Risalah Rindu (1)
al-Ghazali tiba membawa Mishkat al-Anwar nan indah
kuguna menanak cinta sampai matang di mata Allah
kupakai membangun nurani hingga dihuni hanya Allah
: gelisah gundah yang menjajah hati niscaya tak betah
: anggur rindu yang sejati rindu niscaya tersaji berlimpah
Risalah Rindu (2)
di batinku al-Ghazali tiba – lalu dia sebar
lembar-lembar memesona Mishkat al-Anwar
penuh cinta kulipat jadi bahtera Sinbad bersuar
lalu kupakai melayari lautan cahaya maha cahaya
denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa: di mana berada?
gemulung ombak cahaya membentur jiwa: sampai mana?
bahtera Sinbadku terus berlayar – menuju hakikat ada
mengarungi lautan cahaya maha cahaya – mencari arah dermaga
[pelayaranku terus menembus waktu – tak kutahu kapan tiba
karna aku tenggelam di dasar Mishkat al-Anwar – ditawan pana]
Malang, 2011
Sumber: Arung Diri (2013)
Analisis Puisi:
Puisi “Risalah Rindu” karya Djoko Saryono merupakan salah satu karya kontemplatif yang sarat dengan spiritualitas dan simbolisme sufistik. Dalam dua bagian puisinya — Risalah Rindu (1) dan Risalah Rindu (2) — penyair mengajak pembaca untuk menelusuri perjalanan batin manusia menuju Tuhan, sebuah ziarah rohani yang penuh rindu, cahaya, dan penyerahan total.
Dengan menghadirkan tokoh besar Islam, Imam al-Ghazali, serta karya monumental beliau Mishkat al-Anwar (Ceruk Cahaya), Djoko Saryono merangkai puisi yang bukan sekadar ekspresi perasaan, tetapi juga meditasi mistik tentang cinta Ilahi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan spiritual kepada Tuhan (rindu Ilahi). Rasa rindu yang dimaksud bukanlah rindu manusiawi terhadap sesama, melainkan rindu ruhani terhadap Sang Pencipta. Dalam puisi ini, rindu menjadi energi transendental yang mendorong penyair untuk menembus batas dunia dan menyatu dengan cahaya Tuhan.
Tema ini menampilkan spiritualitas sufistik, di mana manusia berusaha mengenal dirinya dan menemukan Tuhan dalam nurani terdalamnya. Rindu menjadi risalah — pesan yang menghubungkan manusia fana dengan Yang Maha Abadi.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seorang manusia mencari Tuhan melalui cinta dan pengetahuan.
Pada bagian pertama (Risalah Rindu 1), penyair menggambarkan kedatangan al-Ghazali — simbol pencerahan dan kebijaksanaan — yang membawa kitab Mishkat al-Anwar, sebuah karya filosofis tentang cahaya Tuhan. Kitab itu digunakan penyair untuk “menanak cinta sampai matang di mata Allah” dan “membangun nurani hingga dihuni hanya Allah.”
Artinya, puisi ini mengisahkan proses penyucian diri dan pendalaman spiritual. Cinta tidak sekadar dirasakan, tetapi dimasak dengan ilmu dan kesadaran, hingga menjadi cinta sejati yang mengantarkan pada Tuhan.
Sementara pada bagian kedua (Risalah Rindu 2), penyair melanjutkan perjalanan itu dengan metafora bahtera Sinbad — kapal yang berlayar di lautan cahaya. Sinbad, tokoh petualang legendaris dari kisah Seribu Satu Malam, dijadikan lambang perjalanan spiritual manusia yang penuh ujian dan keindahan.
Ia berlayar mengarungi “lautan cahaya maha cahaya”, diterpa “denyar angin cahaya”, dibentur “ombak cahaya”, hingga akhirnya “tenggelam di dasar Mishkat al-Anwar — ditawan pana.” Kata pana di sini merujuk pada konsep tasawuf: lenyapnya diri dalam kehadiran Tuhan, sebuah fase puncak penyatuan ruhani (fana fi Allah).
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini sangat dalam dan bersifat mistik. Djoko Saryono ingin menyampaikan bahwa rindu sejati bukan sekadar emosi, melainkan gerak ruh menuju Tuhan. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang meniadakan ego, membakar duniawi, dan memunculkan kesadaran akan hakikat ilahi.
Kedatangan al-Ghazali melambangkan pencerahan batin melalui ilmu dan hikmah. Kitab Mishkat al-Anwar menjadi simbol “cahaya pengetahuan dan spiritualitas” yang menuntun manusia dari gelapnya hawa nafsu menuju terang keilahian.
Makna “menanak cinta sampai matang di mata Allah” menyiratkan proses penempaan spiritual — cinta tidak lahir seketika, tetapi harus dimasak, diuji, dan disempurnakan hingga suci.
Sedangkan “bahtera Sinbad” menyimbolkan jiwa manusia yang berlayar dalam samudra cahaya, mencari pelabuhan hakikat, meski akhirnya tenggelam dalam fana — lenyapnya diri dalam keesaan Tuhan.
