Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi “Sajak” karya Sapardi Djoko Damono menegaskan bahwa sajak bukan sekadar ornamen bahasa, melainkan pergulatan hidup itu sendiri.
Sajak
Sumber: Hujan Bulan Juni (1994)

(1)

Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara. "Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!"

Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: "Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan..."

(2)

Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembali dalam urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah maka kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajak-sajakku sebab kata-kata di dalamnya berwujud anak panah yang dilepas oleh Rama.

Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di sela-sela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu.

1973

Sajak
Sumber: Ayat-Ayat Api (2000)

"Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas
di mana pintu, tempat aku bebas keluar masuk.
Aku laki-laki, kau tahu, tak tenteram dalam gelap."

Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
menebak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.

Analisis Puisi:

Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang mampu menghadirkan kekuatan kata sederhana dengan makna yang begitu dalam. Melalui kumpulan puisinya, ia tidak hanya menghadirkan keindahan estetis, tetapi juga pergulatan manusia dengan bahasa, waktu, hingga makna hidup itu sendiri. Salah satu puisi yang menarik untuk ditelaah adalah “Sajak”, yang hadir dalam dua versi: versi pertama dimuat dalam kumpulan Hujan Bulan Juni (1994) dan versi berikutnya dalam Ayat-Ayat Api (2000). Kedua versi ini sama-sama menyingkap pergulatan penyair dengan kata-kata dan makna, sekaligus membuka ruang tafsir yang luas bagi pembaca.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah pergumulan manusia dengan bahasa dan kata-kata. Sapardi menampilkan bagaimana kata bisa menjadi teman bercakap, sekaligus sesuatu yang menyesakkan, menjerat, dan bahkan menghadirkan kekosongan. Kata-kata dalam puisi bukan hanya medium ekspresi, tetapi juga sesuatu yang dapat hidup, membara, menjadi abu, bahkan melukai.

Selain itu, tema lain yang muncul adalah ketidakpastian identitas dan relasi manusia—terlihat pada bagian kedua versi puisi dalam Ayat-Ayat Api, di mana sosok perempuan dibiarkan menebak apakah laki-laki di hadapannya adalah Arjuna (pahlawan) atau Rahwana (penjahat).

Puisi ini bercerita tentang perbincangan manusia dengan bahasa—bagaimana kata-kata lahir, bergesekan, menyalakan percakapan, lalu pada akhirnya bisa kehilangan makna dan menjadi abu. Di versi Hujan Bulan Juni, sajak digambarkan sebagai ruang yang awalnya menampung telaga, sungai, hutan, dan kawanan kijang, tetapi kemudian berubah menjadi padat, pengap, hingga tak lagi ramah bagi kehidupan. Kata-kata yang dulu hidup kini menjadi alat berburu, anak panah, dan peluru yang melukai.

Sementara dalam versi Ayat-Ayat Api, puisi bercerita tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah kamar gelap. Laki-laki merasa tak tenteram dan ingin menyalakan lampu untuk menemukan pintu, sedangkan perempuan memilih diam, seolah lebih menikmati misteri dan ketidakpastian. Kisah ini bisa dibaca sebagai alegori hubungan manusia dengan kata-kata, dengan cinta, atau bahkan dengan kebenaran yang samar.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa bahasa memiliki keterbatasan. Kata-kata bisa memantik percakapan, tetapi pada saat yang sama bisa kehilangan daya, berubah menjadi abu, atau bahkan melukai. Sapardi ingin mengatakan bahwa sajak bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan ruang yang penuh konflik: antara keindahan dan kehampaan, antara kejelasan dan misteri, antara hidup dan kehancuran.

Dalam versi kedua, makna tersirat lainnya adalah ambiguitas dalam relasi manusia. Laki-laki bisa menjadi sosok pelindung (Arjuna) atau pengganggu (Rahwana), dan perempuan memilih untuk tetap berada dalam ketidakpastian. Hal ini menggambarkan bahwa dalam hidup, tidak semua hal dapat diketahui secara terang-benderang; sebagian hanya bisa ditebak, dirasakan, dan dihayati.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini berubah-ubah sesuai bagian.
  1. Dalam versi pertama (Hujan Bulan Juni), suasana yang hadir adalah tegang, panas, dan sesak. Kata-kata digambarkan membara, menjadi abu, dan menyesakkan udara. Ada juga suasana mencekam ketika pemburu menyusuri jejak darah, menandakan kekerasan yang lahir dari bahasa.
  2. Dalam versi kedua (Ayat-Ayat Api), suasana menjadi misterius, ambigu, sekaligus erotis samar. Ada kegelisahan laki-laki dalam gelap, dan ada keheningan perempuan yang memilih untuk menebak-nebak identitas pasangannya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah:
  1. Bahasa tidak pernah sepenuhnya netral. Kata-kata dapat menghidupkan, tetapi juga bisa menghancurkan. Penyair perlu menyadari bahwa kata yang ia pilih punya konsekuensi.
  2. Kehidupan manusia penuh ketidakpastian. Tidak semua hal bisa didefinisikan secara tegas; terkadang kita hanya bisa hidup dalam ruang tafsir dan misteri.
  3. Relasi antara laki-laki dan perempuan, atau antara manusia dan bahasa, selalu dipenuhi tarik-menarik. Ada keinginan untuk terang, ada pula kecenderungan untuk bertahan dalam gelap.

Imaji

Sapardi menggunakan imaji yang kuat untuk menghidupkan puisinya:
  • Imaji visual: “suku kata yang gosok-menggosok dan membara”, “kata demi kata menjadi abu dan beterbangan”, “telaga dan sungai kulipat dan kusimpan dalam urat nadiku”, hingga “pemburu menyusuri jejak darah”.
  • Imaji auditif: percakapan sepanjang malam, keheningan perempuan, dan mungkin desah nafas yang sengit.
  • Imaji perabaan: “menyusuri huruf-huruf”, “keringatnya anyir”, dan “panasnya kata yang membara”.
Semua imaji ini menegaskan bahwa sajak bukan sekadar kumpulan kata abstrak, melainkan ruang yang hidup dengan tubuh, darah, dan luka.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – kata-kata digambarkan bisa membara, menjadi abu, menyesakkan udara, atau bahkan berubah menjadi anak panah.
  • Metafora – hutan gundul, telaga, sungai, kijang, dan burung adalah metafora bagi kehidupan yang dulu ada dalam sajak tetapi kemudian hilang.
  • Hiperbola – “menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini” sebagai penggambaran hujan yang mengepung.
  • Simbolisme – sosok Arjuna dan Rahwana menjadi simbol kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kehancuran, cinta dan ancaman.
Puisi “Sajak” karya Sapardi Djoko Damono adalah refleksi mendalam tentang bahasa, kata-kata, dan hubungan manusia dengan dunia sekitarnya. Melalui imaji yang padat, suasana yang tegang dan misterius, serta penggunaan majas yang kuat, Sapardi menegaskan bahwa sajak bukan sekadar ornamen bahasa, melainkan pergulatan hidup itu sendiri. Kata-kata bisa menjadi nyala api, tetapi juga bisa berakhir menjadi abu.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Sajak
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.