Analisis Puisi:
Puisi “Sekarang Bahwa Aku Merasa Tua” karya Darmanto Jatman merupakan salah satu karya reflektif yang penuh renungan dan kesadaran diri. Melalui gaya bertutur yang intim dan ironis, penyair menggambarkan pergulatan batin seorang laki-laki yang telah mencapai usia senja. Ia memandang kembali hidup, cinta, keluarga, dan kematian dengan perasaan getir, namun juga dengan kedewasaan yang lahir dari penyesalan dan penerimaan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketuaan dan kesadaran akan kefanaan hidup. Darmanto Jatman mengajak pembaca menyelami batin seseorang yang menua—seseorang yang mulai menyadari batas waktunya di dunia, menimbang kembali kesalahan dan kenangan masa lalu, serta menatap kematian dengan campuran rasa takut, sesal, dan pasrah.
Namun di balik itu, terdapat tema sekunder tentang cinta dan penyesalan dalam hubungan suami-istri, serta perenungan eksistensial terhadap hidup yang pernah dijalani. Puisi ini bukan sekadar tentang tubuh yang renta, tetapi juga tentang jiwa yang memeriksa dirinya sendiri—tentang apa yang tersisa setelah gairah dan ambisi memudar.
Puisi ini bercerita tentang seorang pria tua (tokoh aku lirik) yang menengok kembali perjalanan hidupnya. Ia memandang alam—belalang, kupu-kupu, bunga, dan padi—sebagai simbol kehidupan yang terus berjalan. Namun di tengah siklus itu, ia merasa terasing dan mulai mempertanyakan makna keberadaannya.
Ia mengingat anak-anaknya, kehidupannya yang keras, masa mudanya yang penuh nafsu dan kesalahan. Dalam salah satu bagian, ia bahkan mengakui pernah “berjina” (berselingkuh), sementara istrinya tetap setia. Akhir puisi memperlihatkan momen paling jujur dan rapuh: si aku lirik akhirnya menyadari bahwa keberlangsungan hidupnya bukan karena kekuatannya sendiri, melainkan karena kebaikan, kesabaran, dan kasih istrinya.
Tokoh laki-laki itu menunduk dalam kesadaran bahwa selama ini ia terlalu banyak “nyinyir bertanya-tanya” tentang hidup, sementara jawabannya telah lama diberikan oleh cinta yang tulus di sisinya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran spiritual dan humanistik tentang makna hidup. Penyair ingin menegaskan bahwa manusia sering terlambat menyadari nilai-nilai penting: cinta, kesetiaan, dan kerendahan hati.
Dalam kerangka yang lebih luas, puisi ini juga menggambarkan keangkuhan manusia modern yang terlalu percaya pada nalar dan kekuatan dirinya sendiri, padahal akhirnya semua kembali pada hal-hal sederhana dan penuh kasih.
Ketika sang aku lirik berkata:
“Aku tahu ada limit waktu bagi kita Ada batas kalori jatah kita Yang habis kita bakar sia-sia”
baris itu bukan sekadar bicara tentang tubuh yang menua, tetapi juga sindiran filosofis: hidup manusia adalah energi terbatas yang sering dihabiskan untuk hal-hal remeh, bukan untuk menebar kebaikan atau kasih.
Makna tersirat lainnya adalah penyesalan atas kesalahan moral dan kegagalan menjadi manusia yang benar-benar bijak sebelum terlambat. Penyesalan itu tidak diungkap dengan air mata, melainkan dengan tawa getir dan gumaman “Ah. Ah. Ah” —sebuah repetisi lirih yang menggambarkan kepasrahan total.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini dominan melankolis, getir, dan reflektif. Ada nuansa nostalgia dan penyesalan yang mendalam.