Puisi ini pada dasarnya adalah risalah spiritual, yakni surat batin tentang perjalanan menuju cinta Ilahi dan keabadian.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini hening, kontemplatif, dan penuh kesyahduan mistik. Pembaca dibawa ke dalam keheningan batin di mana setiap kata memancarkan cahaya dan rasa rindu yang mendalam.
Suasana juga terasa transendental dan reflektif — seolah penyair sedang bermeditasi atau berzikir, tenggelam dalam dialog diam antara jiwa dan Tuhan.
Kata-kata seperti “cahaya”, “rindu”, “batin”, “nurani”, dan “pana” menciptakan atmosfer spiritual yang lembut, tenang, namun sarat makna metafisis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama puisi ini adalah ajakan untuk mengenal Tuhan melalui cinta dan pengetahuan. Djoko Saryono ingin menyampaikan bahwa kerinduan kepada Tuhan adalah panggilan terdalam manusia. Melalui rindu, manusia berproses: menyucikan hati, mencari cahaya kebenaran, dan akhirnya menemukan makna keberadaan dirinya di hadapan Sang Pencipta.
Selain itu, puisi ini juga mengajarkan kerendahan hati dan penyerahan total (pana) — bahwa dalam perjalanan menuju Tuhan, manusia harus menanggalkan ego, nafsu, dan kepemilikan duniawi.
Pesannya bersifat universal: semua pencarian sejati berujung pada Tuhan. Dalam setiap rindu yang tulus, ada gerak batin untuk kembali kepada sumber cahaya sejati.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji cahaya dan spiritualitas. Djoko Saryono memanfaatkan imaji visual, auditif, dan perasaan untuk memperkuat nuansa mistiknya:
Imaji Visual:
- “Bahtera Sinbad bersuar / melayari lautan cahaya maha cahaya” menggambarkan pemandangan spiritual yang megah, penuh pancaran cahaya dan gerak keabadian.
- “Denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa” menimbulkan sensasi visual sekaligus emosional: cahaya menjadi angin yang menyentuh batin.
Imaji Auditif:
- “Mengombak suaramu jauh menggema” (dari gema rindu) menandakan getaran batin yang terdengar seperti suara spiritual.
Imaji Batin (emosional):
- “Kuguna menanak cinta sampai matang di mata Allah” menghadirkan pengalaman batin penuh pengorbanan, proses panjang menuju kedewasaan spiritual.
Semua imaji ini membuat puisi tampak seperti lukisan batin yang hidup, indah, dan menyentuh.
Majas
Puisi ini mengandung banyak majas simbolik dan metaforis, yang memperkaya makna sufistiknya.
Metafora (perumpamaan tidak langsung):
- “Menanak cinta sampai matang di mata Allah” → cinta diibaratkan makanan yang harus dimasak hingga sempurna.
- “Bahtera Sinbad bersuar” → jiwa manusia disimbolkan sebagai kapal yang berlayar menuju Tuhan.
- “Lautan cahaya maha cahaya” → simbol perjalanan spiritual di bawah bimbingan cahaya Ilahi.
Simbolisme:
- “Mishkat al-Anwar” (Ceruk Cahaya) menjadi simbol ilmu dan pencerahan batin.
- “Cahaya” berulang kali muncul sebagai simbol Tuhan dan pengetahuan spiritual.
- “Pana” (fana) melambangkan lenyapnya ego manusia di hadapan Tuhan.
Personifikasi:
- “Anggur rindu yang sejati niscaya tersaji berlimpah” — rindu seolah hidup dan bisa disajikan.
Repetisi:
- Pengulangan kata “cahaya” menegaskan betapa pentingnya unsur itu dalam pencapaian spiritual.
Hiperbola:
- “Mengombak suaramu jauh menggema, menggigilkan jemari hati” memperkuat pengalaman batin yang luar biasa intens.
Majas-majas ini membuat puisi tidak sekadar indah, tetapi juga berlapis makna filosofis dan teologis.
Puisi “Risalah Rindu” karya Djoko Saryono adalah karya yang menempatkan rindu dalam makna tertinggi: rindu sebagai gerak spiritual menuju Tuhan. Melalui simbol al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, dan bahtera Sinbad, penyair memperlihatkan perjalanan batin manusia yang menembus batas waktu dan dunia, menuju fana dalam kehadiran Ilahi.
Puisi ini bukan sekadar ekspresi keagamaan, tetapi refleksi tentang eksistensi, pengetahuan, dan cinta sejati. Ia mengajarkan bahwa di balik setiap rindu yang suci, terdapat upaya memahami diri, membersihkan hati, dan mencari cahaya kebenaran yang abadi.
Puisi ini adalah doa dan perjalanan, pencarian dan penyerahan, serta pertemuan batin antara manusia dan Tuhannya — dalam cahaya, cinta, dan kesunyian yang abadi.
Karya: Djoko Saryono
Biodata Djoko Saryono:
- Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.