PR
dari sekolah aku membawa PR
matematika, aku belum mengerti
kutanya ayah, ayah tak bisa
kutanya ibu, ibu tak tahu
kutanya kakak, dia tertawa
kutanya kakek, kakek berkata
"mau pintar harus rajin belajar"
banyak bertanya
kataku ....
pada siapa?
Sumber: Sinar Harapan (Th. XVI, 9 Februari 1977)
Analisis Puisi:
Puisi “PR” karya Emirsyah adalah karya sederhana namun sarat makna yang menggambarkan realitas sehari-hari seorang anak yang berhadapan dengan tugas sekolah dan kebingungan dalam proses belajar. Meski menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami, puisi ini menyimpan lapisan makna yang lebih dalam tentang pendidikan, keluarga, dan tantangan dalam proses mencari pengetahuan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pendidikan dan kebingungan anak dalam proses belajar. Puisi ini tidak sekadar bercerita tentang pekerjaan rumah (PR) sebagai tugas sekolah, tetapi juga menggambarkan betapa proses belajar sering kali tidak mudah ketika dukungan di lingkungan sekitar terbatas.
Tema lainnya yang bisa ditangkap adalah pencarian pengetahuan dan kemandirian belajar. Anak dalam puisi ini menghadapi kebingungan — bukan hanya karena sulit memahami pelajaran, tetapi juga karena tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Kondisi ini mencerminkan masalah klasik yang dialami banyak pelajar: keterbatasan bimbingan dan kesenjangan pemahaman antara anak dan orang dewasa dalam pendidikan modern.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang membawa pulang PR matematika dari sekolah, namun ia tidak mampu mengerjakannya sendiri. Dalam kebingungannya, ia mencoba bertanya kepada ayah, ibu, kakak, dan kakek. Namun hasilnya nihil — sang ayah tidak bisa membantu, ibu tidak tahu, kakak hanya tertawa, sementara kakek hanya memberikan nasihat klise: “mau pintar harus rajin belajar.”
Akhirnya, sang anak menyimpulkan dengan nada polos tapi penuh makna: “banyak bertanya, kataku… pada siapa?” Kalimat penutup ini menjadi puncak reflektif dari keseluruhan puisi. Ia menggambarkan kegelisahan dan keterasingan seorang anak yang ingin belajar, tetapi tidak tahu ke mana harus mencari jawaban.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap lingkungan pendidikan dan keluarga yang belum sepenuhnya mampu menjadi tempat belajar yang efektif bagi anak.
Anak dalam puisi ini tidak hanya kebingungan terhadap soal matematika, tetapi juga terhadap sistem dukungan yang seharusnya ia dapatkan dari orang-orang terdekat. Keluarga — yang seharusnya menjadi tempat pertama anak belajar — tampak tidak siap menghadapi tantangan pendidikan modern.
Selain itu, puisi ini juga mengandung makna tersirat tentang kesepian intelektual seorang anak. Ia dikelilingi oleh orang-orang dewasa, tetapi tidak satu pun yang benar-benar bisa membimbingnya. Bahkan ketika ia bertanya, jawabannya tidak membantunya memahami, melainkan justru membuatnya semakin bingung.
Baris “banyak bertanya, kataku... pada siapa?” adalah refleksi tajam tentang keterputusan komunikasi antara generasi muda dan tua dalam dunia pendidikan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah kebingungan yang polos namun menyentuh. Ada nuansa kejujuran dan kepolosan anak-anak yang kuat, disertai sedikit nada getir dan ironis.
Pada permukaan, puisi ini terasa ringan dan lucu — seorang anak yang bingung mengerjakan PR. Namun semakin dibaca, suasana berubah menjadi melankolis dan reflektif, karena tampak bahwa anak tersebut tidak memiliki figur yang benar-benar bisa membimbingnya secara intelektual.