Puisi ini seperti percakapan batin di antara kesunyian usia senja. Nada-nada “nyinyir bertanya-tanya” memperlihatkan kegelisahan seorang tua yang masih mencari makna, meski ia tahu semua pertanyaan itu tak lagi perlu. Namun di bagian akhir, suasana berubah menjadi tenang dan penuh penerimaan, ketika si aku lirik menyadari bahwa semua yang ia miliki berasal dari cinta istrinya. Perasaan pasrah itu menutup puisi dengan kelembutan yang justru sangat manusiawi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini membawa amanat bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran, kerendahan hati, dan penghargaan terhadap cinta. Manusia sering menyadari nilai kehidupan ketika semuanya hampir berakhir—ketika tubuh tak lagi kuat, dan waktu tinggal sedikit. Penyair ingin mengingatkan agar kita tidak menunggu tua untuk bersyukur dan menghargai orang-orang yang mencintai kita.
Selain itu, amanat lain yang kuat adalah penerimaan terhadap kefanaan. Tua, sakit, dan mati adalah bagian dari perjalanan alamiah manusia. Namun yang menentukan nilai hidup bukan panjangnya usia, melainkan seberapa tulus kita hidup dan mencintai.
Imaji
Darmanto Jatman menggunakan imaji yang konkret dan visual untuk menggambarkan perubahan waktu dan kondisi batin tokoh lirik. Misalnya:
- “Memandang pohon-pohon berdaunan”
- “Belalang menetas dari telurnya”
- “Kupu terbang meninggalkan kepompongnya”
Imaji alam ini menggambarkan siklus kehidupan: lahir, tumbuh, berubah, dan akhirnya mati. Di bagian lain, muncul imaji tubuh dan rumah tangga yang kuat secara emosional:
- “Gemetar tanganku nyentuh bibirmu”
- “Menetes pada kedua telapak tangan kita”
Imaji ini membangkitkan rasa haru dan kasih sayang yang tersisa di usia tua. Sedangkan imaji bunga-bunga tulip dan hyacinth memberi sentuhan simbolis tentang perbandingan cinta dan kesetiaan—tentang kecantikan yang di luar dan kehangatan yang tumbuh di dalam rumah tangga.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas personifikasi, metafora, dan repetisi. Beberapa di antaranya:
Metafora:
- “Ada limit waktu bagi kita” menggambarkan batas kehidupan manusia.
- “Hatimu, buah yang siap dipetik” menyimbolkan cinta dan kesetiaan sang istri.
- “Sawah yang siap dicangkul” menjadi lambang tubuh dan pengorbanan perempuan.
Personifikasi:
- “Nalar bedebah ini / Borok bagi baksil-baksil busuk” memberi sifat manusia pada nalar, seakan ia hidup dan bisa berdosa.
Repetisi:
- Ungkapan “Sekarang bahwa aku merasa tua” dan “Ah. Ah. Ah” diulang beberapa kali untuk menegaskan rasa pasrah, sedih, dan reflektif yang mendalam.
Ironi:
- Ada nada ironi ketika si aku lirik sadar bahwa yang ia anggap kuat (lengan, nalar) ternyata tak berarti dibanding cinta istrinya.
Melalui gaya bahasanya yang padat, Darmanto Jatman menghadirkan keindahan yang tidak sentimental, tetapi penuh kebijaksanaan dan introspeksi.
Puisi “Sekarang Bahwa Aku Merasa Tua” adalah potret kejujuran manusia di hadapan waktu. Darmanto Jatman menulisnya bukan untuk meratapi usia, tetapi untuk mengingatkan bahwa setiap perjalanan hidup berakhir dengan kesadaran akan cinta dan kebaikan.
Melalui diksi yang jujur, penuh ironi, dan lirih, puisi ini menelanjangi ego manusia yang sering menyesal di ujung jalan. Di saat tua, semua pertanyaan hidup ternyata hanya berujung pada satu jawaban: “Ya. Ya. Kita pernah muda.”
Karya: Darmanto Jatman
Biodata Darmanto Jatman:
- Darmanto Jatman lahir pada tanggal 16 Agustus 1942 di Jakarta.
- Darmanto Jatman meninggal dunia pada tanggal 13 Januari 2018 (pada usia 75) di Semarang, Jawa Tengah.