh badai, tak tumbang oleh gempa” → imaji kekuatan dan ketahanan alam.
- “oleh tangan pengusaha, tanda tangan penguasa” → imaji sosial dan simbolik tentang kerusakan akibat kekuasaan manusia.
- “ranting dan akar tiada lagi, dia hilang dari muka bumi” → imaji kehancuran dan kehilangan.
Imaji-imaji tersebut memperkuat efek emosional puisi, membawa pembaca dari kekaguman menuju kesedihan dan perenungan.
Majas
Aspar Paturusi menggunakan beberapa majas metaforis dan personifikasi untuk memperdalam makna puisinya:
- Personifikasi: Pohon tua digambarkan seolah memiliki sifat manusia: “penguasa tanah,” “tak goyah oleh badai,” hingga “kau telah tiada.” Ini memberi efek emosional yang kuat, menjadikan pohon simbol kehidupan dan perasaan.
- Metafora: Pohon tua menjadi metafora kekuasaan, kebijaksanaan, atau alam itu sendiri—sesuatu yang kuat namun pada akhirnya hancur karena keserakahan.
- Ironi: “Tak goyah oleh badai, tak tumbang oleh gempa, tapi tumbang oleh tangan pengusaha” merupakan bentuk ironi tragis, menggambarkan bagaimana alam kalah bukan oleh alam, melainkan oleh manusia.
- Simbolisme: “Tanda tangan penguasa” menjadi simbol kekuasaan yang korup, sedangkan “maut” di akhir puisi melambangkan kesudahan hidup dan kehancuran moral.
Majas-majas tersebut menjadikan puisi ini lebih dari sekadar kisah tentang pohon—ia menjadi alegori tentang manusia, kekuasaan, dan kefanaan.
Puisi “Pohon Tua” karya Aspar Paturusi adalah sebuah refleksi mendalam tentang kekuatan, keserakahan, dan kefanaan. Melalui simbol pohon tua yang kuat namun akhirnya tumbang oleh tangan manusia, penyair menyoroti kerusakan alam dan moral akibat kekuasaan yang rakus.
Dengan imaji yang kuat, suasana yang berganti dari agung menjadi muram, serta majas yang sarat makna, puisi ini menghadirkan pesan universal: bahwa tak ada kekuasaan yang abadi, dan manusia harus belajar menghormati alam serta menerima batas-batas kehidupannya sendiri.
Puisi “Pohon Tua” bukan hanya tentang kehancuran satu makhluk alam, melainkan cermin bagi peradaban manusia yang sering lupa bahwa kekuatan sejati bukan pada penguasaan, melainkan pada kebijaksanaan dan keseimbangan dengan semesta.
Karya: Aspar Paturusi
Biodata Aspar Paturusi:
- Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
- Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
