Sayang!!!
Di depan saya
Lalu peminta buta.
O, peminta
Mengapa engkau yang buta
tidak juga saya.
Haruskah saya
melihat ini muka yang penuh luka
di kaca?
Haruskah aku tersipu malu
Waktu bertemu bibir bergincu?
Ah!
Mengapa engkau yang buta,
tidak juga saya
Sayang!!!
1946
Analisis Puisi:
Tema puisi “Sayang” adalah kepekaan batin dan kritik terhadap kemunafikan sosial. Penyair menggambarkan pertemuan dengan seorang pengemis buta, namun refleksi yang muncul bukan semata rasa iba, melainkan kesadaran akan kebutaan moral dalam diri manusia modern. Tema ini menyentuh aspek kemanusiaan—antara empati, rasa malu, dan introspeksi diri terhadap realitas sosial yang timpang.
Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang berhadapan dengan seorang pengemis buta. Pertemuan singkat itu menggugah kesadaran batinnya: mengapa yang buta adalah pengemis itu, bukan dirinya sendiri yang hidup dalam dunia yang gelap oleh kemunafikan, kesombongan, dan kepura-puraan.
Kebutaan dalam puisi ini tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga kiasan terhadap ketidakmampuan manusia melihat kebenaran dan penderitaan sesama.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah renungan eksistensial dan moral tentang siapa sebenarnya yang buta di dunia ini.
- Penyair menyinggung bahwa banyak orang yang memiliki mata, tetapi kehilangan penglihatan batin—tidak lagi mampu melihat penderitaan atau kebenaran.
- Ketika “aku” melihat wajahnya di kaca yang “penuh luka”, ia sadar bahwa luka batin dan moral bisa jauh lebih parah dari kebutaan fisik.
- Kata “Sayang!!!” di akhir puisi memperkuat nada getir, seolah menyayangkan kondisi manusia yang kehilangan rasa malu, kepedulian, dan kemurnian nurani.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah muram, getir, dan reflektif.
- Terdapat nada penyesalan dan kesadaran yang terlambat, seolah penyair menyaksikan kebobrokan moral manusia termasuk dirinya sendiri.
- Nada “Ah!” dan “Sayang!!!” menjadi penanda emosi batin yang meledak—perpaduan antara sedih, marah, dan kecewa terhadap realitas sosial yang absurd.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan amanat bahwa kebutaan sejati bukan pada mata, melainkan pada hati dan nurani.
Manusia yang tidak lagi peduli terhadap penderitaan orang lain, yang hidup dalam kepura-puraan, sejatinya lebih buta daripada mereka yang kehilangan penglihatan.
Selain itu, puisi ini mengajak pembaca untuk bercermin pada diri sendiri, agar tidak hanya melihat dunia secara lahiriah, tetapi juga dengan kepekaan batin yang jujur dan empatik.
Imaji
Puisi ini mengandung imaji visual dan batiniah yang kuat. Contohnya:
- “peminta buta” menghadirkan bayangan nyata seorang pengemis.
- “muka yang penuh luka di kaca” menghadirkan citra reflektif dan simbolis, menggambarkan luka moral atau batin yang tampak dalam cermin diri.
- “bibir bergincu” menciptakan kontras antara kemewahan dan kepalsuan dengan penderitaan manusia di sekitarnya.
Imaji-imaji tersebut mempertegas pertentangan antara kemiskinan dan kemewahan, antara kejujuran dan kemunafikan, yang menjadi inti dari puisi ini.
Majas
Hartojo Andangdjaja menggunakan beberapa majas penting dalam puisi ini, di antaranya:
- Majas pertentangan (antitesis): “Mengapa engkau yang buta, tidak juga saya” — memperlawankan kebutaan fisik dan kebutaan batin.
- Majas metafora: “Muka yang penuh luka di kaca” menjadi metafora dari luka moral dan batin manusia.
- Majas ironi: Ketika penyair merasa malu di hadapan “bibir bergincu”, itu menggambarkan ironi sosial antara kesombongan dan kemiskinan.
- Majas repetisi: Pengulangan kalimat “Mengapa engkau yang buta, tidak juga saya” berfungsi memperkuat tekanan moral dan nada introspektif.
Puisi “Sayang” karya Hartojo Andangdjaja merupakan potret renungan kemanusiaan yang menggugah.
Dengan gaya yang sederhana namun tajam, penyair menghadirkan konflik batin antara penglihatan fisik dan kebutaan moral.
Melalui pertemuan singkat antara aku lirik dan peminta buta, lahirlah refleksi mendalam tentang kemanusiaan yang kehilangan arah, dan moralitas yang terluka oleh kepura-puraan.
Puisi ini tidak sekadar mengajak pembaca merasa iba, tetapi lebih jauh, menggugat kesadaran nurani agar berani bercermin dan jujur pada diri sendiri.
Biodata Hartojo Andangdjaja:
- Hartojo Andangdjaja (Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya) lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
- Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
- Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.