Kesan sederhana yang dihadirkan penyair justru menjadi cara efektif untuk memunculkan suasana sunyi dan kehilangan arah dalam proses belajar.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama puisi ini adalah bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga. Anak membutuhkan dukungan, bimbingan, dan teladan dari lingkungan terdekatnya. Ketika orang tua tidak memahami pelajaran anak, setidaknya mereka harus mampu menjadi tempat bertanya yang hangat, bukan sekadar memberikan nasihat tanpa solusi.
Puisi ini juga mengingatkan bahwa proses belajar membutuhkan pendampingan, bukan hanya anjuran.
Kalimat kakek yang berkata “mau pintar harus rajin belajar” mencerminkan kebijaksanaan lama yang benar secara umum, tetapi tidak menjawab kebutuhan konkret anak yang sedang bingung menghadapi persoalan nyata.
Amanat lain yang dapat dipetik adalah pentingnya membangun sistem pendidikan yang lebih komunikatif dan menyenangkan. Anak tidak seharusnya merasa sendirian dalam belajar. Ia perlu tahu bahwa ada orang yang siap membantu ketika ia tidak mengerti.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji yang sederhana namun kuat, menggambarkan suasana rumah dan kehidupan sehari-hari seorang anak sekolah dasar.
Contoh imaji yang menonjol:
- “dari sekolah aku membawa PR” → menghadirkan bayangan anak kecil berjalan pulang membawa buku.
- “kutanya ayah, ayah tak bisa / kutanya ibu, ibu tak tahu” → menggambarkan interaksi hangat namun sia-sia di dalam rumah.
- “kutanya kakak, dia tertawa” → imaji yang mengandung humor kecil, tapi juga rasa frustrasi tersembunyi.
- “kutanya kakek, kakek berkata...” → menciptakan suasana rumah yang penuh generasi, tetapi tanpa solusi nyata.
Imaji yang digunakan Emirsyah adalah imaji visual dan imaji perasaan: pembaca dapat melihat kehidupan keluarga kecil yang sederhana, sekaligus merasakan kebingungan anak yang murni dan jujur.
Majas
Meskipun bahasanya sederhana, puisi ini mengandung beberapa majas yang memperindah pesan:
- Majas repetisi: Pengulangan frasa “kutanya” di beberapa baris memperkuat kesan kegigihan dan rasa ingin tahu sang anak. Ia tidak mudah menyerah, meski terus gagal mendapat jawaban.
- Majas ironi: Ironi muncul ketika anak terus bertanya kepada orang dewasa, tetapi tidak satu pun yang bisa memberikan jawaban. Ini mencerminkan kontradiksi antara ekspektasi dan kenyataan — orang yang dianggap tahu justru tidak tahu.
- Majas hiperbola halus: Ungkapan “banyak bertanya, kataku... pada siapa?” bisa dilihat sebagai bentuk hiperbola lembut untuk menegaskan kebingungan yang mendalam — bukan sekadar bingung matematika, tetapi bingung mencari arah belajar.
- Majas simbolik: “PR” bukan hanya simbol pekerjaan rumah dari sekolah, melainkan juga tugas kehidupan: pekerjaan rumah yang lebih besar — yaitu belajar, berpikir, dan mencari makna.
Puisi “PR” karya Emirsyah mungkin tampak ringan di permukaan, namun di balik kesederhanaannya tersembunyi kritik lembut terhadap sistem pendidikan dan relasi antar-generasi dalam keluarga. Dengan gaya lugu dan jujur, penyair berhasil menyoroti persoalan serius: bagaimana anak-anak sering kali merasa sendirian dalam belajar, tanpa bimbingan yang memadai dari orang dewasa.
Puisi ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati dimulai dari rumah — dari kebersamaan, kesabaran, dan kemauan untuk saling belajar. Sebagaimana si anak dalam puisi ini, banyak anak di dunia nyata juga bertanya dalam hati: “banyak bertanya, pada siapa?”
Pertanyaan itu, pada akhirnya, bukan hanya milik anak, tetapi milik kita semua — sebagai masyarakat yang sedang mencari arah dalam mendidik generasi penerus.
Karya: Emirsyah